Mohon tunggu...
Adlan Pradana
Adlan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Guru Sekolah Kejuruan

Guru Sekolah Kejuruan UGM, Pengamat Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perguruan Tinggi Mencetak Tenaga Kerja Terampil, Seriuskah?

19 November 2018   14:17 Diperbarui: 21 November 2018   12:41 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa waktu lalu, civitas pendidikan tinggi (PT) dibuat terhenyak oleh tulisan Prof Sudaryono yang berjudul "Bunuh Diri Masal Perguruan Tinggi Menuju Pendidikan Asembling" yang dimuat di Kompas 29 Agustus 2017.

Dipicu oleh Google dan Ernst & Young yang akan menggaji siapa pun yang bisa bekerja dengannya tanpa harus memiliki ijazah apa pun, (termasuk ijazah dari PT), Prof Sudaryono menawarkan 2 model dua arus utama; (1) PT yang diselenggarakan atas dasar semangat discovery dan (2) PT yang melahirkan sebanyak-banyaknya tenaga ahli perakit (assembling) yang sangat dibutuhkan oleh industri. Karena membutuhkan kemampuan yang tinggi, namun jumlah kebutuhannya sedikit, PT Discovery (selanjutnya disingkat PTD) dibatasi jumlahnya baik jumlahnya maupun mahasiswanya.

Sedangkan PT Assembling, (selanjutnya disingkat PTA) karena tidak membutuhkan kemampuan setinggi PTD, namun kebutuhannya banyak, dibuka kesempatannya seluas-luasnya. Jika dianalogikan dengan profesi koki dan keahlian memasak, PTD fokus membuat resep baru.

Kokinya tidak perlu terampil, yang penting resepnya baru. Sedang PTA fokus melatih sebanyak-banyaknya koki terampil. Resep masakannya tidak perlu baru, yang penting kokinya bisa memasak dengan terampil. Terampil di sini berarti memasakdengan cepat, dan juga enak. Dunia saat ini tidak perlu tambahan banyak resep masakan baru, namun perlu banyak tambahan koki terampil..

Di Indonesia PTD yang dimaksud Prof. Sudaryono mirip dengan program studi yang ada pada universitas pada umumnya dan PTA mirip dengan Perguruan Tinggi Vokasi (PTV), baik yang diselenggarakan oleh universitas maupun oleh politeknik. 

Model PT dengan 2 jalur ini sesungguhnya sudah lama diterapkan di negara lain. Sebagai contoh di Jerman, ada 2 jenis pendidikan tinggi; Universitt (university) dan Fachhochschulen (Universities of Applied Sciences). University adalah PT discovery, dan Universities of Applied Sciences adalah PTV. Hal yang sama juga terjadi di negara Austria dan Swis.

Masih menilik definisi Prof Sudaryono, ada 2 kata kunci dari PTA ini; "tenaga ahli (perakit)" dan "dibutuhkan oleh industri". Kombinasi dua kata kunci ini pastilah sangat diidam-idamkan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder). Kalangan industri senang karena kebutuhannya akan tenaga ahli terpenuhi. 

Mahasiswa dan orang tua (juga calon mertua) juga ikut senang, karena jika kemampuannya dibutuhkan oleh industri, kesempatan kerjanya pasti terbuka lebar. Pemerintah juga ikut senang, karena kemungkinan lulusan PTA ini menganggur sangat kecil. Sehingga Produk Domestik Bruto (PDB) nasional akan meningkat pula.

Jika PTA ini terwujud dengan baik, tidak perlu Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa saat ini ada kesenjangan antara kebutuhan industri dengan sumber daya manusia yang tersedia sebagaimana dikutip https://katadata.co.id 20 April 2017 yang lalu. 

Dan tidak perlu Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri menyatakan, Indonesia kekurangan 57 juta tenaga kerja terampil hingga 2030 sebagaimana dikutip https://www.liputan6.com 28 Juni yang lalu. Tidak perlu pula Wakil Ketua DPR Fadli Zon Menggulirkan Hak Angket Perpres Tenaga Kerja Asing (https://nasional.tempo.co, 26 April 2018).

Namun bagaimana dengan respons Dunia Perguruan Tinggi (PT)? Walaupun sudah digaungkan sejak lama, agaknya PT sebagai pelaksana dan Kemenristekdikti sebagai regulator masih gamang dengan tuntutan dari banyak pihak untuk mengambil peran sebagai produsen tenaga kerja terampil ini. Hal ini terbukti dari tidak adanya kriteria penilaian keterserapan lulusan ke dunia kerja. Yang ada adalah kriteria penilaian SDM, Kelembagaan, Penelitian dan Kemahasiswaan.

 Kriteria penilaian SDM mencakup Persentasi dosen berpendidikan S3, Persentase dosen dalam jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar dan Rasio mahasiswa mahasiswa terhadap terhadap dosen. 

Kriteria penilaian kelembagaan mencakup Akreditasi Institusi BAN-PT, Akreditasi program studi BAN-PT, Jumlah program studi terakreditasi internasional, dan Jumlah mahasiswa asing. Kriteria penilaian kemahasiswaan mencakup kinerja kemahasiswaan. 

Terakhir kriteria penilaian Penelitian Pengabdian Masyarakat (PPM) mencakup Kinerja penelitian, Kinerja pengabdian kepada masyarakat, dan Jumlah artikel ilmiah terindeks per jumlah dosen. 

Kriteria penilaian ini sama baik untuk Perguruan Tinggi Non Politeknik dan Perguruan Tinggi Politeknik. Kriteria yang ada sama sekali abai terhadap peran PT sebagai pencetak tenaga kerja ahli. Tidaklah mengherankan jika tidak ada perhatian terhadap peran ini. 

Sudah sesuaikah ilmu yang diberikan di bangku kuliah dengan kebutuhan di dunia kerja, berapa lamakah waktu lulusan menganggur sebelum mendapat pekerjaan pertama, dan lain-lain. Jika peran di tingkat institusi pendidikan tinggi sudah tidak terlihat, apatah lagi di tataran dosen sebagai pelaksana. Dalam hal ini dosen tidak bisa dipersalahkan, karena untuk mengejar kenaikan pangkat yang dinilai adalah produktifitas penelitian, bukan output seberapa terampil mahasiswanya nanti ketika terjun di dunia kerja.

Padahal link and match antara PT dan industri ini sudah diutarakan sendiri tak kurang oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir saat menghadiri Penandatanganan Nota Kesepahaman Hibah Pembangungan Gedung Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro (UNDIP), Gedung Prof. Soedhart SH UNDIP, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (6/10). 

Pada kesempatan itu beliau menyatakan bahwa fokus Kemenristekdikti adalah melakukan revitalisasi politeknik atau pendidikan vokasi, mulai dari kurikulum, penguatan kapasistas dan kapabilitas dosen hingga kompetensi mahasiswa sebagai bentuk peningkatan kualitas pendidikan vokasi kedepannya. Selain mendapatkan ijazah, syarat kelulusan bagi mahasiswa Akademi atau pendidikan tinggi vokasi adalah sertifikat kompetensi. 

Ijazah saja tidak cukup, karena sertifikat kompetensi ini akan menentukan lulusan Akademi pada kemampuan terbaiknya. Jika anak didik berpandangan dirinya akan langsung terjun ke industri nanti, mereka harus dipersiapkan dengan pembelajaran maupun praktik yang sesuai dengan kebutuhan industri. 

Saat mengenyam pendidikan di vokasi, maka praktik harus lebih banyak diajarkan dibandingkan dengan teori. Tujuannya agar mereka siap terjun ke dunia kerja di industri. Yang dibutuhkan memang keterampilan. 

Mereka yang lulus dari vokasi adalah tenaga siap pakai untuk industri. Kurikulum pendidikan vokasi disusun bersama dengan kebutuhan industri sehingga program studi di pendidikan tinggi vokasi harus fleksibel. Selain memiliki keterampilan profesi, mahasiswa juga harus berpikir kreatif dan berinovatif."

Sangat mungkin hal ini disebabkan karena para pengambil kebijakan PT bukanlah dari kalangan industri. Mereka yang selama bertahun-tahun terbiasa dengan pola pikir mengorientasikan kegiatannya untuk dapat meraih "penemuan-penemuan" besar yang berguna bagi perubahan-perubahan kehidupan manusia di masa depan pastilah akan sulit menerima kenyataan bahwa yang dibutuhkan oleh dunia saat ini adalah untuk menjadi produsen sebanyak-banyaknya tenaga ahli perakit yang sangat dibutuhkan oleh industri, sebagaimana definisi Prof. Sudiyono. 

Bagi kalangan awam pergeseran sangat mungkin dipandang sebagai hal yang mudah, bahkan remeh. Hanya bergeser sedikit dari penemu sebagai pelatih ini. Namun bagi kalangan akademisi hal ini tidaklah semudah itu. Berubah dari mentalitas penemu menjadi pelatih dapat dipandang menurunkan ego dan harga diri dari seorang akademisi dari seorang penemu menjadi hanya pelayan kepentingan para industrialis dan kapitalis. Padahal dipandang dari sisi apapun, mencetak mahasiswa menjadi tenaga terampil sama sekali bukan hal yang hina dan nista, sama mulianya bagi kelangsungan peradaban manusia dengan menemukan hal baru.

Melihat penjelasan di atas sudah selayaknya dunia PT mendengar keluhan dari para stakeholder dari kalangan industri yang sulit mencari tenaga kerja, dari kalangan lulusan yang sulit mencari pekerjaan, dan dari pemerintah yang menghadapi masalah pengangguran. Atau mungkin dunia PT sengaja menunggu praktek Google dan Ernest & Young yang menerima karyawan tanpa ijazah dapat diikuti oleh perusahaan-perusahaan lainnya.

Oleh: Adlan Bagus Pradana (Tenaga Pengajar di TEDI SV UGM)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun