Penghitungan elektabilitas Presiden Joko Widodo menjelang dimulainya tahapan Pemilihan Presiden 2019 selalu memperlihatkan penurunan. Hasil survei yang dirilis Lembaga survei Median minggu lalu, memperlihatkan elektabilitas Jokowi turun di angka 35 persen, dari sebelumnya 36,2 persen di Oktober 2017 dan 36,9 persen di April 2017.
Median menyatakan penyebab merosotnya elektabilitas Jokowi karena beberapa faktor, salah satunya kesenjangan ekonomi di Indonesia. Kesenjangan ekonomi sekarang dinilai berbanding terbalik dengan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menejlang pemilu 2009 SBY selalu memuncaki survei-survei elektabilitas dengan angka rata-rata mencapai 67 persen.
Selain itu, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla memang belum membuat seluruh rakyat sejahtera. Direktur eksekutif Median, Rico Marbun mengungkapkan penurunan elektabilitas yang terjadi secara konsisten itu selain masalah ekonomi juga disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya masalah korupsi, meningkatnya harga kebutuhan pokok, dan tarif listrik yang tinggi.
Berbicara tentang penyebab turunnya elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres, berikut rangkuman beberapa persoalan yang dapat dijadikan bahan komparasi Jokowi dengan SBY.
1. Kesenjangan Ekonomi
Menurut Robert Chambers (1987) kesenjangan sosial ekonomi merupakan gejala yang timbul di dalam masyarakat karena adanya perbedaan batas kemampuan finansial dan yang lainnya di antara masyarakat yang hidup di sebuah wilayah tertentu.
Sementara dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah ketidakseimbangan, perbedaan, jurang pemisah, yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebijakan pemerintah dapat juga menjadi faktor timbulnya kesenjangan sosial di masyarakat. Pola pembangunan di Indonesia seringkali dikritik karena tidak mempertimbangkan kelola kebinekaan untuk kemajuan dan Kesejahteraan Bangsa.
Pelaku dan penerima manfaat dari pembangunan itu sendiri tidak dianggap penting asal pembangunan jalan. Yang dikejar adalah pertumbuhan karena itu investor diundang untuk menggarap ladang-ladang ekonomi di berbagai sektor seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, kelautan, dan lain-lain.
Pola pembangunan yang tidak inklusif ini menyisakan cacat. Itu ditunjukkan oleh ketimpangan antarwilayah, disparitas antarsektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan antarpenduduk.
Rilis BPS pada Agustus 2017 memperlihatkan bahwa pembangunan nasional masih terus memusat di Jawa dan Sumatera yang menyumbang 80,34 persen produk domestik bruto nasional. Pembangunan bukan ditopang oleh sektor penghasil barang yang padat karya tetapi oleh sektor jasa dan keuangan yang padat modal," bebernya.
Sektor nontradable tumbuh melesat hingga 8,8 persen. Sedangkan sektor tradable terseok-seok di angka 3,3 persen. Kesenjangan juga tampak dari ketimpangan antarindividu dalam penguasaan kue ekonomi nasional.
Lebih ekstrem, Word Bank melaporkan satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen kekayaan nasional. Ini menunjukkan ketimpangan di Indonesia sangat besar. Bahkan Indonesia adalah negara rangking ketiga tertimpang setelah Rusia dan Thailand.
Hal itulah yang kiranya menyebabkan elektabilitas Jokowi konsisten turun.
Situasi ini jauh berbeda ketika menjelang pemilihan presiden 2009 lalu. Saat itu, elektabilitas SBY bahkan mencapai 67 persen menjelang pemilu. Padahal, saat itu Indonesia ikut mendapatkan krisis ekonomi dunia pada 2008.
2. Pelemahan KPK
Berbagai lika-liku upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi terus terjadi. Mulai dari ribut-ribut antar instansi seperti kepolisian dan DPR, hingga polemik UU MD3 menjadi beberapa faktor yang ikut menggerus suara Jokowi.
Digunakannya hak angket DPR untuk KPK dinilai sebagai akal-akalan untuk menggaduh KPK yang tengah menggarap kasus besar, yakni megakorupsi e-KTP. Presiden juga tidak menunjukkan sikap tegas terhadap upaya-upaya itu.
Berbeda dengan Sikap yang ditunjukan SBY kala menangani masalah konflik KPK dengan kepolisian yang saat itu disebut pertikaian cicak-buaya. Sebagai kepala negara SBY langsung pasang badan. Ia menghimbau agar kepolisian dan kejaksaan yang berada di bawah kendalinya agar bertindak secara profesional, adil, objektif, dan transparan, sehingga semua proses bisa diikuti oleh masyarakat dan keadilan dapat ditegakkan.
Mengenai isu kriminalisasi KPK, SBY menegaskan bahwa tidak ada kriminalisasi terhadap anggota atau pimpinan KPK. Jika ada pihak yang ingin membubarkan KPK, menurut SBY ia justru akan menjadi orang terdepan untuk melawan pembubaran KPK.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY mampu menjadi dirijen orkestra pemberantasan korupsi. SBY membuktikan bisa memimpin pemberantasan korupsi terutama lewat "dukungannya" ke KPK. Reformasi birokrasi pada beberapa instansi pemerintah seperti Departemen Keuangan, BPK, dan MA, merupakan pondasi dasar dalam pemberantasan (pencegahan) korupsi.
Sikap demokratis SBY dalam pemberantasan korupsi terlihat pada sikapnya atas penetapan Aulia Pohan (besan presiden) sebagai tersangka. Pernyataan presiden bahwa meskipun sedih ketika besannya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, namun presiden kembali menegaskan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Publik bisa melihat dalam beberapa peristiwa yang terjadi, diantaranya penyalahgunaan wewenang atau kriminalisasi penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK, proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, keluarnya perppu No. 4 Tahun 2009, dan terpilihnya 3 Plt. Pimpinan KPK.
Pada masalah penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK pada SeptembSBY untuk melakukan 'intervensi', namun SBY menyatakan tidak mungkin mencampuri urusan teknis penyidikan. SBY sempat mempertemukan Polri dan KPK, namun SBY kembali mendapat poin plus ketika ia menyatakan tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
3. Perbedaan Penanganan Inner Circle
Inner ircle atau orang dekat presiden bisa menteri, asisten, ajudan, pengurus di partai politik, pengacara, hingga tokoh lain yang mempunyai pengaruh. Fenomena 'licinnya' Setya Novanto menjadi gambaran bagaimana treatment Jokowi kepada salah satu orang terdekatnya tersebut.
Sebagai Presiden, Jokowi bisa saja menggunakan powernya untuk segera menuntaskan kasus hukum setnov. Setnov di sini terkesan memeliki kuasa yang lebih besar daripada Presiden sendiri. Penuntasan perkara pun berbelit-belit, mulai dari alasan sakit hingga kecelakaan dimunculkan untuk menghindari proses hukum.
Beberapa bekas politisi Partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum dan Nazarudin juga pernah terlibat masalah hukum. Namun Presiden ke-6 RI tersebut tidak melindungi oknum-oknum tersebut.
KPK menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Ia diduga menerima pemberian hadiah terkait proyek Hambalang saat masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Proses hukum dan penangkapan Anas terbilang lancar, tidak ada drama yang terjadi. Padahal posisi keduanya sama-sama sebagai Ketua Umum Partai pendukung pemerintahan saat terjerat kasus korupsi.
Meski demikian setiap pemimpin punya caranya sendiri dalam memperlakukan orang-orang terdekatnya. Jika SBY memilih untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, mungkin Presiden Jokowi lebih memilih untuk menunggu, membaca situasi, dan berbicara dengan media untuk menenangkan rakyat yang resah dengan perangai orang-orang dekat presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H