Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Reportase Pilkada, 4 Hal Sensitif Calon Kepala Daerah Jelang Pencoblosan

6 Desember 2020   19:42 Diperbarui: 8 Desember 2020   10:51 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya sebuah tulisan ringan.... Hasil kepo di warung kopi.

Makin digosok makin sipp... Itu mungkin celotehan menyindir dari kata gosip. 

Tapi jelang hari-H Pilkada, tak hanya batu berlian yang digosok makin mengkilap. Sebuah Isu, entah fakta atau sekadar hoaks, bisa juga dipoles demi melambungkan atau menumbangkan calon. 

Saya selama tugas dan tinggal di Sumbawa, memang tak ikutan mencoblos. Kartu penduduk masih belum berubah. Jadi saya hanya kebagian cerita sekaligus merangkap pengamat. Mengamati dan mendengar. Sama satu lagi. Berdoa.. hehe.  

Berdoalah untuk kesejahteraan kotamu, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu juga. Kota yang sejahtera, kabupaten yang aman, provinsi yang damai, sudah barang tentu membuat penduduk di dalamnya juga kecipratan hal-hal yang baik.

Iklim usaha dan pergerakan bisnis tak akan terganggu dengan kekisruhan, apalagi vandalisme dampak Pilkada. Anak-anak bisa bersekolah tatap muka dengan lancar, meski mungkin sebagian masih PJJ, tanpa sang guru ikutan cekcok di medsos karena beda jagoan kepala daerah.  

Jadi sebagai warga negara yang baik, tak ada salahnya, memohon penyertaan Sang Kuasa agar penyelenggaraan Pilkada berjalan lancar dan aman.

Lancar berarti prosesnya sesuai prosedur di lapangan maupun di tabulasi. Aman ya berarti semua pihak dan pendukung dapat menerima hasilnya. 

Tak ada bakar-bakaran, apalagi yang dibakar itu aset dan infrastruktur daerah yang dibiayai dari APBD atau APBN. Sayang banget kan. 

Tak juga saling hina, saling bully, saling maki, dan beraneka saling-silang negatif yang menyudutkan sang calon. Kadang merembet dan menjalar seperti ubi jalar yang akar-akarnya ke mana-mana. 

Ndak kelihatan di permukaan, namun di bawah dan di dalam, jaringannya kian bergerilya meniup isu. 

Iya kalo benar. Andai itu fitnah,bisa jadi bukan berbuah simpati tapi antipati terhadap tim pemenang dan juga sang calon yang diusung. 

Biarlah warga menentukan sendiri pilihannya pada calon yang dikenal sepak terjang dan kontribusinya terhadap daerahnya. Hormati dan jangan dipaksa, apalagi, diiming-imingi serangan fajar. 

Hati -hati aja bagi tim pemenang yang hendak melakukan serangan duit. Hari gini warga sudah bisa melaporkan dan menulis langsung di media. Entah di blog umum, di surat pembaca,menyelipkan langsung di kolom komentar harian online nasional atau daerah. 

Bahkan tak menutup potensi, mereka dapat merekam gambar dan suara dengan fakta dan lokasi kejadian, lalu menayangkannya sebagai jurnalisme warga di TV swasta nasional. Nah lho!

Mengamati dan mendengar, ini 4 hal yang jadi isu soal pilkada di lapak kopi

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Bagi para penikmat kopi, minuman satu ini bisa jadi teman sepanjang ngobrol. Hujan-hujan begini, ditemani pisang goreng hangat, bisa makin hangat ngomongin warna-warni Pilkada di tingkat lokal. Termasuk saya ikutan kepoin di sebuah warung sederhana di tengah kota. 

Naluri blogger bin jurnalis, ikutan pasang kuping. Kebetulan pula topiknya ini reportase Pilkada...hehe. Btw beberapa isu ini, sebenarnya bukan hal baru juga terkait penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah. 

Namun aroma gosip dan selentingan makin kuat berhembus jelang hari pencoblosan. Apa saja? Eitss...sabar aku nyontek dulu catatan diam-diam saya di warung kopi itu, kala duduk dekat para pengunjung lapak.  

1. Salah satu calon pilkada punya hubungan darah dan silsilah kekeluargaan dengan mantan kepala daerah atau pemegang tampuk pemerintahan sekarang. 

Hmm...kalo perihal ini sepertinya sudah banyak model calon beginian. Anak Presiden Jokowi maju juga meski sang ayah masih berstatus presiden aktif. AHY lebih dahulu maju pilkada DKI beberapa tahun lalu, ketika sang ayah sudah mangkat dari jabatan kepala negara RI. 

Lha kalo calon Pilkada di daerah anak si anu, saudara kandung si anu, pasangan si anu, cucu si anu, juga latah melakukan hal yang sama, apa ada yang salah di SOP-nya Pilkada? 

Bisik -bisik di warung kopi itu mengerucut pada 2 hal penting: Pertama, si calon memanfaatkan kedudukan si anu yang sedang menjabat untuk memengaruhi pilihan warga terhadapnya. Kedua, bisa saja, kepala daerah si anu menghendaki adanya pewarisan atau trah kepemimpinan agar langgeng dari hubungan sedarah atau ikatan kekeluargaan inti. 

Hmm...kayaknya kembalikan ke warga aja yang memutuskan saat mencoblos

2. Jangan pilih calon A karena nanti daerah dan wilayahnya saja yang dibangun, daerah lain diabaikan.

Dipikir-pikir pola pikir seperti ini bisa saja ada di benak sebagian warga atas dasar preferensi kesukuan dan daerah asal si calon. Mau disalahkan juga tak bisa, karena kedekatan calon dengan wilayah asal secara garis besar keluarganya di sana, atau memang si calon sebelumnya tumbuh dan berkontribusi di sana, itu juga hal yang dapat dimaklumi. 

PR bagi si calon adalah seharusnya sebelum maju, mungkin sudah mengayomi seluruh daerah, entah secara langsung atau pun tak langsung, sehingga warga di luar daerah asal beliau, bisa melihat kontribusi yang nyata dari latar belakang calon. 

Tak lupa juga selalu mengingat, bahwa warga negara kita, kayaknya hampir sama dan merata di seluruh daerah, cenderung mengarahkan pilihan pada orang yang di suka atau yang dirasa peduli terhadap kebutuhan mereka. Tentu tanpa meniadakan faktor dari strategi tim pemenang calon  

3. Gosip atau fakta negatif masa lalu si calon yang diumbar jelang hari pencoblosan. 

Hmm...kalo soal ini, nasihat bijaknya adalah memang manusia itu nggak hidup di masa lalu, tapi masa lalu seseorang dan apa yang dilakukan di masa silam, akan selalu jadi acuan dalam pertimbangan orang lain. Termasuk pertimbangan mengarahkan suara pada si calon atau tidak sama sekali. 

Sudah banyak contohnya, mulai dari pemilihan di tingkat pusat, tingkat provinsi, hingga tingkat kabupaten dan kota. 

Banyak yang masa lalunya belepotan dengan skandal dan perilaku tak terpuji, korupsi, dan kesalahan lainnya, sehingga dijadikan senjata oleh tim pemenang lain untuk menjegalnya. 

Pesan baiknya buat anak muda, politisi muda, dan generasi milenial yang saat ini sedang menabung masa depan. Hati-hati dengan hidupmu.

Bila ingin jadi pemimpin di masa depan, berusahalah untuk memimpin dirimu sendiri dengan benar, agar di masa yang akan datang, sulit bagi orang lain menemukan jejak kelam dirimu kala kau diusung sebagai calon pejabat. 

Hmm...nasihat ini bukan menggurui, cuma memang dampaknya akan ke situ juga seandainya kelak terjun di politik.

4. Bertebaran selebaran contoh surat yang mengarahkan pada satu calon, dengan calon lain tak bergambar

Ini saya lihat sendiri. Beberapa hari lalu di rumah salah seorang warga. Maksudnya baik, mungkin mengedukasi perihal apa saja yang nampak saat membuka kertas surat. Akan terdapat beberapa pilihan foto calon kepala daerah beserta nomor urutnya. 

Namun bila contoh kertas yang diberikan hanya berisi foto salah satu paslon, sedangkan calon yang lain tak ada fotonya, bisa dimaknai berbeda. 

Bisa saja yang memberikan contoh kertas tersebut mengharapkan pada saat coblos nanti, bawa saja surat ini, dan coblos foto yang sama. Jangan pilih yang lain. 

Akan menjadi menarik, apabila tim pemenang lain juga datang dan melakukan hal yang sama. Makin bingung warga menerima lebih dari satu contoh kertas surat yang sama dengan modus yang mirip. 

Namun bila warga sudah punya calon sendiri, tentu tak akan menggoyahkan atau berpaling pada calon lain. 

Apa yang mungkin bisa dijadikan acuan bagi si calon untuk mendapatkan suara? 

Ini hanya sebuah pemikiran sederhana. Di luar dari beraneka strategi yang dijalankan si calon dan tim pemenangnya. Saya ingat pernah membaca sebuah buku karya penulis populer dari Amerika, saat jaman kuliah dulu. 

Pesan intinya adalah tak peduli seberapa banyak yang kamu tahu, seberapa tinggi pendidikanmu, seberapa besar wawasanmu, seberapa banyak hartamu, orang cenderung akan tertarik pada seseorang (pemimpin) yang peduli pada kehidupan dan kebutuhan mereka.

Mereka tak hanya mendengar apa kata orang mengenai dirimu, tapi mereka merasakan secara nyata, apa yang kamu lakukan bagi mereka. Kamu mungkin jauh di mata, tapi bagi mereka, dekat di hati. 

Dalam hal karakter dan moral, jejak hidupmu dan kepedulianmu terhadap warga dan kontribusimu terhadap daerah, jauh lebih kuat tertanam di pikiran dan hati warga. 

Ketika engkau mendapatkan hati mereka, cepat atau lambat, engkau akan mendapatkan pula pilihan mereka untuk menjadikan engkau seseorang yang dipercaya untuk melakukan hal -hal baik, demi kepentingan mereka dan daerah mereka.  

Sudahkan menjadi seperti itu? Kita lihat saja hasilnya kala pencoblosan nanti. 

Satu pesan yang penting di hari-H nanti tanggal 9 Desember 2020, jangan lupa tetap perhatikan protokol kesehatan ya, Kakak. :)

Hanya sekadar berbagi,

Salam...

Sumbawa, NTB, 06 Desember 2020,
20.07 WITA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun