Empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain (KBBI)
Sudah hampir dua minggu pengalaman tak enak dengan salah satu provider. Padahal tahun ini genap 11 tahun loyal setia pada nomor kartu tersebut. Saking nyaman dan tak suka ganti-ganti, keterusan dah. Apalagi makin tahun makin ke sini, banyak keuntungan lain. Â
Bulan lalu ajukan naik limit. Menyesuaikan kebutuhan dan aktivitas harian. Masa pandemi Intensitas meeting dan pelatihan online via zooming, teams dan aplikasi lain, jadi pertimbangan menambah kuota. Â
Meski jatuhnya lebih mahal, namun sebanding yang di dapat. Ada lain lebih murah, cuman ngga mau beralih. Banyaknya kontak terhubung dan dokumen di nomor HP ini jadi pertimbangan paling utama.Â
Jedarr...Masalah muncul dipicu oleh tak berubahnya layanan paket yang bisa diakses lewat kartu secara sederhana dengan menekan : *XXY*UP* semacam itulah.Â
Konfirmasi ke layanan 24 jamnya, mereka menyalahkan sistem yang tak mengubah. Baiklah Ferguzo, sabar aja dan berharap akan berubah, sehingga memudahkan aktivitas.Â
Ternyata dari hari ke hari, masih sama saja, dari awal bulan hingga hari ini. Setiap kali komplain, selalu jawabannya: baik Pak, 1 X 24 jam atau 72 jam dari hari ini, akan diselesaikan. Lewat satu purnama hingga 3 minggu, tak berubah juga.
Apa petugas dan manajemennya mungkin penggemar lagu lawas yang judulnya : aku masih seperti yang dulu...Entahlah. Â
Di dua hari ini, keluhan dilontarkan kembali. Nada sedikit meninggi. Karena butuh buat meeting online, dan ditanyakan atasan, kenapa belum join juga. Makin tak enak dan merasa bersalah, karena peserta lain dan pimpinan mesti menanti hingga semuanya hadir ,baru akan dimulai. Â
Ketidaknyamanan bertambah karena dengan tak berubahnya layanan tambah paket yang bisa diakses pelanggan sendiri, mau tak mau mesti telepon ke call enter agar mereka yang menambahkan dari sentra. Bikin tak enaknya harus melalui prosedur ala interogasi, kesamaan data. Â
Nama lengkap? Tempat tanggal lahir? Alamat email? Kapan terakhir pembayaran? Berapa nominal bayar terakhir? Bayar lewat mana? Alamat di mana? Bla bla bla.. Â
Kalo sudah sesuai, baru petugas akan aktivasi. Alasannya data tak bisa dibuka. Okelah, Sehari dua hari seperti itu, mungkin rasanya tak ada beban. Namun bila selama 2 minggu, dari hari ke hari prosedurnya sama, siapa pun pelanggannya pasti kesal. Yang diharapkan mengupdate agar  pelanggan lakukan sendiri, tanpa perlu ditanya tanya.
Disarankan menginstal aplikasi provider namun karena memori di HP sudah over load, yang kadang malah ngga bisa lagi download aplikasi meeting, saya coba tuk menghapus aplikasi tersebut demi bisa konsisten hadir. Mau hapus yang lain, eh yang lain penting juga.Â
Apa harus beli HP baru yang lebih mahal dengan kapasitas lebih besar, hanya demi bisa instal aplikasi provider tuk aktivasi sendiri, padahal di jaman pandemi, dana segitu bisa buat kebutuhan lain yang jauh lebih pokok dan urgent.Â
Lha ini komplainnya tak digubris selama sekian waktu dengan alasan sistem. Padahal pelanggan taat kewajiban. Kok malah jadinya nyusahin pelanggan ya. Tak terpikirkan kah dampak negatif lanjutan yang terjadi pada pelanggan akibat tak cepat merespons komplain?Â
Emosional yang jadi tak stabil akhirnya maaf kata, bisa ribut sama pasangan, sama anak-anak, lalu di SP karena tak hadir di meeting, mau ini itu tapi akses internet tak terhubung, dan lain-lainnya. Rasanya empati itu perlu banget. Bila petugasnya yang mengalami seperti itu, gimana ya rasanya.Â
Ketika sistem mengatur pekerjaan, akankah itu menjadi alasan minim empati?Â
Bisa dimengerti di jaman sekarang, sistem teknologi memang di pergunakan hampir semua perusahaan dan instansi. Tapi apa sistem harus disalahkan bila komplain dan pengaduan terkait efektivitas dan efisiensi dilontarkan.Â
Sejatinya sistem dan teknologi dibuat oleh manusia. Bila sistem sudah mengambil alih pekerjaan, bahkan mungkin hidup manusia diatur secara sistematika teknologi, akankah empati menjadi nomor ke sekian.Â
Berapa banyak keluhan dari konsumen, lalu para pegawai dan manajemen beralibi : maaf, itu kesalahan dari sistem.Â
Setelah itu membiarkan waktu yang akan menjawabnya dan pelanggan menunggu dan meraba-raba dalam kegelapan dan kebingungan, sampai kapan ini selesainya.Â
Coba lihat beraneka contoh kasus dan kejadian di media, yang seolah -olah sistem menjadi sasaran. Entah sasaran lari dari tanggung jawab, mengulur-ulur  atau alasan agar pelanggan memaklumi.Â
Sebuah contoh sederhana pernah dialami dengan sistem di ATM. Menarik sejumlah uang, lalu mesin ATM ngadat. Saldo terpotong tapi uang tak keluar, kartu ATM juga tertelan.Â
Saya coba telepon ke kantornya, malah keluar pulsa banyak karena menghubungi ke sana. Akhirnya hubungi teman yang kerja di sana, solusinya : mesti datang sendiri ke bank, karena buat baru tak bisa online, mesti offline. Jawaban pegawai yang menangani karena sistem atau pihak ketiga pengelola ATM, padahal itu berbasis teknologi.Â
Rugi waktu, tenaga, ke kepolisian lagi urus surat kehilangan, dan yang lainnya, yang bukan karena kesalahan sendiri tapi kendala di sistem mesinnya. Saya daftar pagi di bank milik pemerintah yang banyak nasabahnya itu pukul 8 pagi, dapat giliran dipanggil jam 2 siang.Â
Mesti tinggalin pekerjaan sekian jam. Kebayang ibu-ibu bawa anak ato lagi hamil, terus nungguin segitu lamanya. Ternyata menunggu itu latihan kesabaran, meski bukan karena akibat diri sendiri. Kepikiran andai itu menimpa mereka yang mengelola konsumen, bagaimana respons nya?
Masih banyak contoh lain, yang kadang karena kesalahan teknologi dan sistem, para pelanggan, konsumen atau pengguna, mesti menanggung akibat yang kadang bukan karena salah nya mereka. Bila sudah demikian, masihkah sistem yang harus disalahkan?Â
Salam,
21 Februari 2021, 16.20 WITA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H