Dakwah Islam merupakan usaha manusia beriman untuk mempengaruhi dan mengajak manusia agar menjalankan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan. Menurut Amrullah Ahmad (1983), untuk mencapai tujuan tersebut iman manusia perlu diaktualisasikan dan dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan yang dilaksanakan secara teratur, pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Agar mencapai tujuan efektif dan efisien, di dalam pelaksanaan proses dakwah Islam diperlukan komponen-komponen (unsur) dakwah yang harus terorganisir secara baik dan tepat. Salah satu yang harus terorganisir dengan baik adalah media dakwah. Diantaranya adalah televisi. Khususnya tayangan yang dikenal dengan dakwahtaiment.
Definisi Dakwahtaiment
Dakwahtaiment adalah sebuah pola tayangan yang menggabungkan antara dakwah dan hiburan/entertainment. Dakwahtaiment merupakan hasil konstruksi yang lebih banyak dipengaruhi oleh pelaku produksi dan kalangan media. Dalam konteks demikian menyimpan dualisme yang sangat serius.
Di satu sisi, dakwah melalui televisi bisa sangat efektif, karena sebagaimana dipaparkan John Storey (2007: 11), tidak diragukan lagi televisi merupakan aktivitas waktu luang paling populer di dunia. Televisi seolah menjadi kebutuhan primer yang tidak boleh ditinggalkan. Maka sangat wajar, bila yang bersifat visual-informatif dan rekreatif dalam televisi sangat mudah dicerna oleh masyarakat kontemporer.
Disinilah kemudian televisi dipandang menjadi media strategis untuk menyampaikan dakwah atau orasi keagamaan kepada masyarakat secara menyeluruh. Apalagi masyarakat kadang lebih menghargai tingkah laku dan pola pikir para selebritis (public figure), dibanding dengan kesadaran masyarakat untuk mencontoh para ulama yang berdakwah dari masjid ke masjid.
Dakwahtaiment; potret dakwah televisi masa kini
Ada 2 (dua) wacana yang bertemu ketika dakwah dikaitkan dengan entertaiment yang merupakan core bisnis televisi. Televisi sebagai media massa, merupakan industri yang bergerak dalam pasar bisnis, membawa wacana yang berasal dari wilayah yang relatif sekuler. Sedangkan dakwah memiliki esensi nilai yang bersumber dari wacana religius, sebuah domain yang disakralkan.
Dalam perspektif dakwah, pertanyaannya yang muncul kemudian adalah bagaimana wacana dakwah yang sakral tersebut dapat ditransfer ke dalam bisnis media massa (televisi) yang memiliki watak kapitalis? Lantas, bagaimana pula peran setiap muslim sebagai komunikator dakwah di tengah-tengah pergulatan ideologi tersebut?.
Di samping itu juga, televisi merupakan budaya pop, maka tidak dimungkiri ideologi kapitalisme akan meracuni isinya. Dalam pandangan Dominic Strinati (1995), lahirnya budaya massa (televisi) semakin meningkatnya komersialisasi budaya dan hiburan serta semakin melebarkan kekuatan para kapitalis dalam menguasai perekonomian, dengan memunculkan sebuah ekonomi pasar. Tak pelak, fenomena ini pada akhirnya mengakibatkan segala hasil kreativitas budaya harus bertarung untuk merebut pangsa pasar untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen massa.
Sehingga pada tahap ini sangat tampak tarik-menarik antara idealisme dakwah dan entertaiment. Dakwah yang sangat identik dengan keikhlasan demi ketajaman spiritual dan kesalehan sosial, berhadapan dengan budaya massa penganut ideologi pasar yang lebih menitikberatkan pada keuntungan finansial. Ironisnya, fenomena ini yang tidak bisa dimungkiri bahwa ketika ada pertarungan antara idealisme dan pragmatisme, yang terjadi justru idealisme itu sendiri yang runtuh.
Hasil riset
Penelitian yang dilakukan oleh Santi Indra Astuti tentang program sahur di beberapa televisi swasta (RCTI, TPI, Indosiar, SCTV, Trans TV dan Metro TV) tahun 2004 silam misalnya, semakin mempertegas tesis di atas yaitu: pertama, pada level teks, terlihat kuatnya gejala dakwahtaiment dalam bentuk tayangan entertaiment/komedi situasi, yang berujung pada inkonsistensi penyampaian makna subtansial Ramadhan. Kedua, pada level organisasional, gejala dakwahtaiment ini terlihat pada program dengan model produksi yang menggunakan tolok ukur sukses program berdasarkan rating dan audience share. Dakwahtaiment sahur Ramadhan didominasi oleh komedi dan infotaiment karena pendekatan inilah yang disukai masyarakat di saat sahur maupun berbuka ketika Ramadhan.
Ketiga, masih di level organisasional, pemetaan skema kognisi sosial memperlihatkan adanya perbedaan memaknai Ramadhan dan fungsi-fungsi media, di antara pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam produksi wacan religius di televisi. Makna Ramadhan yang dominan bagi stasiun televisi adalah sebuah momen produksi yang bisa digunakan untuk meraih pemasukan sebesar-besarnya.
Makna di atas di dukung oleh sebagian kalangan agamawan yang apapun dalihnya bersedia tampil di televisi tanpa mengkritisi peran, porsi, maupun subtansi wacana religius yang dibawakannya. Keempat, pada level societal, gejala dakwahtaiment program sahur Ramadhan menampakkan kuatnya “ideologi hiburan” yang dicekcokan pemirsa, bahkan ketika muatan yang akan ditransfer adalah wacana-wacana religius.
Dalam konteks sosiokultural yang lebih luas, terlihat bahwa mediasi antara wacana religius dalam ruang media komunikasi massa dalam industri budaya saat ini telah memosisikan agama sebagai pihak yang dimarjinalisasikan saat berhadapan dengan stasiun televisi. Sehingga dalam konteks perspektif komunikasi dakwah, mengacu pada pemikiran Mc Luhan yang menyatakan bahwa medium is message, media adalah pesan.
Oleh karena itu, seharusnya perpindahan wacana dakwah ke dalam ruang media, bukan hanya sekedar persoalan mentransfer pesan semata. Namun melainkan juga perpindahan medium, karena pada dasarnya merupakan sebuah proses mediasi yang pada setiap transformasi model komunikasi tentu mengandung implikasi-implikasi sosiokultural tertentu. Dengan demikian televisi bukan sekedar produk teknologi yang bebas nilai, tetapi alat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Pada sisi lain, dengan banyaknya pemirsa yang tersihir dengan tayangan dakwahtaiment maka secara otomatis rating dari televisi akan meningkat. Peningkatan rating pada gilirannya akan mendatangkan iklan-iklan dari berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam program televisi yang banyak di tonton. Dengan datangnya iklan tentunya memberikan sumber pemasukan besar bagi televisi. Karena rating televisi tidak ada hubungannya dengan religiusitas penonton samata.
Namun, televisi mampu memanfaatkan celah sebagai lahan bisnis yang sangat menggiurkan guna mendapatkan pemasukan dengan menjual produk-produk berlatarbelakang agama. Sehingga televisi di Indonesia baik lokal maupun nasional mampu memberikan nilai religiusitas, di samping mendapatkan keuntungan finansial yang lebih besar. Walaupun niat mendesain program dakwah di televisi tidak untuk mendapatkan keuntungan finansial semata. Akan tetapi ini akibat dari sebab yang dimunculkan, barangsiapa yang menolong agama Allah maka Allah akan menolongnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H