People need The Lord...
Quote di atas adalah salah satu judul lagu Gospel. Di kalangan Kristen, lagu tersebut cukup populer. Terbukti dengan disadur lirik nya dari versi Inggris ke Bahasa Indonesia, makin mengena dan kian akrab di telinga umat.Kerap dinyanyikan oleh beragam usia, tua muda, baik dalam tampilan solo, duet maupun maupun vokal grup.Â
Tiap hari kutemukan mereka yang terhilang
Hidup yang tak menentu arah tujuan
Dalam tawa mereka tersimpan duka
Namun Tuhan mendengar tangis mereka....
Pada helatan Natal dan  kebaktian tutup tahun di tanggal 31 Desember atau ibadah pertama di awal tahun pada Bulan Januari, di tahun -tahun sebelum tahun 2020, biasanya lagu ini kerap dijadikan sebagai lagu pengiring altar call atau penutup khotbah. Bisa jadi lantaran lantunan lirik-liriknya mengena pada hati dan jiwa umat.Â
Terutama mereka yang sepanjang tahun mungkin merasa jauh dari Sang Pencipta atau hidupnya bergelimang dengan apa yang di luar manis, namun pahit di dalam. Mengejar apa yang dirasa bisa mendatangkan bahagia, namun yang muncul selalu adalah perasaan tak puas.Â
Menggantungkan rasa aman pada harta, jabatan, bisnis, bahkan pada manusia, namun mana kala semua itu lenyap (mungkin oleh sebab Covid), hidup terasa bagai anak kucing kehilangan induk. Hilang arah.Â
Kisah anak hilang bercerita soal sosok seorang Bapak dengan 2 anak laki-laki. Si Sulung tipe anak yang sedia ada di samping orang tuanya. Siaga membantu sang Bapak dan menjadi tangan kanan dalam usaha milik keluarga. Si bungsu sebaliknya, seorang yang suka foya-foya dan dengan lancang meminta hak warisan harta meski Sang Ayah belum meninggal.Â
Ketika terkabul keinginannya, dia meninggalkan rumah orang tua demi menghabiskan pemberian tersebut. Segala kenikmatan dunia dicobanya hingga hidupnya berujung miskin. Tak ada yang tersisa. Bahkan untuk makan, rela makanan sampah.Â
Dalam kondisi sangat terpuruk demikian, teringat dia akan rumahnya. Sadar bahwa pilihan dan tindakannya, sebuah kekhilafan besar. .Â
Dengan menyesal dan malu,dia berusaha menguatkan langkahnya tuk pulang ke rumah Ortu. Dalam hatinya mungkin terbesit pemikiran seandanya keluarganya sudah tak mau menerima dia lagi karena kesalahannya, ya sudahlah.Â
Que sera -sera. Apapun yang terjadi nanti, terjadilah. Yang penting niat minta maaf dan mau memulai yang baru dari nol. Â
Singkat cerita ternyata Sang Ayah mewakili keluarga, menerima dengan senang hati. Anak yang hilang sekian lama, dirindu-rindukannya,kini telah balik setelah sadar ujungnya tak bahagia.Â
Meski respon penerimaan sang bapak menyisakan duka di hati si sulung, yang merasa bahwa kesetiaannya bertahun menjaga orang tua, ternyata beliau lebih menyayangi si bungsu dibanding dirinya.
Pandemik dan 'Orang Terhilang', Balada di 2020.Â
Hampir 10 bulan berlalu, sejak Maret 2020 hingga di penghujung Desember 2020, kita sadar bahwa oleh pandemik, banyak hubungan antar manusia terputus. Terisolasi secara sadar.Â
Bukan pada tataran online, tapi pada hubungan off line alias kontak fisik. Beraneka pertemuan formal maupun non formal semacam ajang kopi darat,menjelma ke ajang jumpa lewat layar webinar.Â
Tak masalah. Masih bisa say hello,lihat wajah partisipan lain, tanya tanya kabar dan bisa ngechat dan komen juga. Namun tanpa disadari, perlahan-lahan, dengan berjalannya waktu, ngerasa ngga hidup menciptakan tembok dan bilik yang dibangun orang per orang.Â
Realitanya orang bisa ngetik: ha hah ha di WA atau memberi emoticon ketawa, tapi siapa sangka dia ternyata lagi bergelut kesedihan. Berada di titik kriitis dalam kehidupannya dan menyamarkan agar tak diketahui.Â
Ketika gelombang PHK menghantam pelan -pelan dunia investasi, berapa banyak yang tau  Si A, Si B atau SI C , akan kemana melabuhkan hidupnya? Bagaimana dia berjuang menafkahi kebutuhan dasarnya? Mungkin tak terjadi pada diri kita atau keluaga terdekat, tapi realitasnya banyak di luar sana tenggelam dalam kesusahan di saat yang lain masih makan enak tidur nyenyak.Â
Tak sedikit warga atau mungkin diri kita sendiri, kesulitan menghadapi jatuh tempo pembayaran beraneka angsuran dan cicilan, ini dan itu, sementara tuntutan kehidupan masih sama besar porsinya dengan sebelum pandemik melanda.Â
Berita resesi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat ditambah hingar bingar politik, jauh lebih kuat menyapa keseharian warga dibanding kepedulian langsung dalam bentuk tindakan.Â
Tanpa sadar, pelan namun pasti, bila pandemik ini berlarut-larut dalam ketidakpastian, cepat atau lambat, semakin banyak dinding sosial terbentuk antar pribadi. Ibarat sekat penjara, kehidupanku dengan rasa amanku, kehidupanmu dengan rasa amanmu.Â
Yang berlimpah harta merasa masih bisa aman dengan asetnya, sedangkan yang kurang harus terus bertaruh dengan resiko. Makan atau mati.Â
Balada sepanjang tahun 2020, seolah-olah membuat saya dan Anda datang ke sebuah penjara di tengah kota. Kala melintas di koridor,banyak mata melihat kita dari masing -masing bilik.Â
Ada yang tersenyum, karena kondisinya masih lebih baik di samping sel sebelah atau di kiri kanannya. Tak sedikit yang menatap dengan sendu. Matanya bercerita dan bertanya: sampai  kapan terpenjara di sini? Membosankan...!!
Realitas sosial akibat pandemik, tanpa sadar menghasilkan yang namanya antipati. Terhadap keadaan, terhadap kebijakan publik yang dirasa tak efektif, kepada kemampuan diri tuk bertahan hingga hal-hal yang sifatnya spiritual.Â
Jadi bila mana tempat ibadah makin sedikit pengunjung, meski pemerintah telah mengijinkan protokoler tertentu, bisa jadi bukan lantaran patuh aturan Covid, tapi pelan-pelan menjauhkan diri dari kegiatan kerohanian.Â
Orang hilang tak pernah memberitahu bahwa dia akan hilang. Tiba-tiba sudah menghilang. Parahnya di sepanjang 2020, banyak orang dalam tanda kutip terhilang.Â
Semoga kita tidak.Â
Selamat tahun baru 2021, Â
pengharapan di dalam Tuhan, tidak pernah mengecewakan.Â
Sumbawa,NTB, 21/12/2020,Â
19.10 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H