Bila kau membaca kisah ini, ingatlah seseorang yang pernah berjanji padamu....
Mobil travel  yang membawa David dan beberapa penumpang itu mendadak berhenti di sebuah rumah makan. Tarikan tuas rem dan suara kondektur membangunkan seluruh penumpang. Pria berusia 28 tahun itu mengernyitkan matanya agar bisa melihat jelas ke luar jendela.
Penumpang yang duduk di sebelahnya sudah tak ada. Apa mungkin sudah turun duluan selama perjalanan, tanyanya dalam hati. Rasa kantuk yang menyergap dirinya saat berangkat dari Mataram membuat dia lebih awal memejamkan mata. Terbuai nyenyak apalagi selepas kapal bersandar di Pelabuhan Poto Tano.Â
Dua hari lalu pimpinannya di kantor merekomendasikan naik pesawat dari Jakarta ke Bima via transit di Bandara Lombok. Namun naluri petualang ditambah jiwa mudanya, membuatnya ingin mencoba jalan darat. Pengen tau seperti apa sih medannya.Â
Bepergian ke sejumlah kota kecil di tanah air dalam rangka tugasnya, sudah merupakan sebuah kebahagiaan dalam pekerjaan. Dulunya hanya mendengar dari cerita teman-temannya di sebuah PTN, dimana mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia.Â
Kini dengan karir yang ditekuni, dia dapat terbang ke daerah-daerah yang dulu hanya dilihat di tayangan TV. The happiness in job.Â
Itu kalimat yang kerap kali dituliskan sebagai update status di WA dan IG nya, manakala pesawat yang membawanya mendarat di sebuah bandara kecil di kabupaten yang jauh dari Jakarta. Tak lupa foto selfie berlatar burung besi tersebut.Â
David adalah seorang sarjana IT. Perusahaan tempat dia berkarir bekerja sama sebagai vendor bagi sejumlah perusahaan besar yang memerlukan jasa IT di kantor -kantor cabang milik mereka di seluruh Indonesia.Â
Dengan demikian, kerap kali David  berada di daerah jauh dari Jakarta. Bisa sehari di kota A lalu besoknya menuju kota B, kota C dan beberapa daerah lain di pelosok.
Capek iya, namun David menikmati. Mumpung masih bujang, belum banyak bawaan susu botol bayi, pampers, dan lain-lainnya seperti curhatan teman-teman nongkrongnya di Jalan Kebon Sirih di Menteng.Â
"Gimana kamu sama Desy ? Lu serius ngga ma dia," tanya Abdul, sohibnya yang seangkatan di kantor , yang telah menikah dan sudah jadi papa muda beranak dua.Â
" Ah lu Dul, lu kan bagian admin, mana ngerti ma divisi gue yang kerjaannya keliling NKRI ," jawab David.Â
Sebenarnya David agak males bila sahabat -sahabatnya sudah kepoin sedalam apa jalinan kasihnya dengan perempuan muda asal Kalimantan itu. David kenal gadis yang Papanya orang Banjar dan ibunya berasal dari Padang, itu sudah lama. Mereka kuliah di kampus yang sama namun beda fakultas. Desy mengambil jurusan Kesehatan Masyarakat.Â
Sama -sama suka baca dan menulis, akhirnya perpustakaan universitas menjadi saksi bisu keakraban dua pasang manusia ini. David yang berdarah Ambon Manado termasuk agak kesulitan juga masuk lebih dalam batas wilayah hatinya Desy. Perbedaan budaya dan latar belakang suku diantara mereka berdua, turut menjadi  kendala.Â
" Gimana sih rasanya makan sagu. Pasti kamu suka ya," masih teringat pertanyaan Desy dibenak David kala tau ayah David berasal dari kawasan Indonesia Timur.Â
"Rasanya kaya kamu lho..," canda balik David
"Kok kayak saya sih...orang  aku nanya serius kok," ulang si Desy sembari tetap membaca buku di meja perpustakaan, dan matanya melirik manja ke teman dekatnya itu
" Rasanya tawar tapi kalo dicampur gula merah dan dibakar, manisnya bikin ketagihan....ya kayak kamu kalo senyum," jawab Si David
Desy tak tahan dengan gombalitas David lalu mencubit perut David. Melihat David meringis, Desy malah mengeraskan cubitannya. David membiarkan bekas cubitan itu memerah dan membiru di kulitnya yang memang putih sebagai warisan pigmen dari sang mama yang berdarah Kawanua.
Guratan kenangan 3 tahun lalu itu bermain-main di memori David. Matanya memandang laut tenang dari dinding kaca jendela. Pandangannya ke sana tapi pikirannya berputar balik pada lintasan perjalanan cintanya. Mungkinkah dia jadi bagian dari masa depanku? Oh My God.Â
"Mas..kalau mau ngopi di rumah makan itu aja. Mobilnya mau dibersihkan kurang lebih 1 jam," suara sang  kondektur menghentikannya dari lamunan.Â
" Oh iya maaf...Bang, lagi berapa lama ke Kota Bima ?" tanya Davidsembari mengangkat ranselnya di bawah kursi
"Singgah Dompu dulu. Palingan 4 jam," jawab sang kondektur yang mengenakan kaos oblong dengan rokok di tangan.Â
Duduk di kursi makan warung kecil di pinggiran laut dengan pemandangan indah ke bawah, David memesan segelas kopi hitam. Waktu menunjukkan pukul 16.00 Wita. Hampir 8 jam perjalanan dari ibu kota NTB menuju tempat ini.Â
Pesawat Garuda tadi pagi dari Cengkareng berangkat jam 6 sampai di Praya jam setengah 8. Beruntung ada Si Tonny, teman satu fakultasnya dulu yang asli Lombok, Â yang kini telah bekerja di salah satu Bank BUMN, lebih tahu daerahnya dan merekomendasikan angkutan travel lintas kabupaten.Â
Pelayan wanita datang mengantarkan pesanannya. Hitam pekat  dan masih mengepulkan uap. Aroma khas kopi yang merangsang penikmatnya untuk segera menyesapnya.Â
" Selamat tahun baru Mas...silahkan diminum kopinya," sapa ramah si pelayan kala menaruh gelas kopi itu di meja pria berambut lurus itu.Â
David tersenyum. Baru tersadar bahwa tak terasa sudah 3 hari lepas dari tahun 2015. Masih suasana new year. Beberapa penumpang ada yang bersenda gurau dan bercakap dengan penumpang lain. Â Sepertinya mereka sudah saling kenal. Berkomunikasi dalam bahasa lokal.Â
David mengeluarkan HP Android dari ranselnya. Membuka pesan dan ingin mengabari Desy, yang natalan lalu pulang ke Palangkaraya. Teman dekat yang sudah menemaninya semasa kuliah hingga kini masing-masing sudah menjadi pegawai kantoran, memang setiap hari raya pulang menjenguk keluarganya di ibu kota Kalimantan Tengah sana.Â
Meski sudah 4 tahun berjalan, diantara mereka berdua belum ada kepastian menaikkan status dari teman jadi kekasih atau tunangan. David masih menikmati kerjaannya sebagai tenaga IT yang bertugas dari daerah ke daerah.Â
Desy meski kerja di Ibukota juga, namun masih galau apakah akan terus di Jakarta atau pulang menetap di Palangka menemani masa tua Papanya yang seorang purnawirawan TNI.Â
"Kapan ngana Kaweng David? So taon baru ini...Ngana mo tunggu sampe Mama so mati baru ngana baikat janji ka?"Â
Itu WA sang ibunda dalam dialek Manado yang masuk pertama di inbox nya David. Dia sadar bukan orang tuanya memaksa menikah, namun ingin melihat dirinya bisa menemukan pasangan hidup sebagai teman berbagi dalam perjalanan kehidupannya.Â
Dalam hatinya,tak ada wanita lain yang dekat di hidupnya selain Desy, gadis dari Borneo itu...namun Desy pun masih galau.Â
David menyesap kopi hitamnya. Memandang  jauh ke laut pada senja indah di Nanga Tumpu. Dalam beberapa jam lagi senja ini akan hilang berganti kegelapan malam,katanya dalam hati.Â
Betapa cepat waktu berlalu. Dan saya masih menikmati pekerjaan saya dan Desy masih bertahan dalam kegalauannya. Dan kesendirian yang menyatukan kami...hingga di awal Januari ini.Â
Sayup -sayup terdengar lagu lawas yang diputar dari dari travel yang siap akan berangkat kembali. Lagu itu kesukaan Mamanya. Akrab di telinganya sejak kecil. Ah mengapa kisah cintaku mirip...Membiru membisu,
Entah sedalam apa cinta suci di dada
Biarkan kujawab semua dustaÂ
Januari, januari yang biru
Asmaramu, asmaraku membisu
Entah kapan, entah kapan hadir di hati
Saat-saat yang indah di dirikuÂ
Nanga Tumpu adalah sebuah nama desa di Kecamatan Manggelewa, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Desa ini berada di pinggir jalan lintas kendaraan Sumbawa-Dompu-Bima dengan pemandangan laut dan gunung.Â
Kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah fiktif dalam tulisan
Salam,Â
03/01/2020, 18.07 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H