Hasil riset
Penelitian yang dilakukan oleh Santi Indra Astuti tentang program sahur di beberapa televisi swasta (RCTI, TPI, Indosiar, SCTV, Trans TV dan Metro TV) tahun 2004 silam misalnya, semakin mempertegas tesis di atas yaitu: pertama, pada level teks, terlihat kuatnya gejala dakwahtaiment dalam bentuk tayangan entertaiment/komedi situasi, yang berujung pada inkonsistensi penyampaian makna subtansial Ramadhan. Kedua, pada level organisasional, gejala dakwahtaiment ini terlihat pada program dengan model produksi yang menggunakan tolok ukur sukses program berdasarkan rating dan audience share. Dakwahtaiment sahur Ramadhan didominasi oleh komedi dan infotaiment karena pendekatan inilah yang disukai masyarakat di saat sahur maupun berbuka ketika Ramadhan.
Ketiga, masih di level organisasional, pemetaan skema kognisi sosial memperlihatkan adanya perbedaan memaknai Ramadhan dan fungsi-fungsi media, di antara pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam produksi wacan religius di televisi. Makna Ramadhan yang dominan bagi stasiun televisi adalah sebuah momen produksi yang bisa digunakan untuk meraih pemasukan sebesar-besarnya.
Makna di atas di dukung oleh sebagian kalangan agamawan yang apapun dalihnya bersedia tampil di televisi tanpa mengkritisi peran, porsi, maupun subtansi wacana religius yang dibawakannya. Keempat, pada level societal, gejala dakwahtaiment program sahur Ramadhan menampakkan kuatnya “ideologi hiburan” yang dicekcokan pemirsa, bahkan ketika muatan yang akan ditransfer adalah wacana-wacana religius.
Dalam konteks sosiokultural yang lebih luas, terlihat bahwa mediasi antara wacana religius dalam ruang media komunikasi massa dalam industri budaya saat ini telah memosisikan agama sebagai pihak yang dimarjinalisasikan saat berhadapan dengan stasiun televisi. Sehingga dalam konteks perspektif komunikasi dakwah, mengacu pada pemikiran Mc Luhan yang menyatakan bahwa medium is message, media adalah pesan.
Oleh karena itu, seharusnya perpindahan wacana dakwah ke dalam ruang media, bukan hanya sekedar persoalan mentransfer pesan semata. Namun melainkan juga perpindahan medium, karena pada dasarnya merupakan sebuah proses mediasi yang pada setiap transformasi model komunikasi tentu mengandung implikasi-implikasi sosiokultural tertentu. Dengan demikian televisi bukan sekedar produk teknologi yang bebas nilai, tetapi alat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Pada sisi lain, dengan banyaknya pemirsa yang tersihir dengan tayangan dakwahtaiment maka secara otomatis rating dari televisi akan meningkat. Peningkatan rating pada gilirannya akan mendatangkan iklan-iklan dari berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam program televisi yang banyak di tonton. Dengan datangnya iklan tentunya memberikan sumber pemasukan besar bagi televisi. Karena rating televisi tidak ada hubungannya dengan religiusitas penonton samata.
Namun, televisi mampu memanfaatkan celah sebagai lahan bisnis yang sangat menggiurkan guna mendapatkan pemasukan dengan menjual produk-produk berlatarbelakang agama. Sehingga televisi di Indonesia baik lokal maupun nasional mampu memberikan nilai religiusitas, di samping mendapatkan keuntungan finansial yang lebih besar. Walaupun niat mendesain program dakwah di televisi tidak untuk mendapatkan keuntungan finansial semata. Akan tetapi ini akibat dari sebab yang dimunculkan, barangsiapa yang menolong agama Allah maka Allah akan menolongnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H