Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kwetiau Goreng dan Naik Kereta Api Zaman Dulu, Kenangan Jelang Imlek di Belantara Jakarta

12 Februari 2021   19:11 Diperbarui: 13 Februari 2021   07:34 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Kolase Foto: Sajian Sedap dan instagram/@SovietFoxtrod

Just Sharing....

Imlek 2021 bikin memori terbang ke jaman mahasiswa. Punya teman rasa sodara. Sebut saja namanya Alvin. Berkulit putih, berkaca mata, berdarah oriental. Keturunan Chinese Betawi. Dia lulusan SMA Negeri 2 di Jalan Gajah Mada jakarta Barat. Dan kami bersua di universitas yang sama. 

Saya di teknik, Alvin di hukum. Meski katanya bermarga Tan, namun bila melepas kacamata, matanya tidaklah sipit. Parasnya cenderung ke tipikal orang Manado atau orang Sunda yang memang sudah dari sononya kebanyakan punya pigmen terang. 

" Salam kenal teman-teman. Gue dari Jakarta, gue di kamar nomor 10," demikian teringat perkenalannya kala semua mahasiswa baru penghuni kosan ngumpul. 

Sebuah rumah kos pemiliknya warga asli Ungasan Bali, punya 12 kamar. Saya di kamar nomor 7. Teman -teman lain dari beberapa daerah di Indonesia,di kamar lain. Ada dari Surabaya, Padang, Batak, Makasar, Klaten, Aceh dan dari kabupaten lain di Bali. Harga sewa saat itu 150 ribu per bulan dengan kondisi kamar mandi dan dapur di luar. 

Tahun segitu ya...belum banyak kos kamar mandi di dalam. Kawasan Kampus Bukit Jimbaran dan Pantai Jimbaran hingga ke tembusan Nusa Dua lewat jalur Ungasan, tidak lah seperti sekarang. Belum banyak hotel dan vila. 

Pantai sekitaran sana masih alami,  meski Pantai Dreamland sudah mulai dikenal. Pantai Pandawa belum direhab  jalan masuk dan fasilitas lainnya.  Patung GWK masih sedang proses membangun. 

Saya, Alvin dan teman -teman, lebih sering belanja ke Pasar Jimbaran bila ingin masak-masak sendiri. Kadang juga beli di warung -warung makan seputaran kampus. Namun bila dana menipis dan kiriman belum datang, ya masak sendirilah. 

Dari  Alvin saya jadi tau kalo orang Chinese sukanya mie. Kebetulan keluarganya sering kirim paket stok makanan dan obat-obatan. Di kemasan nya tercantum aksara tulisan Cina dan Bahasa Indonesia. Namanya sahabatan, ya kadang saya dibagi. Sebaliknya, bila saya dapat kiriman ikan kering sama sagu dari rumah, saya berikan juga ke dia.  

"Kok kaya gini rasanya ," tanya nya, ketika mencelup sagu bakar bercampur kelapa dan gula merah itu ke dalam teh manis panas. 

"Kenapa ? Ngga suka ya?," tanyaku balik

"Hmm...enak sih setelah digigit...," jawabnya kemudian sambil mengunyah

Entah jawabannya itu tuk menyenangkan saya atau terpaksa karena sudah dikasih sama temannya, saya tak ambil pusing. Terserah loh dah. Namanya juga sahabat. 

Paling tidak dia yang anak Jakarta dan keturunan, sudah pernah makan salah satu makanan khas di timur Indonesia. Meski lidah saya juga kurang bersahabat dengan beraneka kue dan mie pemberiannya..hehe. Wajar ya beda budaya dari kecil dibesarkan dengan makanan tertentu. Btw..tetap di makan juga. 

Seumuran, seangkatan, sekosan, satu tempat ibadah dan terlibat di pelayanan kampus. dan barengan di majalah cuman beda fakultas, akhirnya kian akrab. Kadang ngopi dan nginap di tempatnya, kadang juga dia cuman mau ngobrol sampai tidur di kamarku. 

Saking dekat, kadang cewek-cewek kampus yang naksir sama Alvin, selalu jadikan saya sebagai penghubung. Busett...lucu banget kalo diingat. Tau sendiri kan di era itu belum banyak mahasiswa pakai HP. 

Jadi nitip salam sama pesan mesra tuk yang malu -malu kucing, hanya lewat saya. Di kira ekspedisi kali..haha. Bukannya ke saya, malah buat dia. Wkwk. 

Jelang Imlek, pertama kali ke Jakarta naik kereta dan makan Kwetiau.

Libur semester ganjil di bulan bulan pada awal tahun, hampir selalu bersamaan momen Imlek. Kebetulan ada acara meeting dan retreat nasional  Campus Ministry yang diadakan di Pantai Anyer Carita di Banten, saya dan Alvin kepilih tuk hadir. Senang juga karena belum pernah ke Jakarta. 

Tiket pesawat mahal, kami pilih naik Kereta Api. Di Bali tak ada lintasan rel, cuman ada kantor KA. Jadi kami naik bis milik jawatannya jam 1 dinihari dari Denpasar agar bisa tiba di Banyuwangi sebelum pukul 8 pagi. Biasanya jarak perjalanan kurang lebih 5 jam sudah termasuk nyebrang kapal Feri Gilimanuk-Ketapang. 

Biaya tiket sampai di Jakarta sudah dibayar di kantor KA di Bali, jadi kami hanya tunjukkan buktinya. Kereta yang dinaiki namanya Mutiara Timur tujuan Surabaya Gubeng. Kami duduk di kelas bisnis. Info dari petugas KA, setelah di Surabaya, lanjut lagi beda kereta. 

Beberapa jam perjalanan dan melewati terowongan, kemudian singgah di stasiun Jember. Makin banyak penumpang. Kursi -kursi kosong dalam gerbong makin penuh. Seingat saya,meski gerbong kami kelas bisnis, namun ada gerbong lain satu rangkaian kelas ekonomi.Dapat gratis makan. Cuma pilihannya nasi kare atau nasi goreng dalam perjalanan. Mau pesan yang lain, bayar lagi boss..hehe. 

Turun di Surabaya,mandi dulu di toilet stasiun. Setelah ke peron tuk tunjukkan tiket. Kami naik KA Gaya Baru Malam Utara sekitaran pukul 7 malam tujuan Stasiun Senen  Jakarta.

Di jaman itu, seluruh gerbongnya adalah kelas ekonomi. Saya yang baru sekali naik penumpang, cuma terkaget -kaget melihat pemandangan saat pemberangkatan. Tak seperti pagi hari tadi naik di Banyuwangi, naik di Gubeng serasa angkutan desa. 

Bagaimana penumpang bisa menerobos masuk lewat kaca, bahkan hingga duduk di atap kereta. Kursi tempat bagian saya dan Alvin pun kiri kanan depan belakang dan sampingnya sudah sesak oleh orang lain. Beruntung bisa duduk cuman sudah rileks dan nyaman. 

Mau ke toilet, eh sudah ada yang duduk atau tidur di sana. Kebayang dah kayak gimana. jendela di samping tempat kami duduk pun retak. Alhasil bila hujan akan menerobos masuk. 

Syukurnya gerbong kami masih menyala lampunya. Itu membantu karena perjalanan malam hari hingga tiba paginya. Namun ada lagi gerbong yang mati lampunya. Kebayang dah...hehe. 

"Nasi....nasi...pecel lele, kerupuk, kopi, teh....," suara orang jualan selalu saja ada melintas dari gerbong ke gerbong. 

Makin malam makin rame. Penjualnya beraneka ragam usianya. Tua muda anak kecil orang dewasa. Belum lagi orang ngamen. Mulai dari yang normal sampai waria. Ya Tuhan...ini kereta api apa pasar, kataku dalam hati. Hehe. Itu sudah tak ada jalan buat lewat, gimana mereka bisa tetap melintas. 

Mukaku yang sudah aslinya coklat kehitaman tambah legam oleh keringat dan panas di dalam gerbong. Alvin sudah tidur posisi duduk. Saya membayangkan kalo sebuah keluarga dengan anak kecil naik dalam perjalanan dengan kondisi seperti ini. Apa mereka nyaman? Atau karena tak ada pilihan lain di jaman itu, jadi berdamai sajalah. 

Sekian jam kemudian singgah di Stasiun Semarang. Lumayan lama berhentinya. Bisa ke kamar kecil, makan, atau cuci muka dulu. Satu jam kemudian berangkat lagi. 

Dari Semarang ke Jakarta, kadang kereta mesti berhenti cukup lama di lintasan rel tuk memberi kesempatan kereta Eksekutif melaju duluan. Ternyata harga sebanding sama pelayanan. Mau cepat dan nyaman, mesti bayar lebih. 

Perjalanan ngeri -ngeri sedap dalam gerbong akhirnya tiba pukul 12 siang. Saya cuman berkata dalam hati : Ini yang namanya Jakarta. Mumpung bawa kamera otomatis, ya sudah sekalian foto-foto gedung bertingkatnya (udik benar ya...hehe). Alvin jadi guide cari angkot. 

"Nyokap suruh ke rumah. Yukk mampir dulu," ajak Alvin

Rumahnya di Kapuk, Cengkareng Jakarta Barat. Ada sekitar dua kali naik angkutan umum dari Senen, Satu pake angkot, udahan gantian pake bemo roda 3. Ini pengalaman pertama kali naik model beginian yang dulu di daerah asal, saya cuman nonton di serial Sinteron Si Doel Anak Sekolahan. 

"Kayak gini Jakarta Dolf. Kemacetan dan banjir sudah jadi teman akrab. Aku juga meski keturunan Cina, tapi bukan latar orang menengah ke atas. Tak semua orang Cina itu orang kaya," terang Alvin. 

Sesampai di rumahnya, apa yang dikatakannya memang demikianlah adanya. Rumahnya sederhana, meski Nyokap Bokapnya pebisnis. Mereka sudah lama tinggal di daerah itu. Bahkan bila air meluap, perumahan di kompleks kebanjiran.

 Setelah mandi dan bersiap tuk berangkat lagi ke lokasi meeting di Pantai Anyer, Mama nya memanggil kami tuk makan siang. 

"Mama buatkan Kwetiau, semoga Adolf juga suka. Ini juga karena lagi dua hari akan Imlek, " demikian kata beliau ketika kami duduk di meja. 

Saya perhatikan Alvin lahap benar makannya. Saya coba tuk masukkan ke mulut mie yang kelihatan besar dan panjang itu. Pertama rada aneh juga, karena yang dicoba selama ini cuma mie goreng atau mi rebus yang dijual di pasaran. Akibat kelaparan, habis juga kwetiau goreng dengan lauk udang goreng, suwir ayam telur serta sayuran. 

Sehabis acara di Carita, kami balik lagi ke rumahnya tuk pamitan pulang ke Bali. Ngga lagi naik kereta  tapi menumpang bis malam Jakarta-Bali. Saya belajar hal baru dari bersahabat dengan Alvin dan kenal orang tuanya. 

Meski warga keturunan, mereka berbaur dengan banyak warga lokal. Mereka tetap melestarikan tradisi Imlek, sebelum atau sesudah pemerintah di bawah kepemimpinan Gusdur, menetapkannya sebagai Hari Libur Nasional.  

Kebhinekaan dari Sabang hingga Merauke, tak hanya adat dan budaya lokal tapi juga akulturasi dari budaya luar yang sudah beranak pinak dalam budaya Indonesia. 

Salam Imlek 2021 buat semua yang merayakan dalam kondisi pandemi, Tetap semangat dalam cinta kasih tuk membangun keberagaman dalam kesatuan.  

Salam, 

Tulisan ini juga buat my friend Alvin, istri dan anak -anaknya, maaf ya Bro namamu disamarkan...hehe. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun