Difabel merupakan seseorang yang memiliki keterbatasan pada anggota tubuhnya. Menjadi difabel tidaklah cukup mudah, karena banyak pandangan dari masyarakat menganggap para difabel tidak dapat melakukan aktivitas secara normalnya.Â
Tidak hanya itu, keahlian yang dimiliki oleh para difabel kadangkala dianggap remeh, padahal kemampuan yang mereka miliki sama dengan orang normal pada umumnya.Â
Namun, dengan adanya stigma yang buruk dari masyarakat normal para difabel justru mempunyai tekad yang cukup tinggi untuk membuktikan bahwa mereka bisa dan mempunyai kemampuan yang sama dengan masyarakat normal.Â
Dengan semangat memotivasi diri sendiri dan juga dukungan orang sekitar menjadikan para difabel yakin dirinya mampu, meskipun keterbatasan fisik yang telah mereka miliki.
Narasumber kami adalah Ibu Yayuk yang merupakan difabel tuna daksa berusia 42 tahun. Beliau memiliki usaha produksi kue yang telah dijalani lebih dari 10 tahun lamanya. Keahliannya dalam memproduksi kue didapatkan dari hasil belajar secara otodidak.Â
Ibu Yayuk memproduksi kue hanya pada saat ada pesanan dan beliau mendapatkan pesanan kue paling banyak ketika bulan ramadhan. Jenis kue yang diproduksi oleh beliau diantaranya yaitu bolu gulung dan bolu ban.Â
Ketika tidak ada pesanan beliau membantu kakaknya yang memproduksi kacang telur. Penghasilan dari kue yang diproduksi oleh beliau dirasa belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.Â
Penghasilan yang diperoleh oleh beliau hanya 50-100 ribu meskipun pesanannya banyak dan ramai. Ketika tidak ada pesanan sama sekali beliau tidak mendapatkan penghasilan.Â
Modal yang diperoleh untuk memproduksi pesanan didapatkan dari pinjaman orang lain. Pesanan kue yang diterima oleh beliau biasanya dari orang rumahan yang mempunyai acara seperti hajatan atau pengajian.
 Dalam membagi peran sebagai ibu rumah tangga sekaligus memiliki usaha kue, Ibu Yayuk menyelesaikan pesanan kue terlebih dahulu sebelum melakukan kewajiban sebagai seorang ibu rumah tangga.Â
Dalam menjalankan bisnis kuenya ini tentu tidak luput dari adanya kendala yang dirasakan. Kendala yang dimaksud adalah ketika memasarkan kuenya, karena beliau mempunyai keterbatasan pada fisiknya dan juga untuk keluar rumah pun harus menggunakan kursi roda yang diberi oleh pemerintah desa.
Ibu Yayuk merupakan anak ke-2 dari 5 bersaudara juga tergabung dalam komunitas PERPENCA, yang mana beliau diajak oleh Mas Sugi selaku Korcam Ajung.Â
Namun, kendala yang dialaminya adalah tidak memiliki handphone, sehingga untuk berkomunikasi dengan anggota-anggota PERPENCA yang lain merasa kesulitan.Â
Beliau juga pernah ditawari untuk mengikuti pelatihan di Bangil, namun bapaknya tidak memperbolehkan karena khawatir dan juga untuk berjalan pun masih harus menggunakan kursi roda.Â
Orang tua dari beliau lebih setuju bila pemerintah memberikan modal kepada para difabel, agar anaknya dapat menjalankan usaha sesuai dengan apa yang diinginkan secara mandiri.
Sementara itu, Mbak Iin adalah saudara sepupu dari Ibu Yayuk yang juga merupakan seorang difabel tuna daksa yang mengalami nasib sama. Perbedaannya adalah pada umur Mbak Iin yang lebih muda yaitu 22 tahun.Â
Ia mengalami tingkat difabel yang agak berat daripada Ibu Yayuk, karena dalam melakukan aktivitas sehari-harinya mengalami kesulitan dan belum diperbolehkan oleh kakak laki-laki serta Ibunya untuk beraktivitas di luar rumah.Â
Mbak Iin sebenarnya memiliki keinginan untuk mengikuti pelatihan di Bangil. Namun karena kekhawatiran dari kakak laki-lakinya sehingga dia tidak mengikuti pelatihan tersebut.Â
Meskipun tidak menempuh pendidikan sedari kecil, akan tetapi ia memiliki kemampuan membaca yang didapat ketika belajar bersama adiknya. Ia memiliki hobi membuat konten video yang kemudian diunggah dalam Instagramnya.Â
Hobinya tidak hanya membuat konten video, tetapi juga menulis yang kemudian tulisannya diunggah ke story instagram dan juga hobi membaca novel di aplikasi online.Â
Sebelum itu ia sempat mencoba berjualan kerudung secara online melalui WhatsApp namun ia memutuskan untuk berhenti berjualan karena kerudung yang Ia jual belum begitu laku.
Mbak Iin pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah desa berupa sembako, namun mirisnya bantuan itu hanya diberikan sekali saja. Sehingga ia tidak lagi mendapatkan bantuan tersebut.
Secara sosiologis, cerita dari kedua narasumber tersebut dapat dikaji dengan meminjam teori Fungsionalisme Struktural milik Talcott Parsons. Di dalam buku Teori Sosiologi Modern edisi ketujuh oleh George Ritzer, Parsons memulai Fungsionalisme Struktural dengan empat fungsi yang terkenal dengan skema AGIL.Â
Skema AGIL dapat dijabarkan menjadi empat aspek yaitu, Adaptation (Adaptasi), Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), Latency (Latensi atau Pemeliharaan pola-pola yang sudah ada).Â
Skema AGIL merupakan fungsi-fungsi yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat agar tetap berjalan dengan baik dan mampu mempertahankan kehidupannya.
Fungsi AGIL memiliki keterkaitan dengan kenyataan yang dialami oleh kedua narasumber yaitu Ibu Yayuk dan Mbak Iin. Pertama, Adaptation (adaptasi) sendiri pada kondisi keterbatasan yang dimiliki oleh Ibu Yayuk dan Mbak Iin, mereka berdua berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dengan kondisi fisik yang terbatas.Â
Mereka beradaptasi dalam keadaan masyarakat yang mempunyai stigma buruk tentang difabel, jadi dengan demikian Ibu Yayuk maupun Mbak Iin yang termasuk sebagai struktur dalam masyarakat harus beradaptasi dan berbaur dengan lingkungan sekitar dimana mereka berdua tinggal.Â
Kedua, baik Ibu Yayuk dan Mbak Iin memiliki keinginan atau tujuan tertentu yang hendak dicapai (Goal Attainment/Pemenuhan Tujuan). Secara umum, tujuan keduanya adalah kesetaraan peran dengan anggota masyarakat lainnya, dimana keduanya ingin memiliki pekerjaan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.Â
Ibu Yayuk berusaha untuk menjadi pembuat kue sedangkan Mbak Iin mengusahakan untuk mengunggah konten-konten ke media sosial yang sesuai dengan hobi yang digemarinya. Ketiga, Integration (Integrasi) para penyandang difabel di Kecamatan Ajung diwujudkan dalam sebuah sistem atau lembaga yaitu organisasi PERPENCA.Â
PERPENCA menjadi sebuah forum dimana komunitas Difabel di Kecamatan Ajung saling berbagi aspirasi dan pengalaman hidupnya, termasuk Ibu Yayuk dan Mbak Iin.Â
Keempat, Latency (latensi atau pemeliharaan pola) adalah upaya pemeliharaan dan memperbaiki pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.Â
Contohnya adalah koordinasi internal rutin yang dilakukan oleh Komunitas PERPENCA melalui grup Whatsapp. Koordinasi ini berfungsi sebagai sarana penyaluran informasi seperti pelatihan dan lowongan pekerjaan.Â
Dengan adanya koordinasi tersebut peran anggota PERPENCA saling support satu sama lain, sehingga dapat menciptakan suatu motivasi baru terhadap kehidupan Ibu Yayuk dan Mbak Iin meskipun memiliki keterbatasan fisik yang dialaminya. Keluarga sebagai sebuah struktur sosial terdekat juga berperan penting dalam menciptakan dan menopang motivasi mereka berdua, dengan mendukung segala aktivitas yang dilakukan khususnya dalam kemandirian ekonomi.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa keempat fungsi AGIL tersebut telah berjalan dengan sempurna tanpa adanya kendala. Misalnya pada fungsi pemenuhan tujuan (goal attainment), peranan Ibu Yayuk dan Mbak Iin masih belum maksimal dimana pekerjaan yang ditekuni tidak menghasilkan pendapatan yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.Â
Pekerjaan Ibu Yayuk dalam membuat kue juga bersifat musiman sehingga beliau kurang mampu menghasilkan pendapatan di luar masa-masa tertentu seperti pada saat bulan ramadhan.Â
Sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh Mbak Iin dalam membuat konten digital masih sebatas hobi dan tidak menjadikannya sebagai sebuah pekerjaan utama.Â
Kedua narasumber tersebut memang tidak diperbolehkan untuk mengikuti pelatihan keterampilan kerja oleh orang terdekat yaitu keluarga mereka.Â
Alasan yang digunakan oleh keluarganya adalah kekhawatiran dengan kondisi dua narasumber tersebut apabila jauh dari mereka dan khawatir tidak bisa mandiri ketika disana.Â
Kekhawatiran lain seperti tidak ada yang membantu bergerak atau berpindah tempat, takut dicelakai oleh orang lain, dan lain sebagainya. Padahal mereka berdua mempunyai keinginan besar untuk memiliki aktivitas dan bisa menjadi individu yang produktif.Â
Disinilah seharusnya letak peranan pemerintah berada. Pemerintah perlu meyakinkan pihak keluarga dengan menyediakan fasilitas pelatihan yang lebih inklusif dan mampu menjamin keamanan difabel yang mengikuti pelatihan.Â
Dengan demikian, penyandang tuna daksa seperti Ibu Yayuk dan Mbak Iin bisa berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari pelatihan-pelatihan keterampilan kerja, apabila keamanan serta kepastian akan program-program dari pemerintah mampu meyakinkan orang-orang di sekitar mereka.Â
Kendala tersebut sayangnya membuat mereka belum bisa merasakan bagaimana rasanya mengikuti pelatihan dan memiliki pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Penulis:Â
Ahmad Lutfi Zakarianur (200910302079)
M. Rafi Kurniawan (200910302007)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H