Di sisi lain, ada kalangan yang percaya bahwa selama Xinjiang tetap di bawah kendali Beijing, kebebasan beragama tidak akan pernah terwujud sepenuhnya. Mereka berargumen bahwa perjuangan untuk kemerdekaan, meskipun sulit satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati. Namun, upaya ini menghadapi tantangan besar, tidak hanya dari pemerintah Tiongkok tetapi juga dari komunitas internasional yang cenderung mendukung keutuhan wilayah negara daripada mendukung gerakan separatisme.
Dalam hal ini, mungkin jalan tengah yang lebih realistis adalah memperjuangkan otonomi yang lebih besar bagi wilayah Xinjiang, seperti yang diharapkan oleh beberapa pemimpin Uyghur moderat. Dengan otonomi yang lebih besar, Uyghur mungkin bisa mendapatkan kendali lebih besar atas kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi identitas budaya dan agama mereka, tanpa harus terlibat dalam perjuangan yang lebih luas untuk kemerdekaan penuh.
Memperjuangkan otonomi yang lebih besar untuk wilayah Xinjiang bisa menjadi jalan tengah yang lebih realistis bagi sebagian pemimpin Uyghur moderat. Dengan otonomi yang lebih luas, mereka mungkin bisa mendapatkan kontrol yang lebih besar atas kebijakan lokal, termasuk yang menyangkut pendidikan, kebebasan beragama, serta pelestarian budaya dan bahasa Uyghur. Pendekatan ini menawarkan alternatif yang lebih pragmatis daripada perjuangan untuk kemerdekaan penuh, yang sangat sulit dicapai mengingat kekuatan politik dan militer pemerintah Tiongkok.
Otonomi yang lebih besar memungkinkan masyarakat Uyghur mengatur urusan internal mereka tanpa sepenuhnya terpisah dari Tiongkok, mirip dengan model otonomi yang diberikan kepada wilayah Tibet atau Hong Kong di masa lalu. Dalam skenario ini, pemerintahan lokal di Xinjiang bisa mendapatkan kewenangan untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan tradisi dan keyakinan mereka, termasuk kebijakan tentang praktik keagamaan dan pelestarian bahasa serta budaya Uyghur.
Dengan adanya otonomi, pemerintah pusat Tiongkok tetap memegang kontrol atas keamanan dan kebijakan luar negeri, sementara pemerintah daerah Xinjiang bisa mengelola urusan-urusan domestik, termasuk pendidikan agama dan penggunaan bahasa Uyghur di sekolah-sekolah. Hal ini berpotensi menurunkan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat Uyghur, serta mengurangi represi terhadap identitas agama dan budaya mereka.
Namun, tantangan dari pendekatan ini tetap besar. Kebijakan pemerintah Tiongkok yang semakin ketat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Beijing tampaknya tidak bersedia memberikan otonomi yang signifikan kepada wilayah yang dianggap strategis secara ekonomi dan politik. Selain itu, pemerintah pusat mungkin khawatir bahwa memberikan otonomi lebih luas kepada Xinjiang bisa mendorong gerakan separatis di wilayah lainnya.
Meskipun demikian, jika ada ruang untuk dialog dan kompromi, otonomi yang lebih besar dapat menjadi solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak memungkinkan Uyghur untuk melestarikan identitas mereka sambil tetap berada dalam kerangka negara Tiongkok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H