Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ini 5 Alasan Mengapa Bisa Kredit di Kantor Sendiri, tapi Ajukan di Tempat Lain

25 Juli 2020   20:34 Diperbarui: 26 Juli 2020   13:32 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:money.kompas.com

"Ngga lanjut Mas? "

Quote di atas itu adalah pertanyaan dari Pak Gusti ( nama samaran) kepada saya. Setahun lalu, saya mengajukan pinjaman dengan jaminan BPKB di sebuah koperasi di Pulau Dewata. Bulan Juni lalu adalah cicilan terakhir. 

Dan beliau, yang sudah mengenal saya dari jaman kuliah dulu, mengharapkan agar bisa terus lanjut. Karena saya di Sumbawa, selama ini untuk pembayaran angsuran biasanya via transfer setiap bulan ke rekening koperasi itu. Bukti transfer akan saya foto lalu di WA ke nomor Pak Gusti. 

Ada hampir 12 tahun telah menjadi nasabah di koperasi itu. Sudah pasti jauh sebelum bekerja di perusahaan yang sekarang. Secara logika, berarti koperasi ini mampu bertahan lebih dari puluhan tahun meski banyak pesaing sejenis. Apa yang membuat tetap eksis? Banyak faktor mungkin kalau dibedah. 

Bisa jadi kuat secara modal, pelayanan cepat, murah cicilannya, tata kelola manajemennya mungkin, atau analisa di awal demi mendapatkan calon nasabah dengan resiko minimal.

Pengalaman kredit sebelum bekerja di bidang yang berhubungan dengan kredit 

Bila mundur lagi ke belakang, pertama kali berurusan sama tanggung jawab angsuran (barang atau jasa), adalah saat kredit motor bekas. Kala itu masih mahasiswa. Tak apalah kendaraan seken. Toh buat kelancaran studi. Cari yang murah agar tak berat di cicilan. Butuh banget buat transportasi ke kampus. 

Latar belakang jurusan mengharuskan banyak mata kuliah yang disertai tugas gambar (biasanya di sebut tugas besar),wajib asistensi ke dosen. Ketemuannya tak mesti di kampus. Kadang di rumah atau di kantornya lantaran tak sedikit dari para dosen itu nyambi sebagai konsultan atau konraktor.  

Berniat mandiri, saya putuskan  tuk bekerja paruh waktu tapi kegiatan akademik jalan terus. Puji syukur, ada penerbitan majalah pariwisata berbahasa inggris yang menerima sebagai marketing iklan dengan bekal pengalaman ngelola majalah fakultas, bahasa inggris secukupnya, ditambah sertifikat jurnalistik,  yang saya ikutin sejak semester dua. 

Uang dari gaji sekian bulan di tabung dijadikan DP tuk kredit. Bukan atas nama saya tapi atas nama seorang kakak senior yang sudah bekerja. Waktu itu saya ngga tahu buat kredit motor apa aja syaratnya. Hanya siapin dana, minta tolong orang lain. 

Syaratnya hitam di atas putih : Harus lancar karena make nama orang, dan tidak bikin masalah terhadap yang sudah membantu. (dulu saya tak tahu bahwa itu yang namanya kredit atas nama dan beresiko....hehe, baru sadar setelah kerja di bidangnya)

Si kakak senior itu lalu mengajukan ke sebuah perusahaan finance. Jangka waktu dua tahun, tapi tak sampai 24 bulan sudah lunas. Mungkin karena bunganya menurun. Semakin banyak dibayar, semakin cepat berkurang pokok hutangnya (Saya baru tahu bunga menetap, bunga menurun, dan aturan bunga lainnya, setelah menjadi karyawan internal...hehe). 

Pengalaman kredit setelah memutuskan kerja di perusahaan yang memberi kredit

Dalam sebuah tulisan saya di Kompasiana  soal tanggung jawab angsuran, dan kebetulan HL, saya tertarik dengan sebuah pertanyaan dari salah satu rekan K. Saya berterima kasih atas pertanyaan itu, yang memaksa saya harus jujur terhadap apa yang ditulis : Mas Adolf pernah kredit juga ngga? 

Saya suka pertanyaan seperti ini. Mengapa? Karena apa yang kita tulis adalah apa yang sudah dijalankan. Pembaca terinpirasi oleh tulisan sang penulis, bukan saja karena mahir dan lincahnya berpindah kata dan kalimat. Tapi apakah yang dituangkan dalam tulisan itu, adalah apa yang diterapkan, ataukah hanya berusaha mengedukasi pembaca tanpa melakukan itu dalam keseharian atau di profesinya. 

Sudah lebih dari 7 tahun bekerja dan saya juga punya kredit. Dua kontrak di kantor sudah lunas sejak 2015. Sejak 2016, saya memang tak lagi ada kredit di internal perusahaan, meski tawaran selalu datang. Bagaimana di luar kantor? Kontrak terakhir seperti kisah di awal tulisan. Jadi praktis tak ada lagi sekarang. Namun beberapa tahun sebelumnya, saya juga menjadi nasabah di finance lain dan di bank swasta nasional, yang semuanya puji syukur sudah lunas. 

Pengalaman dan tanggung jawab terhadap cicilan, itu menjadi dasar (bagi saya pribadi) untuk menulis soal itu ( di samping pengalaman dan interaksi dengan keseharian nasabah di kantor). Karena kembali lagi pada apa yang ditulis seseorang, sejatinya berangkat dari sejauh mana menerapkannya dalam kehidupannya. Tulisan juga menjadi cambuk dan pengingat bagi diri sendiri. 

Kerja di perusahaan yang ngasih kredit, kok kreditnya di tempat lain

Pernah ketemu teman, rekan, sahabatan waktu kuliah ato sekolah, keluarga terdekat, yang mereka -mereka ini sudah kerjanya di lembaga pembiayaan, namun mengajukan aplikasi pembiayaan di tempat lain. Eitss, jangan salah, ada itu Bro. Termasuk saya salah satunya. Pernah ngga kepikiran, kok ada kecenderungan 'nyebrang' ke perusahaan sejenis padahal tempat dia bekerja juga butuh tambahan konsumen, plus butuh profit dari bunga 

Ini mungkin 5 hal di bawah, yang bisa jadi alasan atau pertimbangan si orang dalam ini pindah ke lain hati. Maksudnya, kredit lintas perusahan. 

1. Lebih ringan cicilannya di 'tetangga sebelah'

Ungkapan rumput tetangga lebih hijau, juga sedikit berlaku di perusahaan pembiayaan. Umumnya lembaga pembiayaan itu, setiap bulan selalu ada program marketing atas produk -produk yang dijualnya, baik berupa barang atau jasa. Mana kala si karyawan internal ini punya kebutuhan, dia cenderung akan membandingkan antara kredit di kantor sendiri atau kredit di luar kantor. 

Kok bisa? karena dapat ngitung sendiri. Ya bunganya, ya total pokok hutangnya juga. Lebih murah mana dengan masa kredit yang sama. Bila memang dirasakan lebih ringan angsuran per bulan di sana, bisa jadi dia tertarik dan bulan depan sudah punya kontrak di situ. 

2. Tak ingin punya kredit yang diketahui atasan, rekan kerja dan manajemen di tempat bekerjanya

Ini bisa pula sebagai penyebab. Karena biasanya, karyawan internal yang mengajukan kredit, mesti permisi dahulu alias minta ijin dan info sama atasan langsung atau atasan di atas atasan. Tak hanya ijinnya berjenjang, di beberapa perusahaan, malah kadang persetujuan nya berlapis. Maksudnya, sampai level sekian, baru keluar keputusannya, padahal nilai pinjamannya mungkin ngga besar -besar amat. Bonusnya sejumlah pertanyaan : buat apa, buat siapa, gajimu cukup ngga, dan lain sebagainya. 

Setekah kontraknya jalan, itu pun pengawasan nya setiap bulan. Karyawan ini sudah bayar belum kontraknya di internal. Karena realitanya adalah, ada segelintir karyawan yang walau kerja di perusahaan pembiayaan dan punya kredit aktif di perusahaan tempat dia bekerja, namun angsuran tak selancar absen kehadirannya di kantor. 

 Apalagi bila kebijakan di internalnya, tak mewajibkan potong gaji, namun lebih pada kesadaran pribadi. Nah ini yang susah karena rambut bisa sama hitam, kesadaran di kepala dan hati,  kadang tak bisa di sama ratakan.  

3. Menjadi mata -mata dan agen ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi). 

Selain nomor 1 di atas, nomor 3 ini bisa jadi manfaat dan keuntungan lain ajukan di perusahan tetangga. Pertama si karyawan internal ini memang butuh produknya. Kedua pengen tahu, kok mereka bisa program dan produk seperti itu. Apalagi bila hasil bikinan tim marketing di perusahaan itu, berhasil membuat banyak konsumen atau nasabah tertarik. Hasil dari ATM ini, bisa diterapkan di kantor atau di divisinya langsung bersama tim. Atau bisa jadi  sebagai usulan program untuk meningkatkan kinerja

4. Lebih simpel secara persyaratan kredit, meski secara bunga belum tentu

Sudah pasti karyawan internal tahu persyaratan dokumen kredit di tempat dia bekerja. Bila dirasakan agak 'ribet', lebih baik kredit di tempat lain yang lebih simpel dan sederhana. Apalagi bila gaji dan penghasilannya cukup untuk cicilan sekian. Saya jujur, mungkin sedikit termasuk dalam katagori ini, sehingga lebih mudah kredit di koperasi di Pulau Dewata ( seperti tulisan di awal), karena cukup KTP dan agunan saja. 

Lagipula sudah sekian tahun akrab, dan lancar -lancar saja, meski secara angsuran lebih tinggi dibanding kredit di kantor sendiri dengan nilai pinjaman yang sama. 

5. Tak ada pembiayaan produk barang atau jasa seperti itu, di kantor sendiri. 

Tak semua bank biayai kredit kendaraan ( komersial ataupun pribadi). Tak semua perusahaan finance biayain kredit rumah. Produk investasi seperti emas dan logam mulia, lebih banyak di pegadaian. Masing - masing punya spesialisasi produk. Dengan kondisi demikian, maka tak salah juga bila karyawan internal di sebuah perusahaan pembiayaan . bisa menjadi nasabah di tempat lain. 

Dari 5 hal di atas, yang harus diingat adalah tanggung jawab terhadap kewajiban. Ini tak hanya bagi orang dalam perusahaan, tapi juga para konsumen lainnya. Namun beban berat disandang para karyawan internal. Bila yang profesinya memberi dan mengurus kredit saja, misalkan bermasalah di tempat lain, bisa jadi nama tempat bekerja, juga kena ikutan disinggung.  

Ada etika yang melekat. Semoga tak terjadi yang seperti itu. 

Salam, 

Sumbawa NTB, 25 Juli 2020

21.10 Wita     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun