Ketika tamat kuliah dan mulai bekerja, praktis satu kegiatan hilang, yaitu uda ngga kumpul-kumpul ma teman di majalah. Satu tahun sebelum tamat, udah ngga ngurusin. Regenerasi lah ke adik-adik tingkat. Begitu juga ketika bekerja. Perlahan mengurangi aktif pelayanan. Hanya bisa seminggu sekali, itu pun hanya 2 jam.Â
Ketika tekanan pekerjaan meningkat, beban dan target naik seiring gaji dan tanggung jawab, saya jauh lebih banyak sibuk dengan urusan kerjaan dibanding memikirkan hal -hal yang sifatnya spiritual, terutama melayani umat. Lebih sering jadi penyumbang dana bazaar anak muda saat natalan atau paskah dibanding terlibat sebagai apa di kepanitiaan.Â
Bekerja juga ibadah, lalu dimana salahnya menerapkan worklife balance?Â
Terkenang di semester akhir, Bapak Pendeta yang biasanya kami sebut Pastor atau Bapak Gembala, memanggil ke rumahnya. Rada-rada kuatir. Berpikir dalam hati, apa beliau mendengar ada sesuatu yang ngga bener mengenai diri saya. Dosa apa yang saya perbuat sampai dipanggil. Bakalan pengakuan dosa nih... Celaka 12. Â
"Dolf, kamu mau ngga jadi fulltimer? " tanya beliau. Ibu gembala, istrinya, juga  duduk bersama.Â
"Saya tidak punya cita-cita ke sana Pastor. Saya cuman kepengen jadi orang yang kerja kantoran di dunia sekuler, tapi saya tetap melayani," jawab saya jujur pada saat itu.Â
Fulltimer itu mendedikasikan hidup setelah tamat kuliah, untuk menjad  pelayan sepenuh waktu. Semacam jadi pendeta muda. Nanti akan membantu beliau dan akhirnya ditugaskan melayani dan ditempatkan di suatu daerah. Â
So Finally...Siapa saya pada hari ini, bertahun tahun setelah pertanyaan tersebut, tetap memegang apa yang di inginkan dulu : bekerja di pekerjaan sekuler dan tetap melayani. Meski di beberapa tahun terakhir, saya merindukan worklife balance seperti dulu hingga menginjak usia 25 tahun. Â
Saat pindah tugas ke Sumbawa dan status berubah, praktis tak ada kesibukan dan rutinitas padat seperti dulu. Di sini kota kecil, dan persahabatan lebih banyak ke teman-teman kantor. Semakin tahun merambat, lebih banyak menghabiskan waktu di kantor lantaran beban dan tanggung jawab.
Lama -lama merasa ada yang kosong di jiwa saya. Finansial jauh lebih sejahtera, naik pesawat ke sana kemari sebelum pandemi jauh lebih sering dibanding dulu. Tapi saya kok merasa seperti kehilangan keseimbangan hidup, pada visi sejak remaja. Bahkan kadang lalai ibadah lantaran banyak kerjaan.Â
Hingga di beberapa bulan lalu, saya menemukan sebuah buku harian jaman kuliah. Diary itu sudah berdebu dan halaman-halaman dalam bukunya hampir sobek. Saya buka lembar demi lembar dan mengenang semua perjalanan dan prosesnya. Di situ ada cerita dan momen jaman aktif-aktifnya.Â