"Apa karena itu, kuliahku dan kehidupanku jadi beban buat Mama dan Papa?" katanya dalam hati lalu menerawang.Â
Mencoba menganalisis mengapa hampir di 2 bulan terakhir, selalu saja dia dibandingkan sama Diru, teman sepantarannya, anak tetangga sebelah.Â
Apa yang salah dalam konsep membandingkan anak dengan anak orang lain?Â
Rumput tetangga lebih hijau, tak hanya soal membandingkan tetangga sebelah punya apa, dan saya punya apa.Â
Ini tak hanya bicara perihal rumah sebelah halaman lebih asri, rumahnya lebih megah, atau kendaraannya apa saja dan berapa banyak. Tapi kadang merembet soal pencapaian si anak,bahkan kadang melebar hingga ke fisik, bakat, dan penampilan.Â
Ada sejumlah orangtua merasa gede rasa alias merasa jauh lebih terhormat, bila buah hatinya lebih "unggul" berdasarkan ukurannya. Bukan ukuran si anak.Â
Mari kita lihat contoh paling nyata. Ketika si anak masuk jurusan IPA, segelintir ortu merasa bangga bahwa anaknya lebih pandai dibanding anak orang lain yang bisanya hanya di jurusan IPS atau Bahasa.Â
Ketika masa PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), harga diri orangtua ikut terangkat manakala si anak keterima di sekolah favorit.Â
Fakta paling realistik kerap kali ditunjukkan ketika si anak keterima di PTN. Coba perhatikan intonasi dan bahasa tubuh, manakala ditanyakan di mana anaknya kuliah.Â
Ngga ditanya juga akan diomongin. Ketika pengumuman SMPTN, otomatis langsung di upload di media sosial milik Mamanya atau Papanya.Â
"Selamat ya Nak, kamu ketrima di PTN bla bla bla..."Â