Mohon tunggu...
Adli hazmi fozasa
Adli hazmi fozasa Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi 'Balance of Power' Untuk Menjaga Kedaulatan Indonesia di Konflik Laut Cina Selatan

24 Mei 2024   10:29 Diperbarui: 24 Mei 2024   10:29 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara/DISPEN KOARMADA I 

Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) menjadi ancaman signifikan terhadap kedaulatan Indonesia dan stabilitas kawasan Asia Tenggara. Tiongkok mengklaim hampir seluruh wilayah LCS berdasarkan garis Nine-Dash Line atau garis imaginer putus- putus yang merujuk pada sejarah Dinasti Han hingga Dinasti Qing. Klaim ini tidak hanya berdampak pada Indonesia, tetapi juga mengancam kedaulatan negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam.

Klaim Tiongkok atas wilayah Indonesia di perairan Natuna Utara sebagai bagian dari Laut Cina Selatan telah menimbulkan kontroversi. Tiongkok menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari teritorialnya, sedangkan laut Natuna Utara adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia yang diakui oleh hukum internasional, khususnya oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Konflik ini menimbulkan ketegangan diplomatik dan menjadi tantangan serius bagi upaya menjaga kedaulatan dan integritas teritorial Indonesia.

Kehadiran Tiongkok di Laut Cina Selatan tidak hanya berdampak pada kedaulatan, tetapi juga pada ekonomi dan keamanan Indonesia. Laut ini merupakan jalur pelayaran utama bagi perdagangan internasional, termasuk Indonesia. Setiap gangguan di wilayah ini dapat mengancam kelancaran perdagangan dan ekonomi Indonesia.

Selain itu, sumber daya alam di wilayah ini, terutama ikan dan potensi cadangan energi bawah laut, merupakan aset penting bagi Indonesia. Kehadiran kapal-kapal penangkap ikan ilegal dari Tiongkok tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem laut.

Dalam beberapa kesempatan, Tiongkok melakukan provokasi dengan adanya kapal-kapal perang yang wira-wiri di perairan Natuna Utara sehingga nelayan Indonesia ketakutan.

Mendefinsikan Konsep Kedaulatan Negara

Konsep kedaulatan dari banyak pemikir menyatu pada gagasan bahwa negara mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pihak luar.  Konsepsi kedaultan dalam teori-teori klasik dan Perjanjian Westphalia 1648 merujuk pada pengakuan kedaulatan atas wilayah dan otoritas untuk melindungi negara dari ancaman dan intervensi pihak luar. Dalam hal ini, perairan Indonesia di Natuna Utara merupakan wilayah kedaulatan Indonesia dan harus dilindungi dari adanya intervensi Tiongkok dalam bentuk apapun.

Menjaga kedaulatan dari ancaman pihak asing membutuhkan kekuatan atau 'power'. Pada periode perang Dunia I hingga Perang Dingin, cendekia realis seperti Morgenthau dan Machiavelli memiliki pandangan bahwa 'power' atau kekuatan adalah segalanya dan negara merupakan aktor utama dalam politik internasional. Dalam konflik LCS, Indonesia, sebagai aktor utama memiliki peran penting untuk menjaga wilayahnya dengan meningkatkan kekuatannya dan bersiap berperang jika konflik ini meningkat menjadi konflik bersenjata

Paradoks Hukum Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan

Sumber: Pax et Bellum
Sumber: Pax et Bellum

Hukum internasional menjadi landasan judusial yang penting dalam mempertahankan kedaulatan. Konvensi hukum laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) mengatur mengenai batas batas laut dan kedaulatan yang tidak boleh dilanggar oleh negara anggota PBB. Namun begitu, dalam kasus ini, implementasi Hukum Laut tidak semerta-merta berhasil.

Kasus Filipina menjadi sebuah pelajaran penting bagi Indonesia. Tiongkok telah melakukan sejumlah tindakan agresif di wilayah Filipina, yakni di Kepulauan Spratly dan Scarborough. Bahkan, pada tahun 2014, Tiongkok membangun pulau buatan di Kawasan Kepulauan Spratly dengan dalih klaim LCS. Filipina yang merasa kedaulatannya  terancam mengajukan gugatan di pengadilan internasional dan berhasil memenangkan kasus tersebut di tahun 2016 dengan UNCLOS sebagai landasan hukumnya. Namun, Tiongkok menolak putusan tersebut dan masih melakukan serangkaian agresi  di perairan Filipina, termasuk adanya kapal laut Tiongkok yang mengusir nelayan Filipina di Kepulauan Spratly.  

Tiongkok telah melanggar hukum laut internasional dengan berlayar di perairan Filipina dan melakukan intevensi di wilayah tersebut. Alhasil, illegal fishing terjadi secara marak dan nelayan Filipina tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan wilayah aktivitas nelayan di daerah tersebut.  Meski begitu, pemerintah Filipina tidak juga melakukan tindakan tegas untuk mempertahankan kedaulatannya di Kepulauan Spratly, dan Scarborough.

Dalam kasus ini, bisa dilihat bahwa adanya hukum internasional tidak semerta-merta mampu melindungi kedaulatan sebuah negara. Mengambil sebuah gagasan dari pandangan realis, power atau kekuatan sebuah negara memiliki dampak langsung terhadap kedaulatan. Indonesia seharusnya menguatkan militernya untuk mempertahankan kedaulatan laut Indonesia

Konflik  LCS kian memanas, dan berpotensi  menjadi konflik bersenjata(arms conflict). Jika hal ini terjadi, Indonesia perlu waspada dengan berbedaan kekuatan militer Indonesia dan Tiongkok. Di tahun 2024, Tiongkok memiliki anggaran militer sebesar Rp3.325,1 triliun, sedangkan Indonesia hanya memiliki Rp135,4 triliun. Kesenjangan anggaran militer menunjukkan bahwa jika terjadi konflik bersenjata langsung dengan Tiongkok, Indonesia kemungkinan besar akan kalah. Hal ini belum ditambah dengan ranking militer Tiongkok di dunia, kelengkapan persenjataan, Alat Utama Sistem Senjata(Alutsista), dan sekutu strategis.

Strategi Balance of Power

 

Ketika kedaulatan Indonesia telah terancam, negara harus segera melancarkan langkah-langkah strategis demi menjaga keutuhan kedaulatan. Meski  hukum internasional dalam kasus Filipina terlihat tidak memiliki efek yang terlihat(tangible effect) dan Tiongkok tetap melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan laut dengan mengindahkan legal binding dari hukum internasional, Indonesia tetap harus mengutamakan jalan diplomasi untuk meredam konflik.

Dalam hal ini, perundingan di tingkat ASEAN perlu diintensifkan. Tiongkok merupakan anggota dari hubungan kerjasama ASEAN Plus Three sejak tahun 1977. Tidak bisa dipungkiri, penekanan  perundingan berdasarkan UNCLOS atau hukum laut internasional harus sesering mungkin dilakukan untuk mendapatkan penerimaan tanpa penolakan atas daerah teritori LCS.

Dalam usaha diplomasi, Code of Conduct (CoC) dalam konflik LCS harus segera disetujui bersama dengan semua negara yang berkonflik.

Di sisi lain, penguatan kekuatan juga perlu dilakukan mengingat adanya ketimpangan kekuatan militer antara Indonesia dan Tiongkok. Hal ini juga yang membuat adanya security dilemma sehingga Tiongkok masih berani mengemukakan klaimnya meski hukum internasional telah mengemukakan bahwa daerah LCS terbagi dengan wilayah Brunei, Malaysia, Indonesia, dan Vietnam.

Penguatan kekuatan militer Indonesia harus menaikan anggaran militer dan menambah Alutsista terutama di Angkatan Laut. Dalam penguatan Alutsista, Indonesia perlu menambah teknologi acoustic signature dan alat deteksi bawah laut untuk mengetahui aktivitas kapal asing di titik-titik rawan serta choke point.

Tidak hanya itu, strategi Balance of Power juga perlu dilakukan untuk mempersempit kesenjangan kekuatan militer. Indonesia perlu memprakarsai perjanjian keamanan di laut atau security agreement dengan pihak-pihak yang bersengketa dengan Tiongkok seperti Brunei, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Berkaca dari Malaysia yang memiki Five Power Defence Arrangements(FPDA) dengan Britania Raya, Australia, Selandia Baru, dan Singapura sebagai bentuk pertahanan kedaulatan dari ancaman, Indonesia bisa melakukan hal serupat.

Dalam politik internasional, sebuah perjanjian sangat mungkin dilakukan jika adanya kepentingan nasional atau national interest. Pada isu konflik LCS, Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Indonesia  memiliki kepentingan nasional yang sejalur, yakni mempertahankan kedaulatan negara. Sehingga, gagasan membentuk perjanjian keamanan bukanlah hal yang mustahil. Hal ini harus dikemukakan dalam forum-forum diplomasi dan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN.

Penguatan kekuatan militer Indonesia dan strategi balance of power menjadi solusi penting untuk menjaga kedaulatan Indonesia dari agresivitas Tiongkok jika hukum laut internasional gagal menjadi landasan melarang Tiongkok untuk beraktivitas di perairan Indonesia.

Referensi artikel:


Ian Storey(2020). The South China Sea Dispute in 2020-2021. SEAS -- YUSOF ISHAK INSTITUTE. hal 1- 13.

Asyura Salleh et.al. (n.d.). The South China Sea: Realities and Responses in Southeast Asia. Asia  Society Policy Institute. hal 42 - 52

Proshanto K. Mukherjee. et.al (2021). The China-Philippines South China Sea Dispute: A Selective Critique of the PCA Award. Hal. 650-676. DOI: 10.4236/blr.2021.122035

Sofia Kausar(2023). Sovereignty at Sea: The South China Sea Dispute and UNCLOS Implications. International Journal of Law Management and Humanities, Vol.6 issue 4. Hal 2624 - 2665.  DOI: https://doij.org/10.10000/IJLMH.115701

Jens Bartelson(2006). The Concept of Sovereignty Revisited. The European Journal of International Law Vol. 17 no. 2. Hal 463--474. doi: 10.1093/ejil/chl006 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun