Mohon tunggu...
Admin Eviyanti
Admin Eviyanti Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga, Pendidik Generasi dan Pegiat Literasi

aktivitas sebagai ibu rumah tangga, pendidik generasi dan pegiat literasi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Reformulasi Anggaran Pendidikan, Solusi atau Masalah Baru?

4 Oktober 2024   14:19 Diperbarui: 4 Oktober 2024   14:22 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Shabrina Nibrasalhuda
Aktivis Muslimah

Sejumlah ekonom menilai bahwa rencana reformulasi anggaran pendidikan dalam APBN, yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR, tidak tepat. Saat ini, anggaran pendidikan dihitung berdasarkan belanja negara, namun ada wacana untuk mengubah hal ini. Mandatory spending adalah pengeluaran yang diatur oleh undang-undang untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi antar-daerah. Sejak 2009, pemerintah wajib mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan.

Mantan Mendikbud Mohammad Nuh menyoroti bahwa sebagian besar anggaran pendidikan 2024 dialokasikan untuk dana desa. Pemerintah merencanakan Rp665,02 triliun atau 20% dari total APBN untuk pendidikan, di mana 52% atau sekitar Rp346 triliun dialokasikan untuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Mendikbud Ristek Nadiem Makarim juga melaporkan bahwa hingga 23 November 2023, penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100% dari target, diberikan kepada 18.109.119 penerima. Untuk 2024, dana pendidikan diproyeksikan sebesar Rp665 triliun, dengan Kemendikbud Ristek mengelola Rp98,9 triliun untuk program wajib belajar dan bantuan pendidikan guna mendukung transformasi ekonomi inklusif.

Dana PIP pada 2024 mencakup jenjang SD-SMA/SMK dan KIP Kuliah yang ditargetkan untuk 985.577 mahasiswa dengan anggaran Rp13,9 triliun. Program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) dialokasikan Rp107 juta untuk 3.943 siswa, sementara Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) dialokasikan Rp7,7 miliar untuk 9.276 mahasiswa.

Nadiem mengklaim bahwa Program Indonesia Pintar (PIP) bertujuan meningkatkan kesetaraan akses dan kualitas pendidikan, dengan memberikan bantuan kepada siswa untuk mendukung kebutuhan mereka di sekolah. Harapannya, program ini memungkinkan semua anak Indonesia merasakan manfaat pendidikan yang merata. Namun, siswa diharapkan dapat menggunakan bantuan PIP dengan bijak.

Meski begitu, jika dilihat dari jumlah bantuan yang diberikan, nominalnya tidak sebanding dengan kebutuhan siswa. Sebagai contoh, bantuan PIP untuk siswa SD sebesar Rp450.000 per tahun hanya bernilai sekitar Rp37.500 per bulan, yang hanya cukup untuk membeli satu pak buku tulis. Padahal, kebutuhan sekolah lebih dari sekadar itu.

Masalah dalam pendanaan pendidikan tidak berhenti disitu. Ironisnya, meskipun anggaran pendidikan terus meningkat, angka putus sekolah justru meningkat. Data dari Kemendikbud Ristek menunjukkan bahwa selama tahun ajaran 2022/2023, anak yang putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, di SMP 13.716 orang, di SMA 10.091 orang, dan di SMK 12.404 orang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 76% keluarga menyatakan bahwa alasan utama anak mereka putus sekolah adalah faktor ekonomi. Dari jumlah tersebut, 67% tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara 8,7% harus bekerja untuk membantu keluarga. Kemiskinan sering kali memaksa anak-anak untuk meninggalkan sekolah demi membantu orang tua mencari nafkah, dengan angka putus sekolah lebih tinggi di kalangan siswa laki-laki dibandingkan perempuan.

Selain kemiskinan, inflasi juga memperburuk situasi. BPS melaporkan bahwa garis kemiskinan pada September 2022 meningkat menjadi Rp535.547 per kapita per bulan. Artinya, mereka yang berpenghasilan kurang dari itu dianggap miskin. Jumlah penduduk miskin mencapai 26,36 juta orang pada September 2022, naik 0,20 juta orang dibandingkan periode sebelumnya, salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Melihat semua ini, tujuan PIP untuk meningkatkan kualitas pendidikan tampak sulit tercapai. Walaupun pemerintah bangga dengan serapan 100% dana PIP, nominal yang rendah serta peningkatan angka putus sekolah dan kemiskinan menunjukkan bahwa bantuan ini tidak memadai. PIP hanya menjadi "hiasan" yang tidak benar-benar menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia, dengan kualitas pendidikan yang tetap tertinggal dan nasib peserta didik yang masih belum membaik.

Semua fakta ini membuktikan bahwa negara tidak mengetahui akar masalah pada pendidikan rakyat. Karena, kebijakan terkait pendidikan rakyat terus berubah demi memenuhi program ambisius penguasa. Tata kelola pendidikan ini pun dikendalikan oleh sistem rusak, yakni Sistem Sekuler-Kapitalisme. Sistem yang menyandarkan segala bentuk kebijakannya hanya pada manfaat dan keuntungan materi.

Lagi-lagi, penguasa selalu menjadikan kewenangannya sebagai senjata untuk mewujudkan program ambisinya. Tanpa memandang dampak yang dilahirkan dari kebijakan tersebut. Kepentingan rakyat terlalu sering dilalaikan. Karena dalam sistem ini rakyat tidak diposisikan sebagai prioritas yang harus dijaga. Wajar saja, kebijakan yang ada pun tidak pernah diorientasikan untuk memenuhi kepentingan rakyat.

Jelaslah, sistem sekuler-kapitalisme ini sama sekali tidak mampu mengurusi rakyat. Kebijakannya yang menzalimi rakyat telah cukup mengkategorikan sistem rusak ini sebagai sistem yang tidak manusiawi mengurusi manusia.

Berbeda halnya dalam Islam, negara memiliki tanggungjawab penuh untuk menyelenggarakan pendidikan, tanpa menyerahkan kewajiban ini kepada pihak swasta atau masyarakat. Negara wajib memastikan bahwa tujuan pendidikan tetap sejalan dengan syariat Islam. Visi dan misi pendidikan tidak boleh dipengaruhi oleh intervensi dari pihak mana pun, sehingga pendidikan Islam mampu menghasilkan pelajar dengan kepribadian Islami yang siap menjadi pemimpin dan menyelesaikan masalah umat berdasarkan hukum Islam.

Dari sistem pendidikan Islam, lahir para ilmuwan dan ulama yang memiliki kemampuan serta strategi jangka pendek dan panjang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka juga dipersiapkan untuk mengelola berbagai urusan umat sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Meskipun penyelenggaraan pendidikan memerlukan biaya yang besar, Islam menawarkan sistem pembiayaan yang sesuai dengan syariat, yaitu melalui anggaran mutlak yang dikelola oleh Baitulmal. Negara wajib mengalokasikan anggaran sebesar apapun yang diperlukan, selama itu untuk kepentingan publik.

Oleh karena itu, penting untuk mengembalikan peran negara sebagai pelaksana utama urusan rakyat, termasuk menyediakan kesempatan belajar bagi setiap warga negara. Negara harus menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, terjangkau, namun tetap berkualitas, sambil menjaga visi dan misi pendidikan yang benar. Hal ini hanya bisa diwujudkan apabila negara menerapkan sistem Islam sesuai dengan metode kenabian.

Sumber:

https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4gl14q3dj2o

https://ekonomi.bisnis.com/read/20240906/9/1797236/ekonom-kritik-rencana-tafsir-ulang-anggaran-pendidikan-dari-apbn

https://emedia.dpr.go.id/2024/08/31/pemerintah-harus-reformulasi-ulang-kebijakan-mandatory-spending-anggaran-pendidikan/

https://koran.tempo.co/read/editorial/489860/anggaran-pendidikan-apbn-2025-dipangkas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun