Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sisi Lain Pekerja Single Ketika Orangtua Sakit dan Berkah di Balik "Ke-single-annya"

13 Agustus 2020   21:22 Diperbarui: 14 Agustus 2020   12:56 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: olahraga sulsesatu.com

"Gak fokus saya kerja kalo gini"

"Justru itu tantangan"

"Mana kerja gak bisa bebas izin, dll,"

"Dah konsekuensi"

Apa hubungannya judul tulisan sama 4 baris quote di atas? Itu curhatan via WA salah satu mantan karyawan di kantor. Kini sudah resign dan bekerja di salah satu Bank BUMN. Meski demikian, interaksi dan silahturahim tetap terjaga. Seperti berbalas komen semalam perihal galau lantaran kedua orang tuanya sedang sakit. 

Yang di warnai ungu adalah teks WA nya, sedangkan yang hitam adalah chat saya. Dia seorang wanita. Belum menikah. Wajahnya lumayan cantik...hehe. Pendidikan sarjana dan punya pengalaman kerja sekian tahun sebagai Customer Service  dan di Sales & Marketing. Anak kolong alias sebutan untuk mereka yang orang tuanya adalah seorang anggota atau pensiunan TNI. 

Selama beberapa tahun bekerja bersama kami di kantor, perangainya baik. Selain rajin bekerja, dia gemar juga mengupdate status layaknya kebanyakan para pekerja single perempuan, usia 20 an hingga 35 an. Mulai dari foto menu makanan pagi, siang , malam, Tak lupa info kegiatan terkini baik di kantor atau saat di rumah (kala libur /off). Dari kebiasaan inilah, sedikit banyak tahu soal kehidupannya (juga pemikirannya).

Sisi lain pekerja belum menikah kala dihadapkan dengan kebutuhan bekerja dan orang tua yang sakit

Apa yang di alami rekan saya di atas sepertinya menggambarkan warna -warni kaum profesional yang belum ketemu tulang rusuk. Anggapan bahwa lahir, jodoh dan maut di tangan Tuhan ada benarnya juga. Ketika melihat orang lain begitu mudahnya menemukan tambatan hati dan memutuskan menikah, di sisi lain, secara fakta, banyak kaum berpendidikan dan mapan secara ekonomi, belum -belum juga ketemu jodoh. 

Tak elok bertanya mengapa dan kenapa. Tak baik juga membandingkan hidup mereka dengan hidup orang lain. Lantaran memutuskan menikah saja adalah suatu keputusan penting dalam hidup dengan beraneka konsekuensi yang kelak dihadapi. Ini belum proses di awal pada tahap mencari-cari bakal calon pasngan alias pacar. Lika -likunya lebih ribet dari bikin program aplikasi. Lha ini kan pake perasaan sama cocok -cocokkan. Ngga mudah ya Bro. 

Sebagian beranggapan pacar belakangan, yang penting kerja dulu. Kemandirian itu penting, terutama kemandirian keuangan. Lagi pula biasanya bila sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri, otomatis rasa percaya diri juga bertambah. Tak peduli dia wanita atau pria, meski gandengan belum tiba. Setidaknya ada nilai lebih di mata keluarga. Terutama di penilaian orang tua sendiri. Anakku sudah bisa cari uang. 

Kegalauan muncul manakala di saat bekerja, merintis karir, ada kondisi dimana orang tua sakit. Bila sudah menikah, ada pasangan (entah istri atau suami) yang turut membantu calon mertua di rumah atau di Rumah Sakit. Andaikata sudah memiliki buah hati alias cucu-cucunya, dan telah berada di kisaran usia sekolah. bisalah sedikit terbantu. Setidaknya meluangkan waktu bersama Nenek atau Kakeknya yang sedang dalam kondisi tak sehat. Karena cucu juga hiburan ya bagi yang sudah usia Opa Oma. 

Bila sudah demikian, kita tak bisa mengesampingkan 2 fakta yang dihadapi generasi pekerja jaman sekarang. Fakta -fakta ini berdampak pada kehidupan dan standar yang diemban oleh mereka, tak peduli dimanapun mereka bekerja atau berusaha secara mandiri (berwiraswasta). Ini adalah asumsi saya, meski mungkin sedikit berbeda dengan penalaran atau opini pembaca lain. 

1. Kaum pekerja profesional sekarang rata-rata tak punya banyak saudara kandung

Berapa usia produktif orang mulai bekerja? Taruhlah mungkin dia cuma tamat SMA/SMK  dan tak meneruskan kuliah.Anggap saja umurnya 19 tahun di tahun ini.  Berarti kelahiran 2001. Kita asumsikan pula misalkan dia adalah anak bungsu dari sebuah keluarga dengan asumsi pula bahwa ibunya melahirkan dia pada usia 35 tahun di tahun 2001. 

Umur wanita tuk mengandung dan melahirkan rata-rata mulai 20 an hingga pertengahan 30 an. Meski pada saat kini dengan bantuan teknologi, proses pembuahan dan persalinan dapat berjalan normal pada wanita di atas usia segitu, namun bila di lakukan survey, sepertinya tak banyak wanita yang punya anak di usia 40 an ke atas. Mayoritas kisaran melahirkan pada usia wanita 20 sampai 35 tahun. 

Bila demikian, berarti dianggap sang ibu adalah kelahiran tahun 1966. Mekar sebagai gadis muda nan dewasa di tahun 1980 an. dimana program KB begitu gencar di lakukan oleh pemerintah terhadap keluarga -keluarga muda. Buktinya, bila mau dihitung, tak banyak wanita kelahiran 1966 hingga pertengahan 70 an, yang punya anak lebih dari 3. Karena biaya hidup, biaya pendidikan, dan usia menikah dan berumah tangga yang kadang ditunda lantaran menuntaskan terlebih dahulu pendidikan kesarjanaan atau diplomanya agar bisa melamar pekerjaan.  

Dampaknya, rata -rata kaum pekerja, dalam rentang usia 19 tahun hingga 40 tahunan jaman sekarang, mayoritas punya 2 atau 3 saudara kandung karena batas usia mengandung dari sang ibu. Meski ada yang lebih dari itu , namun jumlahnya tak banyak. Apalagi bila orang tua berkarir sebagai TNI/Polri/PNS dan karyawan formal lainnya, yang secara asuransi kesehatan dan jatah pensiunnya, sudah membatasi jumlah tanggungan. 

2. Tingginya harapan dan standar keluarga yang harus digenapi Sang Anak lewat pencapaian karir dan profesinya. 

Kita tak menampik bahwa harapan dan standar orang tua selalu yang terbaik bagi anak. Kata 'terbaik' bisa saja berbeda pada masing -masing keluarga, namun maknanya adalah mendapatkan pekerjaan yang baik, dengan penghasilan yang baik, agar bisa hidup dengan baik, dan satu lagi. Agar status sosial orang tua menjadi lebih baik di mata keluarga besar dan dipandang masyarakat. 

Demi tujuan itu, anak mesti memacu dirinya menjadi yang terbaik. Sejak masa sekolah hingga mendapatkan uang dan jabatan di bidang kerja yang digeluti. Ini tahun 2020 bukan 1980. Tantangan dan peluang, sekalipun banyak, proses dan seleksi alam selalu ada. Dan generasi pekerja jaman sekarang, tak peduli mau berkarir di gedung bertingkat atau ibaratnya 'kanvasing' di jalanan,mereka semua 'berdarah -darah'. 

Makna berdarah -darah bisa berarti waktu dan hidup mereka akan lebih banyak dihabiskan demi pekerjaan, dibanding berada di rumah menemani orang tua. Merantau ke kota lain karena alasan rupiah. Tak sedikit yang masih serumah, namun dalam sehari lebih banyak di kantor daripada di rumah. 

Bukankah itu yang nampak saat ini. Mengapa tradisi mudik begitu berguna bagi para pekerja ? Bisa jadi karena itulah saat mereka bisa pulang dan memeluk Ibu dan Bapaknya, Menebus waktu yang dihabiskan demi uang. Dan menceritakan keberhasilannya  kala jauh dari rumah demi menggenapi harapan orang tua dan cita -cita masa depan. 

Ini mungkin 2  berkah di balik masa bujang alias lajang pada para pekerja

Dengan 2 fakta di atas, bisa saja bikin para pekerja kepikiran soal orang tua yang mendadak sakit, Apalagi andai sakitnya cukup parah. Kita mahfum, umur di tangan Tuhan, tapi kondisi fisik manusia umumnya semakin menurun selaras dengan pertambahan usia. Maka bila itu terjadi pada Papa Mama tersayang, Ayah Ibu Tercinta, itu merupakan kondisi yang alamiah, meski harapan dan doa anak-anak,  senantiasa mereka selalu sehat. 

Dan menjadi para pekerja single, di usia lagi produktif-produktifnya demi karir dan masa depan, bisa saja mengalami kegalauan seperti yang dirasakan teman kerja di atas. Apalagi bila punya suadara tak lebih dari 3 orang dan masing -masing sudah 'berpencar' . Merantau ke daerah lain atau pergi ke luar negeri demi alasan bekerja. 

Saudara kandung yang masih di rumah pun, dan belum menikah tapi sudah bekerja, bisa jadi galau soal fokus nemani ortu yang sakit ataukah tinggalkan pekerjaan. Kadang menjadi dilema juga karena bisa jadi pekerjaan yang ditekuni sekarang dulu seleksinya sulit bin gajinya juga aduhai,  alias mana tahan bila dilepas. Pilihan sulit lantaran orang tua dalam kondisi sakit sangat mengharapkan buah hatinya ada di sisinya, meski mungkin sakitnya ngga parah parah amat. 

Prinsip yang bisa dipegang adalah :

1. Masih single pada saat ortu sakit, adalah berkah yang berharga

Segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Berapapun usiamu, di manapun kamu bekerja, bila kamu belum menikah dan telah lama mengharapkan itu, mungkin itu caranya Sang Pemilik kehidupan agar waktu -waktu yang berharga itu diinvestasikan tuk merawat dan menemani orang tua. Mengapa? Karena bisa saja kamu tak memiliki lagi kebebasan dalam tanda kutip untuk melakukan itu, bila nanti : sudah menikah, sudah punya anak, sudah ikut suami atau istri ke daerah lain, dan berbagai kondisi lainnya akibat perubahan status menikah. 

Orang tuamu tak lagi punya hak penuh atas hidupmu karena peralihan statusmu dari belum single kelak menjadi married. 

" Ndak enak sama kamu, kan kamu juga punya waktu buat anak -anak yang harus di rawat, biar ibu dan bapak kuat-kuatin aja, Ntar juga sehat," demikian kadang ucapan Pama atau Mama bila sedang sakit lantaran tak ingin menyibukkan anak nya yang sudah berkeluarga. Tak banyak sih, tapi ada juga orang tua yang saking sayang sama anaknya dan cucu -cucunya, tak ingin mereka terbebani.

Bila sudah demikian, yang punya hak penuh dan kebebasan tuk mengurus dan menemani orang tua adalah para single berkualitas. Yakni anak -anak mereka yang tergolong masih lajang namun telah  bekerja dan bisa menyeimbangkan waktunya antara menemani ortu sakit dan pekerjaan bisa terus berjalan.Itu tak mudah loh:)

2. Hasil bekerjamu selama single, bisa membahagiakan orang tua selama mereka ada, juga keluarga besarmu. 

Karena tak punya tanggungan anak, sekian persen dari gajimu bisa digunakan untuk membantu orang tua. Selama mereka masih sehat dan ada di dalam hidupmu. Berbagi dengan orang tua dan keluarga besar mu (termasuk keponakan mungkin, atau kakek dan nenek), dari penghasilanmu selama belum menemukan tulang rusuk adalah cara lain tuk membuat masa singlemu menjadi berkah. 

Mugkin setelah menikah, bisa juga berbagi seperti itu, namun biasanya tak bisa maksimal lantaran sudah punya tanggungan anak. Kebutuhan juga sudah lebih banyak.  Ada pihak keluargamu dan juga keluarga pasangan, yang sudah pasti tak mungkin bisa berbagi seperti hal nya pada keluargamu sendiri kala masih bujang.  

Dengan menyisahkan sekian persen dari pendapatan mu bagi orang -orang terkasih, membuatmu mendapatkan banyak doa dan harapan. Dan bisa dilihat oleh calon tulang rusuk sebagai nilai lebih dari dari seorang single. Namun yang terutama itu adalah caramu bersyukur dalam hidup atas rejeki pekerjaan yang dikaruniakan Nya dan selama melewati proses 'menunggu dan mencari'.

Jadi bila mana ada Mama Papa mu yang sakit, selagi masih single, just do your best for parents.Berikan yang terbaik dari momen -momen yang terbaik dalam hidupmu. Karena sesungguhnya, setiap orang akan melewati masa single.  Pilihannya adalah apakah seseorang itu membuat masa single nya menjadi berkah atau tragedi. 

Gunakan masa single-mu tuk melakukan yang terbaik pada orang -orang yang dihadirkan Tuhan dalam hidupmu. Kelak kau tak akan menyesal dengan investasi itu bila suatu saat mereka tak ada lagi di hidupmu. 

 

Salam, 

Sumbawa NTB, 13 Agustus 2020

22.04 Wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun