Kemarin, 20 Juli 2016, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menutup penerimaan peserta baru Nusantara Sehat periode ke-dua pada tahun 2016. Dibutuhkan tenaga kesehatan dari beragam profesi yang akan ditempatkan di 92 lokus Puskesmas di seluruh Indonesia. Penempatan Nusantara Sehat periode ke-dua ini menyusul 194 orang tenaga kesehatan yang telah ditempatkan pada periode pertama tahun 2016 bulan Juni lalu.
Tahun sebelumnya, tahun 2015, Kementerian Kesehatan telah memberangkatkan setidaknya 694 orang tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan sejumlah tersebut ditempatkan di 120 lokus Puskesmas pada 48 kabupaten/kota di 15 provinsi di seluruh Indonesia.
Pendekatan penempatan Nusantara Sehat yang berbasis tim (team based) dirasakan cukup membuat tim ini mumpuni di lapangan. Ada sekitar lima sampai sembilan jenis tenaga kesehatan yang terlibat, yang diharapkan mampu menangani masalah kesehatan dalam tiga ranah, yaitu secara preventif, promotif dan kuratif.
Arah Kebijakan Pemerintah Jokowi
Dalam pemerintahan Jokowi, dengan visi nawa citanya selalu menggarisbawahi pembangunan yang ditekankan untuk dilakukan dari pinggiran. Pengarusutamaan pembangunan melalui wilayah pinggiran menuju ke wilayah tengah ini patut diapresiasi, tak terkecuali untuk bidang kesehatan. Pemerintah Jokowi ingin negara hadir pada setiap jengkal tanah di Indonesia, di pelosok atau di perbatasan sekalipun.
Bagaimana dengan Nusantara Sehat? Penempatan tenaga kesehatan berbasis tim ini ditempatkan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), dan juga wilayah Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Tentu saja kebijakan Nusantara Sehat dengan penempatan yang demikian sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat, membangun dari pinggiran.
Disparitas atau kesenjangan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan memang hal yang benar-benar menjadi masalah di Indonesia. Penelitian terbaru yang dilakukan Laksono, dkk (2016) menemukan fakta bahwa kesenjangan itu terjadi pada hampir semua aspek. Kesenjangan aksesibilitas pelayanan kesehatan terjadi antara wilayah kabupaten dengan wilayah kota. Kesenjangan juga terjadi antara wilayah miskin dan non miskin.
Kesenjangan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ini setidaknya terjadi pada indikator supply (jumlah fasilitas pelayanan kesehatan dan rasio tenaga kesehatan), indikator barrier (waktu tempuh, biaya transportasi dan kepemilikan asuransi), serta indikator demand (cakupan pelayanan rawat jalan dan rawat inap).
Satu-satunya sub indikator yang tidak ditemukan kesenjangan adalah indikator supply antara wilayah kategori miskin dan non miskin. Sementara antara wilayah kabupaten dan kota masih terdeteksi adanya kesenjangan.
Kebijakan Pemadam Kebakaran
Tidak ada yang salah dengan nawa cita kebijakan membangun dari pinggiran. Justru kebijakan ini sudah sangat ditunggu mereka yang sudah terlalu lama merasa dianaktirikan. Hanya saja kebijakan populis semacam Nusantara Sehat lebih terlihat sebagai kebijakan ‘pemadam kebakaran’. Hanya mengatasi masalah disparitas aksesibilitas pelayanan kesehatan di wilayah pinggiran dalam jangka pendek. Diperlukan kebijakan lain yang menjamin sistem pelayanan kesehatan.
Kebijakan semacam Nusantara Sehat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan selaku pemerintah pusat ini memang diyakini bisa meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Tetapi tetap perlu dipikirkan kebijakan lain yang berdampak jangka panjang. Perlu dipikirkan bagaimana sistem pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh pemerintah daerah, sesuai dengan cita-cita otonomi daerah, bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
Kebijakan Nusantara Sehat tetap perlu diapresiasi, sebagai sebuah langkah tepat secara cepat untuk mengatasi adanya disparitas akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pemerintah pusat perlu memikirkan kembali kebijakan selanjutnya, agar apa yang telah dicapai oleh Nusantara Sehat bisa diteruskan, tidak hanya baik dan berhenti pada saat kebijakan Nusantara Sehat telah selesai.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Cita-cita otonomi daerah adalah penguatan pemerintah daerah sebagai perwakilan pemerintah di setiap wilayah. Penguatan sistem pelayanan kesehatan di daerah bisa dilakukan dengan pemberdayaan tenaga kesehatan lokal yang ada di daerah.
Jokowi sebagai puncak policy makermemang tidak suka, dan anti dengan kata pemberdayaan. Solusi langkah ‘pemberdayaan’ terdengar sangat absurd di telinga Jokowi, untuk itu kita perlu membuat turunan kalimat menjadi kata-kata yang lebih operasional. Misalnya, pemerintah pusat perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong pemerintah daerah untuk dapat memfasilitasi putra daerah untuk menempuh jenjang pendidikan kesehatan.
Selain itu, pemerintah pusat harus mampu ‘memaksa’ pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran lebih banyak lagi untuk bidang kesehatan hingga mencapai sepuluh persen. Angka sepuluh persen ini di luar anggaran gaji, sesuai dengan amanat Undang-undang nomor 36 tentang Kesehatan.
Selanjutnya, apabila banyak pemerintah daerah dirasa sudah berdaya, pemerintah pusat bertindak selaku penyeimbang. Pemerintah pusat bertindak dengan membantu wilayah-wilayah yang pemerintah daerahnya masih dirasakan lemah. (adl).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H