Orang tua anak-anak lain pun merasa kurang nyaman bila melihat buah hatinya berdiri di luar pagar dan memanggil anak penghuni pagarr tersebut tuk bermain.Â
4. Ngga tau masih hidup apa ngga penghuninya
Rasanya sadis banget ya...kalo dibilangin begini, tapi realitanya saya pernah punya pengalaman diinformasikan seperti itu.
Beberapa tahun silam, ketika masih lebih banyak di lapangan, saya mengurus sebuah pengajuan kredit multiguna ratusan juta dengan agunan, dari seorang pasangan suami istri.
salah satu SOP yang biasa dilakukan adalah survey lingkungan,dengan meminta informasi pada minimal 2 warga di sekitaran tempat tinggal nasabah perihal profil calon nasabah.Â
Caranya adalah pura -pura menanyakan di mana alamat nasabah, kenal ngga , apa benar dia tinggal di sini,pekerjannya apa, pasangannya atau nama orang tuanya, dan yang lainnya.Â
"Iya itu sih rumahnya, cuman ndak tau masih hidup apa ngga. Rumahnya pagar tembok gitu, ndak pernah kelihatan," jawab ketus seorang warga ketika saya menunjukkan copy KTP pengaju pinjaman.Â
Itu mungkin hanya salah satu contoh namun penggambaran bahasa dan ucapan seperti itu oleh warga, bisa jadi sebagai ekspresi bahwa penghuni rumah berpagar tinggi dan tertutup. memang tak terlihat keseharian dari luar.Â
Apakah ada orangnya di dalam, masih sehatkah atau sedang sakit, sedang baik -baikkah atau sedang bermasalah,hampir tak diketahui warga.
Kecuali mungkin bila mereka terlibat dalam kegiatan bersama warga,misal di pos kamling,menghadiri ibadah agama,atau arisan RT misalnya.Â
Bila memang demikian, apa tak boleh bikin pagar pembatas yang tinggi?Â
Tidak juga lah. Rumah milik sendiri, tentu pemilik nya bebas berkreasi. Batas tanahnya jelas dan dana tuk beli bahan serta bayar tukang juga milik sendiri. Bukan sumbangan warga. Jadi rasanya tak baik juga melarang atau membatasi.Â