Mohon tunggu...
Faisal Anas
Faisal Anas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

PR Anies - Sandi: Hilangkan Perselisihan Politik

17 Oktober 2017   12:57 Diperbarui: 17 Oktober 2017   13:48 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pidato politik Anies Baswedan sebagai Gubernur baru DKI Jakarta dinilai membangkitkan kebencial rasial. Dalam pidatonya tersebut, Anies menyinggung masalah kebangkitan pribumi.

"Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan polarisme dari dekat. Di Jakarta, bagi orang Jakarta, yang namanya kolonialisme itu di depan mata," ujar Anies

Menurutnya, semua warga pribumi harus mendapat kesejahteraan. "Kita semua pribumi ditindas, dikalahkan, kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri Indonesia," ucapnya.

Perangai Anies ini memperlihatkan bahwa ia mencoba mengangkat derajat pendukungnya. Ini adalah wajar bagi setiap politisi yang baru memimpin, mencoba untuk mendekati sisi psikologis pendukungnya. Hal itu juga dilakukan oleh sejumlah politisi lain, seperti Donald trump dengan white supremacy-nya, dan Jokowi dengan gerakan gotong royong dan kemaritiman.

Mayoritas pendukung Trump adalah kalangan konservatif. Maka ia tentu melakukan komunikasi politik yang kira-kira sejalan dengan keinginan pendukungnya yang mana adalah dari kalangan kulit putih konservatif. Akibatnya hingga kini isu rasial masih banyak terjadi di berbagai negara bagian di Amerika Serikat.

Sementara Presiden Jokowi kala dilantik menyinggung masalah gotong-royong dan kemaritiman. Hal tersebut juga tidak lepas dari pengaruh pendukung PDI-P dan Megawati. Semboyan gotong-royong dan mengagungkan bung karno terlihat jelas. Dengan demikian, politisi cenderung 'mengangkat' derajat pendukungnya kala dilantik dan akan memulai tugasnya.

Kendati demikian, apakah bisa dikatakan seluruh masyarakat DKI Jakarta adalah pribumi? Jawabannya adalah tidak. Jakarta memiliki masyarakat heterogen yang multi kultural. Anies-Sandi hanya mengantongi sekitar 39 persen suara dalam Pilgub DKI putaran pertama. Artinya, hanya segitulah yang benar-benar menjadi pendukung Anies dan Sandi.

Pendukung Ahok-Djarot dan Agus-Sylvi tidak bisa dikatakan mendukung atau menolak isu kebangkitan pribumi. Karena bagaimanapun, suara masyarakat DKI Jakarta sudah terpecah belah. Lebih parahnya, pasca Pilgub masyarakat terbagi dalam kubu-kubu politik yang berlarut-larut hingga kini.

Apakah dengan jumlah suara Agus-Sylvi yang sebanyak 17 persen dapat dikatakan bahwa pendukung Agus-Sylvi adalah kelompok masyarakat yang mendukung kebangkitan pribumi? Tentu tidak. Kedua pasangan ini jelas berbeda karakternya. Pasca kekalahannya, agus langusung meminta kepada siapun pasangan yang nanti terpilih, untuk melakukan rekonsiliasi warga Jakarta yang terbelah setelah Pilkada DKI 2017.

Rekonsiliasi untuk menyatukan warga Jakarta. "Rekonsiliasi syarat melakukan pembangunan," ujar Agus.

Masyarakat DKI Jakarta saat ini terlibat perselisihan politik. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencairkan perselisihan yang terjadi di Jakarta. Jakarta harus tumbuh. Membangun paradigma yang dibangun inklusif dan pastisipatif dengan mengajak dan memberdayakan warga merupakan tugas seorang pemimpin, bukan politisi yang hanya mengedepankan agenda-agenda politik untuk kalangan tertentu.

Pidato kontroversial Anies tersebut tentu tidak menciptakan keamanan dan kenyamanan. Dengan adanya jaminan dan rasa aman, pengusaha atau investor dapat berinvestasi di Jakarta dengan tenang. Hal itu akan berdampak untuk pertumbuhan ekonomi di Jakarta, menciptakan pekerjaan baru dan mengurangi pengangguran.

Perselisihan politik tidak hanya terjadi di Jakarta. Seluruh wilayah di Indonesia saat ini sedang bertikai, antara paham satu dengan paham lainnya, partai satu dengan parta lain, pendukung ini dengan pendukung itu, berbagai kelompok masyarakat, ketimpangan sosial, dan berbai persoalan lainnya. Ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah rakyat.

Padahal, pada pada periode 2040-2050, Indonesia diprediksi akan memasuki masa keemasan. Bonus demografi dan potensi-potensi zaman yang terkelola dengan baik menjanjikan masa depan Indonesia cerah dan menjanjikan.

Untuk menuju Indonesia Emas 2045 segenap bangsa Indonesia harus mengambil peran. Ini bukan cuma urusan pendukung masing-masing politisi dan partai yang mana. Karena perjuangan tersebut tidak lepas dari masa depan generasi yang akan datang. Untuk itu, hal-hal yang bersifat memecah belah, sebaiknya ditinggalkan. Lebih baik berfokus kepada apa yang akan datang yang bersifat membangun.

Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Djarot Saeful Hidayat tidak hadir dalam pelantikan Gubernur baru DKI Jakarta di Istana Negara kemarin. Ini memperlihatkan perbedaan sikap Djarot dengan Prabowo Subianto, saat menghadiri pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden RI. Djarot memilih untuk berlibur ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur bersama keluarganya. Lawan Djarot saat Pilgub DKI, AHY dan Sylvi, bahkan turut hadir dalam acara tersebut. Pada periode sebelumnya, ketika kemenangan Jokowi -- Ahok, Fauzi Bowo (Foke) berlapang dada menerima kekalahan pada 2012.

Artinya, bagaimana kita dapat mewujudkan kedamaian dan keamanan politik jika ada pihak yang tidak bisa menerima kekalahan. Hal yang sama juga berlaku kepada pihak yang menjalankan pemerintahan. Jangan ada lagi usaha untuk mendegradasi suatu kelompok masyarakat bahkan kelompok politik sekalipun untuk menghilangkan munculnya perselisihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun