Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Pelaku Mutilasi Kalibata, di Luar Cerdas di Dalam "Sakit"

20 September 2020   15:13 Diperbarui: 20 September 2020   22:59 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gue adalah korban dari optimisme gue sendiri selama bertahun-tahun. Mulai tahun 2012 gue mulai banyak mengalami kegagalan. Gue selalu berfikir mungkin Tuhan lagi negur gue atas kesalahan-kesalahan yang gue lakuin. Mungkin Tuhan pengen gue belajar dari kegagalan gue. Mulai tahun 2012 optimisme gue dalam hidup mulai menghilang, gue gak pengen apa-apa, terkadang gue bangun dari kasur dan tiba-tiba berkata ”oh gue masih hidup, hari ini gue mengalami apalagi ya” (Laela Atik, 2016)

Curhatan dalam balutan tulisan di atas, adalah ungkapan  kegalauan milik pelaku mutilasi, Laeli Atik. Meski ungkapan hati wanita berusia 27 tahun itu sudah di tuliskan beberapa tahun lalu, namun bila di cermati dengan apa yang dilakukan pada awal September lalu, betapa ada benang merah yang tersingkap. Sebuah jiwa terinfeksi oleh luka batin, ditambah gambar diri yang buram. 

Apakah kecerdasan membuat seseorang bahagia? Apakah diterima di universitas negeri  populer yang jadi  idaman banyak lulusan SMA, bikin jiwa mahasiswa itu bahagia? Atau mungkinkah lulus dari perguruan tinggi bergengsi membuat harga diri seseorang melonjak naik? Untuk sebagian orang mungkin jawabannya iya. Namun bila ditelaah dengan melihat ke dalam, kita akan menemukan fakta yang sedikit berbeda. 

Realitanya adalah, kecerdasan otak tidak lah sama dengan kecerdasan jiwa. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, tak selalu benar kakak. Sebagai contoh kita mendengar tindak kejahatan dan perilaku tak terpuji di media, oleh maaf, seorang anggota atau sekelompok aparat. Kita lalu membandiingkan dengan tes jasmani dan kesamaptaan yang proses seleksinya sulit diikuti ribuan pelamar di tanah air, demi masuk di institusi tersebut. 

Hanya yang benar -benar sehat dan fit bakal lolos mengenakan seragam. Namun biar pun demikian, ada saja salah satu atau salah dua oknum di korps tersebut, yang kedapatan melanggar etika. dan beritanya kita baca di media Ternyata tubuh sehat bukan jaminan jiwa sehat.

Di awal tahun 2020, warga netizen di Indonesia, dikagetkan dengan tindak kejahatan seorang pria muda nan tampan, bernama Reinhard Sinaga. Kecerdasan membawanya melanjutkan jenjang kuliah di sebuah negara di Benua Eropa. Sudah pintar, lulusan universitas top di Indonesia, ditambah berlatar keluarga kaya dan mapan.  

Ternyata laki-laki kelahiran 1983 itu cerdas di otak, sehat di badan, tapi sakit di jiwa nya. Apakah keluarga dan kerabatnya di tanah air, mengetahui gejolak dan kegalauan yang ditimbunnya bertahun -tahun di dasar jiwanya, dan akhirnya menyembur keluar dalam bentuk perilaku pemerkosaan dan pelecehan pada ratusan korban. 

Ini bukan soal orientasi seksual, straight, gay, bisex, lesbian, atau apalah -apalah. Karena banyak juga yang hetero melakuan kejahatan yang mirip. Namun menjadi perenungan menarik adalah mengapa sudah pintar, sudah kaya, punya wajah dan penampilan menarik, tapi kok bisa ya, ngelakuin yang begitu -begitu? Hmm...

Realitasnya adalah....

1. Percaya tidak percaya, ada orang cerdas  menyimpan 'sisi sakit' dalam jiwanya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun