Dalam beberapa hal,yang bermasalah bukan barangnya tapi ukurannya...
Seorang nasabah curhat pada saya, ketika mampir ke rumahnya. Sebenarnya maksud kedatangan mau ngomongin perihal salah satu produk jasa keuangan yang diminati pasangan suami istri ini.Namun obrolan melebar ke soal pagar rumah di komplek perumahan mereka.Â
"Hidup bertetangga kadang makan hati. Hanya gara -gara pagar, bisa nyinyir orang kiri kanan," demikian curhatnya
"Hmm..kok bisa Bu. Masalahnya kenapa?" tanya saya, penasaran juga
"Pasang pagar rendah dari kayu, dibilang miskin ndak punya uang. Dibuat yang tinggi tertutup, eh dibilangin sombong. Ndak mau gaul sama orang samping," keluhnya dengan ekspresi kesal.Â
Mendadak sedikit tersedak saya. Bukan karena cairan kopi hitam hangat buatan sang nasabah yang membasahi kerongkongan,tapi respon otomatis karena menahan tawa.Â
Akhirnya tangan kanan dipake menutup mulut agar nada tertawanya ndak kedengaran.Â
Jujur, curhat gara -gara pagar antar tetangga, sudah sekian kali saya dengar. Terutama dari satu dua warga yang bertempat tinggal di komplek perumahan yang kreditnya dibiayai oleh salah satu Bank BUMN.Â
Di tanah air banyak ya pembangunan pemukiman model beginian,yang tak kerkatagori sebagai perumahan cluster.Luas lahan tak besar, tidak semua penghuni nya memiliki kendaran roda 4.Â
Namun jalan lingkungan antar blok ato deretan dapat dilalui mobil atau truk.
Lantas, apa aja yang dicurhati gara-gara pagar rumah?Â
1. Bikin pagar tertutup itu menandakan penghuninya ndak mau akrab dengan tetangga.Â
Apa iya begitu, kayaknya perlu dibuat polling terbuka dehh. Entah benar ato tidak, kayaknya pemilik rumah punya pertimbangan sendiri.Â
Ada alasan mengapa ukurannya segitu sampai teras dan halaman depan rumah tak terlihat dari depan. Bahkan parkir nya pun di dalam.Â
Tampilan pagar seperti itu memang menyiratkan pesan tak ingin dekat dengan samping kiri dan kanan. Jadi tak bisa disalahkan juga andai penghuni lain jadi berpikir : tetangga masa gitu.Â
2. Biar bebas mau ngapa-ngapain, ndak ada yang tau.Â
Ini tak hanya pada hal yang baik, tapi melenceng jauh pada analisa negatif. Mulai dari bisa membawa orang lain tuk melakukan tindakan kriminal,tindakan senonoh, atau merancang modus dan rencana kejahatan, tanpa di ketahui atau terpantau warga perumahan lain.Â
Meski itu rasanya kecurigaan yang berlebihan atau suudzon lah istilahnya, namun tak menampik ada tetangga lain bisa kepikiran demikian.Â
Faktanya juga memang ada ditemui,misal maaf kata, kegiatan ngisap sabu barengan atau judi berjemaah karena tampilan tempat tinggal juga mendukung.Â
3. Kasian anak-anaknya, ngga bisa main dengan anak komplek.Â
Jauh sebelum masa pandemi datang, dengan desain eksterior rumah seperti itu, ada sebagian orang tua mengharapkan anak-anaknya bisa lebih banyak diam di rumah dengan fasilitas yang disediakan. Aman,nyaman dan tersembunyi.Â
Namun di lain sisi, sejumlah teman-teman anak tetangga lain, yang mungkin sebaya dan sepantaran, jadi ndak enak main ke rumah mereka karena ada pagar bak teralis penjara.Â
Orang tua anak-anak lain pun merasa kurang nyaman bila melihat buah hatinya berdiri di luar pagar dan memanggil anak penghuni pagarr tersebut tuk bermain.Â
4. Ngga tau masih hidup apa ngga penghuninya
Rasanya sadis banget ya...kalo dibilangin begini, tapi realitanya saya pernah punya pengalaman diinformasikan seperti itu.
Beberapa tahun silam, ketika masih lebih banyak di lapangan, saya mengurus sebuah pengajuan kredit multiguna ratusan juta dengan agunan, dari seorang pasangan suami istri.
salah satu SOP yang biasa dilakukan adalah survey lingkungan,dengan meminta informasi pada minimal 2 warga di sekitaran tempat tinggal nasabah perihal profil calon nasabah.Â
Caranya adalah pura -pura menanyakan di mana alamat nasabah, kenal ngga , apa benar dia tinggal di sini,pekerjannya apa, pasangannya atau nama orang tuanya, dan yang lainnya.Â
"Iya itu sih rumahnya, cuman ndak tau masih hidup apa ngga. Rumahnya pagar tembok gitu, ndak pernah kelihatan," jawab ketus seorang warga ketika saya menunjukkan copy KTP pengaju pinjaman.Â
Itu mungkin hanya salah satu contoh namun penggambaran bahasa dan ucapan seperti itu oleh warga, bisa jadi sebagai ekspresi bahwa penghuni rumah berpagar tinggi dan tertutup. memang tak terlihat keseharian dari luar.Â
Apakah ada orangnya di dalam, masih sehatkah atau sedang sakit, sedang baik -baikkah atau sedang bermasalah,hampir tak diketahui warga.
Kecuali mungkin bila mereka terlibat dalam kegiatan bersama warga,misal di pos kamling,menghadiri ibadah agama,atau arisan RT misalnya.Â
Bila memang demikian, apa tak boleh bikin pagar pembatas yang tinggi?Â
Tidak juga lah. Rumah milik sendiri, tentu pemilik nya bebas berkreasi. Batas tanahnya jelas dan dana tuk beli bahan serta bayar tukang juga milik sendiri. Bukan sumbangan warga. Jadi rasanya tak baik juga melarang atau membatasi.Â
Namun karena hidup bersosialisasi dalam sebuah areal pemukiman, alangkah baiknya dampak sosialnya juga dipertimbangkan. Memang sih makin ke sini mengikuti tren jaman, manusia cenderung lebih eksklusif dan mandiri. Tertutup di dunia nyata, namun bisa jadi terbuka di dunia maya.
Membangun pembatas hunian pribadi dengan ukuran menjulang, ada keuntungan nya juga. Pertama mungkin aspek keamanan, meski pada cluster ato komplek perumnas (perumahan subsidi) biasanya sudah ada tenaga pengamanan di gerbang komplek.Â
Tak sedikit tujuan didirikan pembatas seperti itu, karena ada sejumlah aset yang mesti dilindungi,misalnya kendaraan pribadi di parkiran dalam, hingga tanaman berharga lumayan mahal di pekarangan pemilik rumah. Misalnya anggrek, ato janda bolong. Ups.Â
Di balik keuntungan menggunakan pembatas demikian, ada potensi bahaya lain yang juga bisa terjadi. Selain dapat menjadi lokasi perencanaan kejahatan, juga lokasi tindak kriminal tanpa diketahui warga sekitar.Â
Bila sang pembuat kejahatan berhasil masuk dan melukai bahkan menghabisi penghuni rumah, siapa warga yang tahu apa yang sedang terjadi di dalam ?Â
Meski CCTV bisa merekam, namun pertolongan pertama mungkin tak bisa dilakukan tetangga kiri dan kanan. Apalagi pelaku bisa menyamar sebagai petugas laundry ato pura -pura mengaku keluarga ato relasi bisnis.Â
Lain pula bila penghuni,maaf kata cekcok dan berujung KDRT, hingga meninggal dunia,atau tiba-tiba terjadi insiden yang berbahaya, bisa -bisa tak direspon cepat oleh warga karena tak terlihat kala melintas dari luar.Â
Lain halnya pada rumah berpagar rendah atau rumah tak berpagar. Lagi pula, biasanya dengan adanya pagar tertutup, otomatis menurunkan niat tetangga sowan dan main -main ke rumah sebelah.
Ndak bebas lagi, katanya...hehe.Â
Apa ini dinamika sosial ala hidup bertetangga? Entahlah...
Yang pasti manusia sebagai mahkluk sosial, memang tak bisa hidup sendiri, termasuk hidup bertetangga.Â
Baca juga :Â Paskah 2021, Berdoalah tuk Tempat Dimana Hidupmu BeradaÂ
Salam,Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H