Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kritik Pejabat Publik, Konsekuensi Jabatan dan Kebebasan Warga Beropini

10 Februari 2021   12:32 Diperbarui: 10 Februari 2021   13:35 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mana lebih enak, mengkritisi pejabat di jaman orde baru atau di jaman setelah reformasi? 

Pengertian pejabat publik berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 61 tahun 2010 adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas menduduki posisi dan jabatan tertentu pada badan publik. Lantas badan publik itu yang seperti apa?  

Definisi badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, atau badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Ini berarti sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 

Bisa juga badan publik adalah organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Dari pengertian tersebut menjadi jelas pejabat publik itu katagori jabatan mana aja dan di lembaga mana aja. 

Bicara soal mengkritisi pejabat publik, lebih berat di jaman seusai reformasi 1998. Di jaman Orba 1965 hingga 1998, pejabat publik cenderung dihormati bahkan disanjung. 

Posisi dan kedudukan mereka yang ditempatkan sebagai pejabat pun lebih banyak rekomendasi dan atas campur tangan penguasa. Tanpa melalui mekanisme warga sebagai penentu utama. 

Sistem kabinet dan pemerintahan di era itu, memang lebih cenderung sentralistik. Gubernur sebuah propinsi adalah seorang yang dipilih oleh kepala negara meski DPRD mengajukan beberapa kandidat. Dan sudah jamak bila pilihan Presiden adalah seorang yang dekat dan seirama dengannya. Setali tiga uang dengan kandidat Bupati di daerah lokal.  

Begitu juga partainya. Cuma itu itu saja dengan partai mana yang menang, sudah bukan rahasia lagi. Meski demikian, pada sebagian warga di periode orde baru kala itu, merasa 'baik baik saja' dalam tanda kutip.  Makan cukup, murah meriah dan minim gejolak. 

Ketika meletus reformasi, memang kondisi bangsa juga sedang tidak aman. Krisis ekonomi di tahun 1997 yang menyebabkan nilai rupiah turun, menjadi salah satu pencetusnya. 

Rakyat menginginkan sebuah perubahan dengan mengamati pola pemerintahan apa sih yang sedang ada di negara selama 1965 -1998. Termasuk di dalamnya pewarisan sistem KKN, Nepotisme dan Kolusi yang membelit. Dan mahasiswa serta anak muda di era itu menjadi eksekutor bersuara. 

Cikal bakal beropini warga hingga hari ini tak bisa dilepaskan dari keran keleluasaan berpendapat yang dibuka sejak reformasi bergulir. Dampaknya yang bisa diamati hingga hari ini melubernya beragam opini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun