Puan maharani sudah ditargetkan untuk menjadi wakil presiden sejak jauh hari. Hal ini terlihat dari penunjukan dirinya sebagai sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), dan selamat dari gejolak reshuffle kabinet kerja hinga sekarang.
Pemilihan puan sebagai Menko PMK dianggap ada campur tangan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Bagaimana tidak, wanita nomor 1 di Indonesia itu sudah memiliki kursi presiden dengan 'petugas partai'-nya. Wajar saja anak kandungnya tersebut duduk sebagai salah satu menteri. Puan menjadi satu-satunya menteri yang tidak dipanggil ke Istana Kepresidenan saat seleksi menteri oleh Pak Jokowi.
Kapabilitas Puan sebagai menteri PMK sering dipertanyakan. Namun politisi PDIP Hendrawan Supratikno beralasan Puan merupakan simbol dukungan penuh dari PDIP ke Jokowi sebagai Presiden. Sebanyak tiga kali sudah terjadi bongkar pasang kabinet kerja Jokowi-JK, Puan selalu berdiri kokoh. Hal ini memperlihatkan betapa penting perannya sebagai simbol PDIP di pemerintahan.
Melihat track record puan tersebut, tidak aneh rasanya jika muncul asumsi bahwa Ibu Mega ingin memasangkan Puan dengan Jokowi di 2019. Pasalnya, tidak ada waktu lagi bagi cucu Bung Karno itu untuk melenggang menuju RI-2. 2019 sudah di depan mata. Jika tidak di pilpres 2019, akan susah rasanya untuk maju melihat posisi Jokowi masih sebagai kepala negara dan politisi PDIP.
Megawati berharap putrinya, Puan Maharani, mengikuti jejaknya dalam berpolitik. Termasuk nantinya bisa jadi Presiden seperti dirinya.
"Tentu harapan seorang ibu kepada anak-anaknya menjadi yang terbaik. Bukan Puan satu-satunya, tapi saya berkeinginan kaum perempuan lainnya yang bisa jadi kandidat (presiden)," kata Mega di Jakarta, Sabtu (21/4/2012).
Meski harapan seorang ibu kepada anaknya tersebut sudah jelas, namun masalahnya ada pada nama PDIP dan situasi poltik saat ini. Partai PDIP sering disorot dalam beberapa kebijakan penting, diantaranya adalah dalam pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK. Partai pendukung pemerintahan sangat keras bersuara dalam menggunakan hak angket untuk mengkaji wewenang KPK dalam menindak korupsi.
Index korupsi partai PDIP juga termasuk tinggi. Data dari KPK Watch, Sejak 2002 hingga 2014, PDIP berada pada posisi teratas sebagai partai yang terjangkit kasus korupsi dengan jumlah 157 kasus. Sementara pada periode 2014 -- 2017, PDIP turun satu peringkat dan disalip oleh partai pemerintah lain, yakni Partai Golkar.
Selain hak angket, PDIP dan partai pendukung pemerintahan lain juga mendukung terbitnya perppu ormas. Pemerintah beranggapan bahwa perppu ormas adalah bentuk komitmen pemerintah dalam rangka persatuan. Meski demikian, ada saja pihak yang merasa dirugikan.
Masyarakat dari kalangan islam konservatif merasa tidak mempunyai hak dalam berorganisasi dengan terbitnya perppu ini. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi salah satu faktor penyebab.
Terlepas dari pro dan kontra kebijakan tersebut, partai-partai pendukung pemerintahan banyak mendapat kecaman publik, khususnya umat islam. Padahal, umat islam merupakan pemberi suara terbanyak dalam pemilu, sebagai mayoritas penduduk. Keruhnya situasi politik saat ini juga memberikan efek negatif kepada citra pemerintah dari kacamata pemilih muslim.
Dengan situasi tersebut, Megawati memiliki banyak opsi jika ingin menang di 2019. Melejitnya nama Panglima TNI Gatot Nurmantyo, disebut sebagai 'senjata ampuh' untuk menangkal kemarahan umat islam terhadap pemerintah. Manuver Gatot Nurmantyo untuk mendekati umat Islam bisa meningkatkan suara Jokowi jika dipasangkan dengan Gatot.
Selain Gatot, nama-nama lain juga mucul sebagai pendamping Jokowi. Diantaranya adalah, Prabowo Subianto, Sri Mulyani, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Tri Rismaharini, dan bahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Banyaknya pilihan menjadikan kuatnya persaingan sebagai wakil Jokowi di 2019. Nama-nama di atas memiliki angka keterpilihan tinggi di Pilpres 2019. Namun demikian, tentu Ibu Mega harus benar-benar menentukan siapa yang 'pas' untuk disandingkan dengan Jokowi. Karena bagaimanapun 'suara' rakyat tetaplah penting bagi poltisi.
Megawati dihadapkan dengan dilema antara memilih pendamping Jokowi untuk mengambil suara terbanyak, atau mengedepankan egonya memilih Puan sebagai Wakil Presiden. Karena bagaimanapun, sekarang adalah kesempatan emas Puan untuk bisa maju jika tidak karena Jokowi. Atau mungkin wanita nomor 1 di Indonesia tersebut mau berlapang dada dan tidak menaikan Puan. Toh masih banyak posisi kekuasaan yang bisa diberikan untuk anaknya tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H