Benjina, 16 September 2012
Perjalanan kali ini kami berkesempatan menembus lebih jauh di wilayah Kabupaten Kepulauan Aru. Puskesmas Benjina, salah satu puskesmas dengan jangkauan ‘termudah’ di wilayah ini, menjadi target sasaran. Perjalanan menuju lokasi Puskesmas Benjina bisa ditempuh dengan perahu bermotor reguler dengan perjalanan sekitar 3-4 jam dari ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, Dobo. Perjalanan yang cukup ‘mudah’ untuk wilayah kabupaten kepulauan yang memiliki 547 pulau ini.
Perjalanan kali ini dalam rangka evaluasi pelaksanaan Jampersal di wilayah ini. Pada kesempatan ini kami berangkat berdelapan. Tiga orang dari Pusat Humaniora, seorang dosen Poltekkes Mataram, dua orang dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, serta dua orang driver speedboat milik Dinas Kesehatan yang kami pinjam. Pada saatnya nanti di wilayah Puskesmas Benjina kami ditemani lagi oleh dua orang enumerator yang berasal dari perawat Puskesmas Benjina sendiri.
Puskesmas Benjina terletak di Desa Benjina, Kecamatan Aru Tengah, yang berada di pesisir sebelah barat Pulau Kobroor. Dalam kecamatan yang sama sebenarnya ada 4 Puskesmas yang beroperasi untuk sekitar 24 desa yang ada di wilayah ini, sedang Puskesmas Benjina sendiri bertanggung jawab atas 11 desa, dengan bentangan wilayah yang cukup luas.
Pertama kali merapat di daratan Benjina, kami disambut oleh ‘mbak-mbak’ yang sedang bergerombol menunggu ‘suami’nya bertandang. Kesan awal yang kurang manis, dan benar-benar menjadi kurang manis pada saat semua cerita terkuak pada akhirnya. Tapi kali ini kita simpan sebentar catatan kurang manis itu.
JAMPERSAL DAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN
Kunjungan pertama adalah kulonuwun ke Puskesmas Benjina sekaligus untuk assessmentdengan seluruh bidan yang melayani Jampersal di wilayah ini. Di Puskesmas Benjina terdapat tenaga bidan sebanyak lima orang, yang entah mengapa semuanya ditugaskan berkumpul di Puskesmas Induk Benjina saja. Sama sekali tidak ada ‘bidan desa’ di wilayah ini? Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan salah satu Kepala Dusun, Dusun Papakula Kecil, terungkap bahwa di desanya tidak ada tenaga bidan sama sekali, yang ada adalah 4 orang tenaga dukun bayi.
Puskesmas Benjina dikepalai oleh seorang dokter, yang merupakan seorang dokter lulusan pertama yang asli daerah, yang rumahnya saat ini berada di Makassar. Saat ini beliau sudah dipindahkan sebagai kepala bidang di Rumah Sakit Kabupaten di DOBO, jadi secara otomatis lebih sering di Dobo dan Makassar daripada di Benjina.
Selanjutnya kami banyak melakukan penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas yang menggunakan fasilitas Jampersal. Dalam pelaksanaan penelusuran kami percayakan pada petugas dari Dinas Kesehatan serta petugas dari Puskesmas Benjina. Pada wilayah Rumah Kayu Indonesia atau biasa disingkat RKI, kawasan berpenduduk paling ramai, kami menemukan fakta sekitar 15 dari 30 nama yang tertera di kohort Puskesmas tidak ada sama sekali di wilayah dimaksud. Tidak validnya data kohort untuk klaim Jampersal ini menyebabkan kami melakukan penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas secara langsung ke masyarakat dengan tidak bergantung lagi secara penuh pada kohort Puskesmas.
Dalam sebuah kesempatan diskusi yang melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama, yang dihadiri oleh pendeta, kepala desa, kepala dusun, kader, dukun bayi, tokoh wanita serta seorang tokoh pemuda, mereka mengaku sama sekali tidak tahu menahu tentang Jaminan Persalinan atau yang lebih populer disingkat dengan Jampersal. Mereka bengongdan terdiam seribu bahasa ketika ditanyakan tentang apa itu Jampersal? Dalam kesempatan lain Kepala Puskesmas mengaku menyelenggarakan pertemuan lintas sektor secara rutin tiga kali sebulan dengan mempergunakan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).