Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Serpihan Mutiara Retak (1984)", Film Lama dengan Realitas Sosial Kekinian

26 Februari 2021   11:30 Diperbarui: 26 Februari 2021   11:40 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika keputusan dan tindakan di masa lalu, menerormu di masa depan.....

Kemarin menonton sebuah film lawas, saya tertarik pada dialog dan alur ceritanya. Seorang perempuan muda berlatar kelurga menengah yang kebablasan dalam pergaulan SMA. Hamil setelah ujian kelulusan.

Sang Ibu, tetap bertekad anaknya harus kuliah demi memenuhi ambisi keluarga. Di tahun segitu, pertengahan 80 an, betapa sebuah gelar sarjana sangatlah bergengsi. Meningkatkan citra dan martabat di kalangan warga.   

Wajar memang. Karena tak banyak universitas di era itu. Dan tuk ketrima di perguruan tinggi, jalur masuk tak banyak seperti sekarang. Terpaksalah  wanita belasan tahun itu, diungsikan di sebuah klinik kecil di luar kota, agar tak diketahui tetangga dan sanak saudara. 

Bahkan sang Ibu, mengisolasi buah hatinya dari pacar pria nya, yang notabene  teman sekelasnya, agar tak  lagi mengusik kehidupannya.Di jaman segitu, tak ada media komuikasi selain surat menyurat dan telepon rumah. 

Dan saluran komunikasi pun diputus juga. Setiap surat yang ditulis dan dititipkan pada pembantu agar dikirimkan pada kekasihnya, si perawat malah memberi pada ibunya lalu dibakar. 

Hal yang membuat si perempuan malah mencap pacarnya laki -laki bajingan. Lari dari tanggung jawab. Membiarkan dia sendiri dengan perut bunting. Kenapa dia tak pernah membalas surat -suratku? Kenapa dia tak pernah datang menemuiku. Kurang ajarrr, hanya mau enaknya saja.  

Dia terkukung dan tak tahu realita. Sebenarnya beberapa kali ayah si janin itu datang bersama orang ruanya, hendak bertanggung jawab dan mau membicarakan soal pernikahan, namun sang ibu menolak keras. 

Bahkan mengusir dan memanggil petugas keamanan dengan dalih mengganggu kehidupan oang lain.  

"Kami tak butuh. Anak kami harus tetap kuliah demi martabat keluarga," katanya keras dan kasar. 

Akhirnya sang anak melahirkan, tanpa diketahui laki-laki yang menghamilinya. Demi memenuhi rencana ibunya, bayi tersebut bukan dirawat oleh nenek dan kakeknya, malah ditinggalkan di klinik tersebut dan dipisahkan dengan ibu kandungnya. 

Perempuan muda yang sudah melahirkan itu, dua hari kemudian diberangkatkan ke Bandung tuk melanjutkan pendidikan. Keluarga tersebut punya 3 anak, namun dua kakaknya sudah wafat di usia muda sebelum menggenapi cita-cita ibu dan bapaknya, merengkuh pendidikan tinggi. 

Kini harapan tersisa hanya pada si bungsu. Demi citra, gengsi dan ambisi. Tanpa orang tuanya menyadari, keputusan dan tindakan mereka, spertinya baik buat keluarga dan baik juga tuk masa depan sang anak. 

Namun namun tanpa sadar, mereka telah memanfaatkan sang anak demi ambisi tanpa mempedulikan luka batin seorang ibu muda yang dipaksa membuang anaknya dan tak boleh nyambung dengan ayahnya lagi. 

Ujung dari kehidupan perempuan muda ini di masa depan, adalah sebuah tragedi dari proses di masa lalu. Rasanya bila kita ada di kehidupan seperti itu, akan mengalami dampak yang hampir sama. 

Membawa 2 rasa bersalah : pertama, bikin malu keluarga. kedua, sayang anaknya tapi harus patuh pada kehendak orang tua demi martabat mereka. Sekalian menebus kesalahannya. Lalu apakah si pria lebih banyak enaknya? Tidak juga. 

Dia merasa bersalah juga, bahkan seumur hidup mungkin, karena stigma laki-laki penjahat kelamin yang menghamili anak orang dan tak bertanggung jawab. Seks bebas bagi pria muda bila hanya sekedar fun, tak sampai hamil, mungkin tak beban. 

Tapi bila dikatakan : hey kau buntingin perempuan, lihat itu anakmu sudah lahir dan ngga ada bapaknya, jujur itu sangat menyakitkan bagi laki-laki. Apalagi omongan dari keluarga sendiri, terutama Papanya. Nasihat seorang Papa biasa dijadikan petuah karena figur penting dalam hidup. 

Jadi apabila kelak bayi tak berdosa itu bertumbuh dan diberitahu ibunya,  siapa ayah kandungnya, bisa makin rumit di kemudian hari. Ada rasa berdosa pada anaknya, dan rasa bersalah pada mantan kekasihnya. 

Bila pun nanti menikah dengan wanita lain, bisa jadi masa lalu hubungan dan status anak hasil wik wik  dari bekas pacar, berpotensi mengganggu kehidupan di masa depan si laki -laki tersebut. 

Bukankah banyak kisah serupa di masyarakat yang mungkin pernah kita dengar atau baca.  

Akhirnya....6 tahun kemudian

Sudah ada titel di depan namanya. Ibu bahagia bapak senang. Ambisi tercapai gengsi keluarga naik.  Namun ada yang berubah pada diri anaknya. Pulang ke rumah di hari ulang tahun, dan melemparkan gulungan ijazah dihapan kedua orang tua. 

Apa yang terjadi? Mengapa sekarang si anak merokok, urak -urakkan. Pakaiannya sudah berubah, layaknya wanita tak bener. 

"Mama puas ? Papa senang supaya dibilang apa sama orang lain? Sekarang dimana anak saya. Bertahun-tahun, bahkan menyusuinya pun tidak. Sekarang dimana anak itu Ma?Dimana Pa?" teriaknya dan kemudian menghancurka apa aja yang ada dihadapannya.  

Lanjutan dari hubungan dengan orang tuanya, dan upaya pencarian anaknya yang entah dmana, dan warna -warni ketemu bekas pacar yang adalah Papa si anak, membuat film ini layaknya kisah khas jaman sekarang. 

Bedanya mungkin saat ini komunikasi dan media sosial lebih mendukung sehingga tak susah melacak jejak para mantan (mantan anak,mantan kekasih, mantan selingkuhan, dan lain-lain...hehe). 

Film ini masuk nominator FFI 1985 bisa jadi karena banyak fenomena dan realitas sosial di masyarakat di kala itu, yang dituangkan dalam novel dengan judul sama karya Novelis Tante Nina Pane, yang juga adalah ibunda dari penulis Mas Andrei Aksana. 

Pergaulan buruk di kalangan pelajar, keluarga tak merestui nikah muda karena MBA (Merid by accident), ditambah gengsi orang tua yang dipaksakan pada anak tanpa sadar. 

Di satu sisi, orang tua kira anaknya akan paham dan bahagia dengan keputusan dan tindakan mereka, namun di masa depan, malah itu meneror kehidupan si anak dan hubungan sosialnya akibat tekanan, rasa bersalah dan luka batin di usia belasan. 

Hal menarik lainnya adalah konflik berkepanjangan lantaran kehadiran anak hasil kehamilan yang tak dikehendaki, tumbuh besar dan kebingungan dengan wanita dewasa yang tak dikenalnya,  dan tiba-tiba mengaku ibu kandungnya. Bingung apa yang terjadi antara Papanya dan si Tante dadakan. 

Kian melebar, ketika ibu sambungnya, yang dulu dikira itu ibu kandungnya, tak terima manakala tau suaminya berhubungan kembali dengan mantan istrinya, yakni ibu kandung si anak. 

Makin melibatkan emosi lantaran ibu sambungnya adalah sahabat karib ibunya saat SMA yang sudah berjasa membawa sang anak keluar dari Klinik Bersalin ketika ditinggalkan begitu saja karena rancangan Opa Omanya, demi memaksa ibunya menggenapi ambisi keluarga. 

Sebuah film lama yang luar biasa, dengan beraneka pesan moral yang relevan dengan kondisi sekarang. Mulai dari konflik keluarga, persahabatan, teman makan teman, luka batin, CLBK mantan dan anak yang dibesarkan bukan dalam keluarga utuh. 

Bukankah banyak di sekitar kita yang seperti itu? 


Salam, 

26/02/2021, 11.08 Wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun