Mohon tunggu...
Adnan Ibra
Adnan Ibra Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sepak bola

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Industri Pabrik Karung Goni Delanggu 1934-1968

13 November 2022   20:13 Diperbarui: 13 November 2022   20:15 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Industri Pabrik Karung Goni Delanggu 1934-1968

Oleh : Adnan Ibra Setiawan

124221054

    Klaten merupakan kawasan pertanian dengan tanah yang subur, didukung oleh proses ekologi jangka panjang. Wilayah Delanggu merupakan salah satu wilayah Klaten yang memiliki potensi alam dan lokasi yang strategis untuk pengembangan usaha perkebunan dan pertanian. Selain budidaya padi, perkebunan tebu, rosela, kapas dan tembakau berkembang pesat di wilayah Delanggu selama abad ke-20. Sejak zaman Hindia Belanda hingga kemerdekaan Indonesia, industri gula dan industri karung goni terus berkembang di Delanggu. Kondisi ekologi dan potensi alam Delanggu berperan penting dalam kemajuan sosial ekonomi masyarakatnya yang menggantungkan hidup pada petani dan buruh.

    Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa wilayah Delanggu merupakan daerah yang subur, ideal untuk perkebunan dan pertanian. Hal ini dikarenakan kondisi ekologi dan letak kawasan Delanggu yang strategis. Salah satu produk yang ditanam di Delanggu adalah rosela yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan karung goni untuk kemasan gula, beras, kopi, dan lainnya. Perkebunan rosela dan pabrik karung yang digarap sejak tahun 1934 merupakan upaya pemerintah kolonial untuk memaksimalkan potensi ekologis Trangu. Namun cara-cara kolonial yang masih digunakan untuk mengelola industri karung goni Trangu berdampak ekonomi, sosial dan politik bagi masyarakat Delanggu. Selain itu, pemerintah Orde Baru tidak mendukung kebijakan pembangunan industri karung goni Delanggu membuat eksistensi karung goni menurun.

A. Latar Belakang

     Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda selalu ditentukan oleh arah politik pemerintah yang berkuasa. Kebijakan yang diterapkan dari waktu ke waktu selalu mengikuti perkembangan zaman. Sistem perkebunan dilaksanakan melalui investasi, penggunaan teknologi baru, pengelolaan lahan, dan ketersediaan tenaga kerja di koloni. Hal ini membuat perkembangan perkebunan Indonesia tidak terlepas dari masalah pertanahan dan pertanahan Tenaga kerja adalah elemen utama dari setiap usaha perkebunan.

     Pada awal abad ke-20, Klaten dan Sragen merupakan wilayah Hindia Belanda yang diposisikan sebagai pusat produksi pertanian dan perkebunan. Lokasi Klaten, berkat tanahnya yang subur antara Surakarta-Yogyakarta, telah menjadi daerah yang produktif dan mendirikan beberapa pabrik gula. Salah satunya terletak di wilayah Delanggu yang produksi tebunya tinggi, dan lokasi yang strategis serta sumber daya manusia yang melimpah di wilayah Delanggu semakin meningkatkan produksi gula di awal abad ke-20. Pada tahun 1930, wilayah Hindia Belanda mengalami masa keterpurukan yang menyebabkan kemerosotan perekonomian. Ini membunuh banyak bisnis perkebunan di Jawa, terutama produksi gula yang tumbuh cepat saat itu. Peristiwa ini juga menjadi salah satu alasan mengapa Pabrik Gula Delanggu ditutup pada tahun 1934 dan berubah menjadi pabrik karung goni. Maksimalkan potensi wilayahh Delanggu.

     Dalam perkembangan selanjutnya, pabrik goni tidak mengalami kemajuan sama sekali, tetapi goni tetap menjadi komoditas penting selama pendudukan Jepang. Pada masa transisi pasca kemerdekaan Indonesia, kondisi politik dan ekonomi negara yang tidak menentu membuat perkembangan industri tersebut menjadi sulit. Bahkan tindakan pemerintah menasionalisasi pabrik tas tidak mampu mengubah keadaan di Delanggu saat itu. Hal ini membuat peran karung goni semakin tergantikan oleh penggunaan karung plastik yang dinilai lebih hemat. Selain itu, penanaman bunga rosella juga tergeser oleh program Revolusi Hijau yang menguntungkan petani.

B. Muncul dan Berkembangnya Industri Karung Goni Delanggu

     Pada awal abad ke-20, pabrik gula dibangun karena gula merupakan produk yang sedang naik daun di pasar internasional. Perkebunan tebu dibudidayakan hampir di seluruh wilayah pertanian Klaten, salah satunya berada di daerah Delanggu. Delanggu memiliki perkebunan tebu dan hasil panen yang cukup tinggi untuk memasok daerah lain di Klaten. Namun hingga awal abad ke-20, Delanggul belum memiliki pabrik gula yang mengolah sendiri tebu. Sebelum pembangunan pabrik gula di Delanggu, hasil perkebunan tebu dipasok ke pabrik gula di dalam dan sekitar wilayah Klaten. Pabrik Gula Delanggu berdiri pada tahun 1917 dan sejak saat itu Delanggu telah melakukan kegiatan manufakturnya.

    Depresi ekonomi yang melanda Hindia Belanda pada tahun 1930 merupakan gejala perekonomian dunia. Di negara-negara jajahan seperti Hindia Belanda, situasi ini berlangsung lebih lama dan berakibat lebih serius. Akibatnya, pemerintah kolonial Belanda menderita kerugian besar akibat jatuhnya harga dan kelebihan produksi gula. Hal ini memaksa pabrik gula untuk memulangkan beberapa pekerja dan mengurangi upah untuk menekan biaya produksi. Sebagai penghasil gula, Delanggu merupakan salah satu daerah di Hindia Belanda yang merasakan dampak dari depresi ekonomi. Keadaan menjadi begitu serius sehingga pada tahun 1933 pabrik gula Delanggu bangkrut, sehingga berhenti memproduksi gula dan akhirnya harus tutup. Penutupan pabrik gula Delanggu membuat perkebunan tebu terbengkalai dimana masyarakat menanam tanaman pangan seperti padi dan kedelai.

    Pada tahun 1938, pabrik karung untuk pertama kalinya memproduksi karung goni yang dipasarkan untuk gula kemasan, kopi, tembakau, kelapa sawit dan beras. Hingga tahun 1950-an, produksi Pabrik Karung Goni Delanggu mencapai 5.5 5.000 karung goni per tahun.18 Namun, pada tahun 1960-an, terutama setelah Gerakan 30 September 1965, produksi menurun menjadi hanya 2.160.000 karung per tahun. Ini didasarkan pada perkiraan produksi tahun 1968 sebanyak 7.500 kantong per hari. Penurunan produksi karung goni dipengaruhi oleh pabrik yang tidak berproduksi pada tahun 1966-1967 setelah pergerakan 30.9.1965 .19 Sehubungan dengan distribusi pabrik goni, Delanggu memiliki konsumen, sebagian besar yang merupakan pabrik. dan perkebunan di kawasan pemukiman kota Surakarta. Seperti halnya produk goni A Twill/B Twill bergaris biru sejajar, sebagian besar diserap di pabrik gula Karesidenan Surakarta. Pabrik gula yang menggunakan karung merupakan pabrik yang melanjutkan produksi setelah mual, seperti Pg. Ceper, lahir Gondang Winangun, hal. Modjo, lahir Tasiksabu, b. Kalibagor dan Hal. Colomadu Gudang pengeringan tembakau di Gayamprit, Wedi dan Kebonarun (sekarang Perusahaan Perkebunan Nusantara X) juga menggunakan goni untuk mengemas cerutu untuk ekspor. Pabrik karung goni Delanggu juga memproduksi karung goni HC Green yang bercirikan garis sejajar hijau yang digunakan untuk mengemas hasil pertanian. Luas lahan pabrik tas artileri ini kurang lebih 17,7 ha. Terdiri dari ,5 ha bangunan fasilitas di bawah teknik mesin perusahaan.20 Sisanya 13,2 ha digunakan untuk gedung administrasi dan ruang staf, dimana . masih berada di fasilitas pabrik yang sama. kompleks bangunan. Kompleks perbelanjaan mempekerjakan . 2.800 orang . dari 15.567 karyawan yang dipekerjakan oleh perusahaan tersebut.

     Di antara mereka, 2.800 karyawan dapat dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan di perusahaan. Kelompok pertama disebut personel manajemen, kelompok kedua adalah teknisi pabrik, dan yang ketiga adalah pengawas. Delanggu, sebuah perusahaan manufaktur karung goni, biasanya mendatangkan pekerja dari daerah Klaten dan beberapa daerah sekitarnya lainnya. Konsentrasi kegiatan usaha di Delanggu menyebabkan sebagian besar tenaga kerja keluar dari kawasan Delanggu. Sekitar 80 persen pekerja pabrik adalah laki-laki, 15 persen perempuan, dan 70 persen dari seluruh . pekerja sudah menikah.22 Kekalahan Belanda oleh Jepang mengakibatkan seluruh wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan pemerintah Jepang.

      Akibatnya, pada awal tahun 1943, Delanggu, sebuah pabrik karung goni, diserahkan kepada pemerintah Jepang, dan Nanio Kahatso ditunjuk sebagai penanggung jawab perusahaan tersebut. Di Jepang, karung goni tidak hanya digunakan sebagai pembungkus gula dan beras, tetapi juga sebagai pakaian. Orang melakukan ini karena pakaian adalah komoditas mahal selama pendudukan Jepang. Penggunaan tas goni dalam pakaian menimbulkan risiko banyak penyakit kulit menular karena struktur tas goni kasar, berat dan kaku. Akibat perkembangan selanjutnya, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan tentang pendaftaran kantong tebu dan larangan penjualan, pembelian, dan pemindahannya. 23 Salah satu isi perintah tersebut menyatakan bahwa orang yang memiliki lebih dari 10 kantong senjata harus melaporkan hal ini dan mendaftar ke pemerintah, serta informasi tentang kegunaan kantong senjata tersebut. Kebijakan menunjukkan nilai karung goni selama Jepang.

C. Dampak Bagi Masyarakat Delanggu

    Keberadaan ekonomi perkebunan di pusat perekonomian subsisten di Jawa menciptakan peluang ekonomi yang penting bagi masyarakat pedesaan pada umumnya. Namun, seluruh situasi berubah dengan ekonomi moneter. Di sisi lain, petani yang memiliki tanah harus bekerja untuk panen. Oleh karena itu, para petani tidak memiliki cukup waktu untuk menggarap lahan mereka. Berkurangnya lahan yang diusahakan untuk pangan akibat sewa lahan perkebunan menyebabkan kurangnya pendapatan bagi petani. Untuk mendapatkan penghasilan tambahan, sebagian besar petani menjadi buruh perkebunan atau pabrik. Pengambilalihan lahan pertanian untuk perkebunan melalui sewa lahan juga mempermudah mencari pekerjaan bagi pemerintah kolonial Belanda dan . perusahaan perkebunan. Krisis di daerah Delanggu tidak berlangsung lama karena pada tahun 193 pemerintah Belanda membudidayakan tanaman Roselle di daerah Delanggu dan mengubah bekas pabrik gula menjadi pabrik karung goni. Upaya pemerintah mengembangkan karung goni di Delanggu dapat meningkatkan perekonomian masyarakat karena dapat menciptakan . lapangan pekerjaan di wilayah Delanggu.

     Berdirinya perkebunan Roselle dan dimulainya pabrik karung goni pada tahun 1938 mampu mengurangi jumlah pengangguran setidaknya di daerah Delanggu itu sendiri. Aktivitas pabrik tas tersebut membuat perekonomian Kota Delanggu kembali pulih pasca terjangkit penyakit tersebut. Namun, perkembangan perkebunan Roselle dan produksi pabrik karung goni Delanggu memberikan pengaruh yang lebih positif bagi penguasa sejak masa penjajahan Belanda hingga kemerdekaan Indonesia. Industri tas membantu pemerintah untuk mengurangi biaya devisa impor tas goni dari negara-negara produsen seperti Pakistan dan Bangladesh. Penggunaan karung goni produksi dalam negeri mengurangi ketergantungan pada goni impor dari negara lain. Sementara di sekitar pabrik berdampak positif bagi perkembangan ekonomi, namun justru berdampak negatif bagi masyarakat. Pengaruh negatif upah karyawan sangat kecil, karena tidak sebanding dengan energi yang dikonsumsi. Ketersediaan perkebunan rosela yang memenuhi kebutuhan serat pabrik kantong menyebabkan peralihan dari budidaya padi lokal ke perkebunan rosela. Pasalnya, pemilik tanah harus bergantian menyewakan .

     Kondisi sosial masyarakat Delanggu pasca malaise tercermin dalam industri Pabrik Karung Goni Delanggu. Keberadaan industri karung goni di Delanggu memberikan dampak sosial yang besar bagi masyarakat Delanggu dan sekitarnya. Efeknya terutama pada hubungan kerja di penanaman bunga mawar dan di pabrik tas meriam, tetapi juga dari orang ke kelompok. Kegiatan pabrik tersebut menimbulkan perubahan sosial yang cukup mengesankan, baik dampak positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut. Salah satu dampak dari industri karung goni di Delanggu adalah adanya kesenjangan kelas antara pekerja pabrik dan pekerja administrasi. Setelah penjajahan Belanda, masyarakat Delanggu selalu berada pada kelas sosial terbawah. Masyarakat Delanggu hanya menggunakan tenaganya untuk bekerja di perkebunan, mulai dari buruh perkebunan, panen dan angkut serta buruh pabrik gula.

    Saat industri kain karung diserahkan kepada pemerintah Delanggu, ternyata jumlah buruhnya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Disparitas tingkat pendapatan pekerja dan pelayanan yang diterima sangat mencolok, terutama antara pekerja dan pekerja. Kelemahan di bidang sosial ekonomi dimanfaatkan dan dijadikan landasan bagi partai politik untuk memobilisasi buruh untuk mogok menuntut kesejahteraan. Kemerdekaan nasional membuat perlawanan terhadap imperialisme Barat tidak berarti dalam arti fisik dan nasional. Pemikiran kiri lebih fokus membongkar ketidakadilan struktural masyarakat Indonesia. Kemiskinan masyarakat di kawasan pemukiman Surakarta menjadi potensi yang bisa mengembangkan gerakan kiri pada masa kemerdekaan. Gerakan buruh yang semakin kuat melahirkan berbagai aksi revolusioner yang menuntut pemerintah segera mengambil tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang masih beroperasi di Indonesia. Pengambilalihan juga dilakukan untuk perusahaan penanaman rosela dan pabrik karung goni di Delanggu. Hal ini terlihat dalam gerakan anti-Swapraja tahun -1946 di Surakarta dan pemogokan kantong senjata tahun 1948 di Delanggu.

D. Kesimpulan

    Klaten merupakan daerah pertanian         dengan lahan yang subur dan luas. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah dengan jenis tanah yang cocok untuk budidaya dan penanaman. Selain gula dan tembakau, Afdeling Klaten juga memiliki beberapa tanaman lain seperti kakao, nila, serat dan tanaman lainnya. Kecamatan Delanggu merupakan salah satu kecamatan di Afdeling Klaten yang memiliki tanah subur dan potensi alam untuk pengembangan usaha pertanian dan perkebunan. Kabupaten Delanggu memiliki elemen penting seperti lahan yang luas, irigasi yang melimpah sepanjang tahun, iklim yang baik, lokasi yang strategis, tenaga kerja yang tersedia dan akses transportasi yang mudah. Hal inilah yang melatarbelakangi berkembangnya Delanggu dari desa menjadi kecamatan onder bahkan salah satu dari . kecamatan Afdeling Klaten.

     

Daftar Pustaka

Arsip:

Arsip Laporan Tahunan PNP XVI (Koleksi Perpustakaan Museum Gula Gondang Winangun), tentang pembelian karung goni tahun 1969.

Arsip Denah Lokasi Luas Lahan Pabrik Karung Goni Delanggu (Koleksi Kantor Kelurahan Delanggu), Klaten: Kelurahan Delanggu.

Buku dan Artikel

Bondan Kanunmoyoso, Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda di

Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.

Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan Sampai Banting Stir, Bandung: ITB, 2000.

Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas, " Gambaran Kepentingan Politik Kelompok Komunis di Indonesia: Pemogokan Buruh di Delanggu 1948", Jurnal Socia, Vol. 12, Yogyakarta: UNY, 2013.

Industri Perkebunan Besar di Indonesia: Profil dan Petunjuk, Jakarta:

Departemen Pertanian, 1989.

Kanpo, no 14 tahoen ke II Boelan 3-2603.

Kantor Desa Delanggu, Mengenal, Desa: Delanggu, Kecamatan: Delanggu, Delanggu: Kabupaten Daerah Tingkat II Klaten Provinsi Daerah Tk. I Jawa Tengah, 1980.

Kantor Statistik Kabupaten, Klaten dalam Angka Tahun 1987, Klaten, Bappeda Dati II Klaten, 1988.

Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2010.

Mubyarto, dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1992.

Roll, Werner, Struktur Pemilikan Tanah, Studi Kasus Daerah Surakarta-Jateng, Jakarta: CV Rajawali, 1983.

Sarjana Sigit Wahyudi, Ketika Sarbupri Mengguncang Pabrik Karung Delanggu 1948, Sebuah Studi Awal dari Pemberontakan PKI Madiun, Semarang: Aini, 2001.

 PERTANYAAN

Bagaimana keadaaan sosial bagi masyarakat Delanggu dengan adanya industri Pabrik Karung Goni Delanggu?

terutama pada hubungan kerja di penanaman bunga mawar dan di pabrik tas meriam, tetapi juga dari orang ke kelompok. Kegiatan pabrik tersebut menimbulkan perubahan sosial yang cukup mengesankan, baik dampak positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut. Salah satu dampak dari industri karung goni di Delanggu adalah adanya kesenjangan kelas antara pekerja pabrik dan pekerja administrasi. Setelah penjajahan Belanda, masyarakat Delanggu selalu berada pada kelas sosial terbawah. Masyarakat Delanggu hanya menggunakan tenaganya untuk bekerja di perkebunan, mulai dari buruh perkebunan, panen dan angkut serta buruh pabrik gula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun