Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyemai Harapan di Sarmi; Catatan Perjalanan ke Distrik Bonggo Timur, Kabupaten Sarmi, Papua

7 Juni 2017   11:30 Diperbarui: 7 Juni 2017   14:23 1785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 3. Rumah transmigran asal Toraja yang berada di akses jalan utama Jayapura-Sarmi (Dokumentasi Penulis, Juni 2017)

Tidak berbeda dengan ketersediaan tenaga dokter, proporsi desa dengan kecukupan tenaga bidan per jumlah penduduk juga masih jauh di bawah angka provinsi dan nasional. Kabupaten Sarmi memiliki proporsi bidan sebesar 0,28, sementara Provinsi Papua memiliki proporsi 0,50, dan secara nasional proporsi bidan mencapai angka 1,49. Angka proporsi desa dengan kecukupan tenaga bidan per jumlah penduduk dihitung dengan menggunakan standar kecukupan jika dalam 1 desa memiliki minimal 1 bidan per 1.000 penduduk (Kemenkes, 2010).

Dalam IPKM 2013, Kabupaten Sarmi justru memiliki catatan cakupan yang cukup bagus dibanding rata-rata provinsi maupun nasional, dalam status gizi balita misalnya. Kabupaten Sarmi memiliki cakupan balita stunting (pendek dan sangat pendek) 29,30%. Angka ini jauh lebih kecil dibanding rata-rata Provinsi Papua yang mencapai 40,08%, maupun rata-rata nasional yang berada pada kisaran 37,21%. Demikian pula dalam catatan cakupan balita gizi buruk-kurang (underweight), Kabupaten Sarmi memiliki cakupan sekitar 11,81%, jauh lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Papua yang berada pada kisaran 21,88%, dan rata-rata nasional sebesar 19,63%.

Fenomena ini bisa dimaklumi mengingat Kabupaten Sarmi memiliki letak geografis yang berada di sepanjang pantai Utara Papua yang tentu saja melimpah dengan sumber protein hewani andalan bu Susi Pudjiastuti, ikan laut. Meski tentu saja kita tidak bisa menafikkan local wisdom masyarakat Sarmi dalam hal pola makan dan kebiasaan konsumsinya. Karena saya justru menemui realitas yang berbeda pada wilayah dengan tipikal geografis yang sama di Kabupaten Probolinggo. Di Probolinggo justru cakupan balita stunting melebihi jumlah rata-rata provinsi maupun nasional.

Meski secara umum status gizi balita di Kabupaten Sarmi lebih baik dibanding rata-rata provinsi maupun nasional, tetapi tetap perlu diwaspadai kondisi lain yang biasa terjadi di wilayah perkotaan, overweight (kegemukan). Prevalensi balita gemuk di Kabupaten Sarmi justru jauh lebih tinggi dari angka provinsi maupun nasional. Kabupaten Sarmi memiliki cakupan prevalensi balita gemuk mencapai 21,34%. Angka ini jauh di atas angka rata-rata Provinsi Papua yang mencapai angka 14,98%, dan angka rata-rata nasional sebesar 11,76%.

Wilayah Transmigrasi SP 4

Menurut Kepala Kampung setempat, wilayah Bonggo Timur yang menjadi lokasi survei kami ini adalah daerah transmigrasi. "Saya datang ke sini sejak tahun 1996 pak. Itu di sini di wilayah SP 1, urut SP 2, 3, 4... sampai 8 di sebelah sana." Lebih lanjut kepala kampung asli Sunda tersebut menjelaskan bahwa wilayah yang menjadi sasaran survei ada di SP 4.

Di SP 4 hampir secara keseluruhan adalah para pendatang. "Saya sendiri dari Serang pak. Itu ada tetangga dari Jawa, NTB, Kupang... macem-macem lah pak di sini...," terang Bu Rusdi, istri Ketua RT setempat yang asli Serang, Jawa Barat.

Gambar 3. Rumah transmigran asal Toraja yang berada di akses jalan utama Jayapura-Sarmi (Dokumentasi Penulis, Juni 2017)
Gambar 3. Rumah transmigran asal Toraja yang berada di akses jalan utama Jayapura-Sarmi (Dokumentasi Penulis, Juni 2017)
Di sepanjang jalan di wilayah ini menampakkan kehidupan para transmigran yang cukup berhasil. Jajaran bangunan rumah yang cukup luas, beberapa disertai dengan toko kelontong di depan rumahnya, beberapa lainnya dengan mobil di garasi sebelah rumah. "Ini yang ada di sini ini yang bertahan pak, yang lainnya sudah pulang, yang ada di sini yang berani hidup susah dulunya...," klaim bu Rusdi. Tidak semua transmigran mampu bertahan, ada yang tidak kuasa dengan kerasnya hidup di wilayah yang baru dibuka dan memilih untuk pulang. Mereka yang tersisa di lokasi trans adalah yang survive dan terbukti berhasil. Bekal dari pemerintah untuk hidup setahun pertama berupa beras, minyak, ikan asin, sabun, dan garam, tidak membuat mereka mampu bertahan. Lahan seluas satu hektar yang dibagikan saat pertama tidak membuat mereka untuk bisa bersabar sedikit lebih lama.

Cerita kerasnya hidup yang harus dijalani di daerah bukaan transmigran baru cukup membuat trenyuh,

"Dulu kita datang diundi rumah itu sore pak. Kita cari itu jatah rumah malam-malam, ga keliatan apa-apa, kan masih hutan. Jadi kami lempar batu. Kan atapnya dari seng, kalau terdengar 'klontang' gitu... baru kami lihat nomor rumahnya, jatah kami atau bukan? Kalau bukan, kami lempar batu lagi, begitu terus sampai ketemu..."

"Dulu itu jalan ini (akses utama) belum ada pak. Kita masing-masing bikin jalan untuk nyampe depan rumah..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun