Namun karena hidup bersosialisasi dalam sebuah areal pemukiman, alangkah baiknya dampak sosialnya juga dipertimbangkan. Memang sih makin ke sini mengikuti tren jaman, manusia cenderung lebih eksklusif dan mandiri. Tertutup di dunia nyata, namun bisa jadi terbuka di dunia maya.
Membangun pembatas hunian pribadi dengan ukuran menjulang, ada keuntungan nya juga. Pertama mungkin aspek keamanan, meski pada cluster ato komplek perumnas (perumahan subsidi) biasanya sudah ada tenaga pengamanan di gerbang komplek.Â
Tak sedikit tujuan didirikan pembatas seperti itu, karena ada sejumlah aset yang mesti dilindungi,misalnya kendaraan pribadi di parkiran dalam, hingga tanaman berharga lumayan mahal di pekarangan pemilik rumah. Misalnya anggrek, ato janda bolong. Ups.Â
Di balik keuntungan menggunakan pembatas demikian, ada potensi bahaya lain yang juga bisa terjadi. Selain dapat menjadi lokasi perencanaan kejahatan, juga lokasi tindak kriminal tanpa diketahui warga sekitar.Â
Bila sang pembuat kejahatan berhasil masuk dan melukai bahkan menghabisi penghuni rumah, siapa warga yang tahu apa yang sedang terjadi di dalam ?Â
Meski CCTV bisa merekam, namun pertolongan pertama mungkin tak bisa dilakukan tetangga kiri dan kanan. Apalagi pelaku bisa menyamar sebagai petugas laundry ato pura -pura mengaku keluarga ato relasi bisnis.Â
Lain pula bila penghuni,maaf kata cekcok dan berujung KDRT, hingga meninggal dunia,atau tiba-tiba terjadi insiden yang berbahaya, bisa -bisa tak direspon cepat oleh warga karena tak terlihat kala melintas dari luar.Â
Lain halnya pada rumah berpagar rendah atau rumah tak berpagar. Lagi pula, biasanya dengan adanya pagar tertutup, otomatis menurunkan niat tetangga sowan dan main -main ke rumah sebelah.
Ndak bebas lagi, katanya...hehe.Â
Apa ini dinamika sosial ala hidup bertetangga? Entahlah...
Yang pasti manusia sebagai mahkluk sosial, memang tak bisa hidup sendiri, termasuk hidup bertetangga.Â
Baca juga :Â Paskah 2021, Berdoalah tuk Tempat Dimana Hidupmu BeradaÂ
Salam,Â