Pergi pagi pulang malam, cari uang mati ngga dibawa...
Pernah disindir dengan ucapan rada-rada mirip quote di atas. Bahkan gegara omongan tersebut, meski berbalut  canda, sempat kepikiran juga. Kebayang bila hanya menghabiskan umur berputar -putar di pekerjaan sekuler saja, bagaimana orang -orang di luar kantor mengenal saya? Apa hanya status dan jabatan di perusahaan?Â
Setelah dipikir-pikir, apa yang salah dengan kengoyoan bekerja. Manusia bekerja untuk hdup, dan hidup butuh uang. Tak ada yang gratis. Setiap orang lahir telanjang, meninggal pun kelak telanjang. Tak ada yang dibawa. Diwariskan semua. Ya harta ya utang.Jadi uang dicari tuk ngebayar utang juga jadi alasan pergi pagi pulang sore. Â Â
Bagi saya, mencari worklife balance sebenarnya istilah lama sebagai sindiran dan ajakan demi menyeimbangkan hidup. Antara pekerjaan dan hobi, antara keaktifan di dunia sekuler dan keterlibatan di kegiatan sosial. Secara khusus, malah ada yang mengistilahkan sukses dunia akhirat. Hmm... Â Â
Sentilan semacam quote di atas itu emang sedikit nyelekit. Â Terkenang visi sebelum umur 20. Periode remaja hingga kuliah, cita -cita dalam hidup cuma kepengen kerja di dunia sekuler tapi tetap melayani sesama.Â
Ini termasuk di dalamnya memberi waktu, tenaga dan bakat, tuk melayani umat.Sesuai keyakinan saya. Apalagi di gereja ada banyak bidang dimana bisa membantu. Â
Jadi selama kuliah, ikut Campus Ministry (CM). Itu pelayanan kampus bagi mahasiswa - mahasiswa yang beragama nasrani. Pelayanan seperti ini hampit sama dengan LDK (Lembaga Dakwah Kampus) atau semacam salah satu divisi di HMI pada teman -teman mahasiswa muslim.Â
Di  era 2000 an awal memang mewabah ya di kampus-kampus. Teman -teman yang beragama Hindu juga ada KMHD (Keluarga Mahasiswa Hindu Darma) maupun yang Budha. Â
Hingga seperempat abad, hidup saya cuma di 3 tempat dan 3 aktifitas : Kost, Kampus dan Gereja. Kadang tidur di kontrakan, kadang nginap di sekretariat fakultas dan sering terlelap di rumah pelayanan anak muda. Di sekretariat kampus ikutan jurnalistik bikin majalah. Dari semester 3 hingga semester akhir. Sekalian bikin tugas kuliah.Â
Di rumah pelayanan, ikutan ngelayani jadi konselor. Bikin acara buat anak muda. Karena fokus mahasiswa, pelajar dan pekerja muda, jadi kadang minggu ini di pantai, dua minggu lagi bisa acaranya bisa di hotel. Apalagi di Bali sangat mendukung.
Sempat ikutan di musik, tapi akhirnya ngga ah. Masih banyak yang lebih bertalenta, lebih piawai main musik dan lebih bagus suaranya.Ngga pede. Berikan pada mereka yang memang dikaruniakan lebih banyak bakat. Lagi pula setiap orang punya porsi masing -masing kan...sesuai yang dideposit Sang Pencipta.Â
Ketika tamat kuliah dan mulai bekerja, praktis satu kegiatan hilang, yaitu uda ngga kumpul-kumpul ma teman di majalah. Satu tahun sebelum tamat, udah ngga ngurusin. Regenerasi lah ke adik-adik tingkat. Begitu juga ketika bekerja. Perlahan mengurangi aktif pelayanan. Hanya bisa seminggu sekali, itu pun hanya 2 jam.Â
Ketika tekanan pekerjaan meningkat, beban dan target naik seiring gaji dan tanggung jawab, saya jauh lebih banyak sibuk dengan urusan kerjaan dibanding memikirkan hal -hal yang sifatnya spiritual, terutama melayani umat. Lebih sering jadi penyumbang dana bazaar anak muda saat natalan atau paskah dibanding terlibat sebagai apa di kepanitiaan.Â
Bekerja juga ibadah, lalu dimana salahnya menerapkan worklife balance?Â
Terkenang di semester akhir, Bapak Pendeta yang biasanya kami sebut Pastor atau Bapak Gembala, memanggil ke rumahnya. Rada-rada kuatir. Berpikir dalam hati, apa beliau mendengar ada sesuatu yang ngga bener mengenai diri saya. Dosa apa yang saya perbuat sampai dipanggil. Bakalan pengakuan dosa nih... Celaka 12. Â
"Dolf, kamu mau ngga jadi fulltimer? " tanya beliau. Ibu gembala, istrinya, juga  duduk bersama.Â
"Saya tidak punya cita-cita ke sana Pastor. Saya cuman kepengen jadi orang yang kerja kantoran di dunia sekuler, tapi saya tetap melayani," jawab saya jujur pada saat itu.Â
Fulltimer itu mendedikasikan hidup setelah tamat kuliah, untuk menjad  pelayan sepenuh waktu. Semacam jadi pendeta muda. Nanti akan membantu beliau dan akhirnya ditugaskan melayani dan ditempatkan di suatu daerah. Â
So Finally...Siapa saya pada hari ini, bertahun tahun setelah pertanyaan tersebut, tetap memegang apa yang di inginkan dulu : bekerja di pekerjaan sekuler dan tetap melayani. Meski di beberapa tahun terakhir, saya merindukan worklife balance seperti dulu hingga menginjak usia 25 tahun. Â
Saat pindah tugas ke Sumbawa dan status berubah, praktis tak ada kesibukan dan rutinitas padat seperti dulu. Di sini kota kecil, dan persahabatan lebih banyak ke teman-teman kantor. Semakin tahun merambat, lebih banyak menghabiskan waktu di kantor lantaran beban dan tanggung jawab.
Lama -lama merasa ada yang kosong di jiwa saya. Finansial jauh lebih sejahtera, naik pesawat ke sana kemari sebelum pandemi jauh lebih sering dibanding dulu. Tapi saya kok merasa seperti kehilangan keseimbangan hidup, pada visi sejak remaja. Bahkan kadang lalai ibadah lantaran banyak kerjaan.Â
Hingga di beberapa bulan lalu, saya menemukan sebuah buku harian jaman kuliah. Diary itu sudah berdebu dan halaman-halaman dalam bukunya hampir sobek. Saya buka lembar demi lembar dan mengenang semua perjalanan dan prosesnya. Di situ ada cerita dan momen jaman aktif-aktifnya.Â
Salah satu yang disyukuri pada saat ini adalah bisa bergabung di Kompasiana. Menulis dan berbagi dengan semua  teman-teman di komunitas ini salah satu cara menyeimbangkan antara pekerjaan dan di luar pekerjaan. Hobi sekalian refreshing.Â
Dua tahun lalu juga, alumni rekan-rekan di majalah universitas dulu, bikin grup WA dan saya diundang. Ada kakak -kakak senior dan adik-adik yunior juga. Ini salah satu worklife balance meski ngumpul di WAG cuman saling berbagi info apa aja. Mengenang momen dulu dan saling bercanda.Â
Tak menyesal masa muda pernah dihabiskan sekian tahun di sini, yang akhirnya tetap kepake nulis di media komunikasi kantor juga. Bahkan di tahun 2018 dan tahun 2019, bisa dapat kursus gratis tambahan soal media dan blogger dari Mas Isjet, salah satu senior di admin K.
Juga Bang Andromeda Merkuri, presenter TV ONE terkenal itu. Mereka diundang kantor pusat tuk mengajari saya dan rekan-rekan yang terwakili dari kantor cabang lain. Bagi saya itu mungkin hadiah dari apa yang disukai sejak remaja, Â tapi juga salah satu worklife balance. Ngga tiap hari ngurusin kredit dan uangnya nasabah.Â
Bisa wawancara dan ngeliput kegiatan di level daerah dan berkaitan dengan keterlibatan kantor, lalu tulisan itu dimuat di media kantor dan dibaca seluruh kantor cabang di Indonesia, itu sudah refreshing juga.Â
Ada kepuasan tersendiri dan tak jenuh juga di kerjaan. Lagi pula sudah biasa juga kan dari mahasiswa ngelakuin yang begituan? Jadi biasa aja.Â
Dua tahun lalu mencoba tuk merawat dan memelihara hewan kucing, hal yang dulunya sangat tak disukai. Mulai melihat pekerjaan dengan kaca mata yang baru dan mengembangkan minat lain. Mulai melirik pada kegiatan sosial dan spiritual.Â
Saya ingin hidup saya tak hanya dikenal di kantor, di pekerjaan sekuler, tapi juga di komunitas di luaran sana. Mewarnai dunia dengan kebaikan dan hal-hal positif.Â
Adalah baik bagi orang mengembangkan kegemaran baru. Mengembangkan potensi yang tersembunyi.Membuat hidup lebih berarti buat orang lain, termasuk buat keluarga, pasangan, anak -anak, daerah, bangsa dan negara. Mulai dari apa yang kita bisa, bukan apa yang kita tak bisa.
Jadi Worklife balance?? Penting dan baik tuk kesehatan jiwa dan jasmani.Â
Salam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H