"Makanya adek harus sekolah tinggi, biar bisa kayak om itu," pernah terdengar kata Mama Tini pada anak lakinya yang ikut dengannya.Â
Lalu, tanpa disadari bahwa saya menguping obrolan. Saya tetiba merenung diam. Sadar bahwa seorang buruh apapun itu pekerjaan, selalu mengharapkan anak-anaknya punya masa depan yang lebih baik dari orangtuanya.
Keterbatasan pendidikan dan keterampilan, membuat mau tak mau mesti melakoni pekerjaan tertentu, yang lebih banyak menggunakan otot dibanding otak.Â
Dibayar relatif, bisa besar atau kadang kecil, namun bagi mereka yang penting bisa menyambung hidup. Ada untuk makan sehari-hari, lebihnya bisa untuk sekolahin anak.Â
Ketika Mama Tini pamit pulang bersama anaknya, saya masih terus merasa baper dengan ucapannya pada anaknya tadi.Â
Apa bedanya dengan saya pekerja kantoran. Saya juga buruh di ruangan ber-AC, tapi Mama Tini dan buruh lain di luar sana, adalah "buruh yang sebenarnya".
Tanpa simpanan DPLK, tanpa jamsostek mungkin, tanpa dana pensiun, tanpa asuransi kesehatan plus plus cuman modal BPJS. Tapi mereka menafkahi keluarga demi asa dan masa depan yang lebih baik.Â
Apa jadinya suatu negara tanpa buruh? Padahal negara yang berkembang dan maju, membutuhkan tenaga dan karya buruh dalam perkembangan industri di negara tersebut.Â
Ketika negara membutuhkan mereka, apakah negara juga menghargai mereka?Â
Semoga...
Sekali lagi selamat hari buruh, 01 Mei 2021