Mohon tunggu...
Adnan Abdullah
Adnan Abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Traveler

Membaca untuk Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ternyata Pajak Memengaruhi Demokrasi

1 Agustus 2024   08:20 Diperbarui: 1 Agustus 2024   09:43 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, saya menghadiri acara Tax Gathering yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Pajak Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara di salah satu hotel berbintang di Kota Makassar.

Acara itu bertujuan untuk memberikan apresiasi dan penghargaan kepada para pembayar pajak terbesar yang ada di Kota Makassar, antara lain pabrik gula PT Makassar Tene, Grup Kalla, Bank Sulselbar, dan masih banyak lagi.

Dalam acara itu hadir sebagai pembicara Prof. Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM dan Duta Besar RI di Rusia.

Ketika masih di holding room, beliau sempat menyampaikan perasaan senangnya setiap diundang untuk berbicara tentang pajak, dan benar saja, ketika tiba gilirannya untuk berbicara di hadapan para wajib pajak malam itu, beliau nampak sangat antusias.

Satu hal yang paling menarik yang beliau sampaikan pada saat itu adalah pandangan beliau tentang keterkaitan antara pajak dan demokrasi. Menurut beliau, pajak adalah biaya untuk menjadi cerewet.

Cerewet yang dimaksud di sini bukanlah cerewetnya emak-emak kepada suami dan anak-anaknya, akan tetapi cerewetnya rakyat kepada pemerintahnya. Jadi menurut beliau, pajak adalah ongkos kebebasan berpendapat dalam suatu negara demokrasi.

Jadi menurut beliau, semakin tinggi jumlah pajak yang harus dibayar di suatu negara, maka semakin baik pula demokrasi di negara tersebut, demikian pula sebaliknya.

Hal itu bisa dilihat pada negara-negara di Eropa bagian utara seperti Finlandia, Denmark dan Swedia. Negara-negara itu mengenakan pajak yang tinggi bagi warganya, namun indeks demokrasinya pun tinggi. Masyarakatnya bebas berpendapat, bahkan di negara-negara itu, indeks kebahagiaannya pun tinggi.

Sebaliknya di negara-negara yang mengenakan pajak yang rendah, seperti Arab Saudi, Oman, dan Uni Emirat Arab, indeks demokrasinya pun rendah karena rakyatnya tidak memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2023 adalah 6,53 dan berada di ranking 56 dari 167 negara. Indeks demokrasi negara kita masih berada jauh di bawah negara-negara Eropa, seperti Norwegia, Finlandia, Denmark dan Swedia, namun demikian kita masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara di Timur-Tengah, seperti Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, dan Iran, kita juga masih lebih baik dibandingkan dengan Turki dan Cina, bahkan ranking kita juga masih lebih baik ketimbang negara tetangga, seperti Thailand, Vietnam, dan Singapura.

Adapun terkait dengan pajak, rasio pajak Indonesia pada tahun 2023 yang masih di angka 10,21% terbilang masih rendah jika dibandingkan dengan Denmark yang sudah mencapai 44,10% atau Australia di angka 34,90%, bahkan dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Thailand, Vietnam dan Malaysia, rasio pajak kita pun ternyata masih lebih rendah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun