Kadang ambigu dan bias. Ini statusnya mau nunjukkin ke orang lain apa ucapan selamat dari orangtua...hehe. Dibilang zuudson ntar dosa lagi. Ya udah cukup baca dan lihat saja:)
1. Sadarilah...tak ada anak yang ingin dibandingkan lalu dicela.Â
Kita semua dulunya adalah anak-anak. Kita tumbuh dan besar dipengaruhi oleh cara pandang dan konsep orangtua yang entah sadar atau tak sadar, diceplokin pelan-pelan ke pemikiran dan alam bawah sadar.Â
Beranjak remaja hingga usia dewasa muda di pertengahan 15 tahun hingga 18 tahun, manusia secara sadar mulai memilah dan memilih. Tumbuh dengan pilihan dan logikanya sendiri namun tetap membawa "chip" pengalaman masa kecil dan didikan keluarga.
Ketika konsep perbandingan yang salah dari orangtua dipaksakan ke anak, ditambah lingkungan dan asumsi sosial juga terlanjur menempel stigma seperti itu, hasilnya cenderung mengerucut pada 2 tipe anak. Menghasilkan anak yang rendah diri atau anak yang tinggi diriÂ
Masalahnya, di satu sisi tak ada orangtua yang mau anaknya dilabel rendah diri oleh orang lain. Dan di sisi lain, kadang orangtua tak menyadari bahwa mereka berpengaruh besar dalam membentuk rasa rendah diri dalam diri si anak.Â
Misalnya lewat perkataan, tindakan, amarah hingga dengan membandingkan tak hanya terhadap anak satu dengan yang lain, tapi juga dengan anak tetangga atau sesama teman-temannya.Â
Seperti kisah nyata Diru dan Wani di atas, yang sengaja diilustrasikan.Â
2. Anak yang terjepit oleh rendah diri, akan melihat dirinya tak sebaik dan tak seberguna teman-temannya.Â
Ini adalah bahaya kedua, yang kadang tak disadari. Pernahkan kita bertanya pada anak-anak korban pergaulan buruk, pecandu narkoba, seks bebas, luntang lantung ngga jelas, sampah masyarakat, dan lainnya.Â
Sebelum mereka terjerumus, pernahkah mereka merasa disayang dan dikasihi secara apa adanya tanpa embel-embel siapa mereka dan seperti apa pencapaian mereka di mata orangtuanya?Â