Tulisan ini merupakan nukilan kecil bab dari buku seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang saya susun bersama 3 teman. Riset dilakukan pada Etnik Muyu di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel. Tim peneliti merupakan gabungan antara peneliti kesehatan dan peneliti sosial. Tim peneliti tinggal menetap berbaur dengan masyarakat setempat selama dua bulan penuh.
***
Menelisik apa yang dirasakan para pelaku tradisi, baik perempuan sebagai seorang istri yang berperan sebagai subyek utama, ataupun seorang laki-laki sebagai suami dan juga orang tua serta keluarga sebagai subyek pendukung, serta pandangan para tokoh masyarakat dan masyarakat Muyu itu sendiri, terasa sangat menarik. Apalagi bila kita menelisik lebih dalam relasi yang terjadi antar mereka, antara laki-laki dan perempuan di antara para pelaku tersebut.
Tabrakan antara nilai kekinian dan nilai tradisi yang coba dipelihara oleh orang-orang Muyu, terasa tumpah tindih melatarbelakangi setiap sikap dan perilaku yang diwujudkan dalam tindakan pada masyarakat Etnik Muyu saat mereka menjalankan tradisinya. Pergulatan batin yang timbul antara pilihan menjalankan atau tidak, tradisi yang sangat terasa dominasi superioritas dunia laki-laki Muyu. Superioritas yang tidak hanya dirasakan inferior bagi pihak perempuan Muyu, tapi juga dirasakan sangat mengekang bagi beberapa pihak laki-laki Muyu lainnya.
Tana Barambon Ambip
Menurut Phillips Leonard Bonggo (64 tahun), pada saat akan bersalin seorang perempuan Muyu harus keluar dari rumah induk, harus diasingkan. Suaminya akan membuatkan sebuah pondok kecil berjarak 10-20 meter dari rumah induk bila tanah di lingkungan rumahnya tidak rata atau bahkan dekat jurang, dan jarak ini semakin jauh, bisa berjarak sampai dengan 50 meter, bila tanah lingkungannya cenderung dataran. Pondok kecil inilah yang dinamai tana barambon ambip.
Tana barambon ambip terdiri dari tiga suku kata dalam Bahasa Muyu yang mempunyai arti; tana=anak; barambon=tempat; ambip=rumah. Secara harfiah diartikan sebagai “rumah tempat untuk melahirkan seorang anak”. Arti yang sederhana dan netral.
Tana barambon ambip ini berukuran cukup kecil, 2 meter x 2 meter, karena memang hanya disediakan untuk ibu yang hendak melahirkan dan bayinya sampai dengan tali pusarnya putus pasca persalinan (Dalam Etnik Jawa putusnya tali pusar ini biasa disebut sebagai pupak puser). Menurut Adolfia Tepu (44 tahun), pondok kecil ini dibuat secara sederhana dengan dinding dan atap dari daun rumbia. Bila di rumah induk tersedia papan, maka bisa saja dinding pondok kecil untuk bersalin ini dibuat dari papan.
Adolfia Tepu menambahkan bahwa pondok yang dibuat khusus untuk persalinan ini diisi kayu bakar dan beberapa bahan makanan untuk keperluan si ibu dan jabang bayi. Pernyataan ini dibenarkan oleh Pamijaya Wangbon (37 tahun);
“…kayu bakar biasanya disediakan untuk mencegah ibu dan bayinya biar tidak kedinginan pak. Sedangkan untuk makanannya tidak mutlak harus ada, karena ada kemungkinan tidak disediakan, tetapi dikirim dari rumah induk oleh saudara perempuan atau ibu dari perempuan yang bersalin…”.
Seringkali tana barambon ambip dibangun langsung di atas tanah, tanpa lantai. Untuk persiapan persalinan, lantai tanah pondok biasanya dilapisi dengan daun pisang, kemudian kain, dan terakhir plastik.
“Beberapa yang lain ada yang dibuatkan lubang khusus untuk bersalin pak. Maksudnya setelah persalinan kan ada banyak kotor-kotor dan darah, nah… setelah selesai lubang yang berisi darah dan kotoran itu bisa langsung ditimbun dengan tanah…”
(Adolfia Tepu, 44 tahun)
Tana barambon ambip yang digambarkan tersebut adalah yang secara umum diketahui, biasa disediakan oleh laki-laki Muyu saat istrinya akan melakukan persalinan. Tapi fakta empiris di lapangan menunjukkan banyak sekali variasi, terutama untuk bahan pembangun tana barambon ambip. Karena seringkali bergantung pada bahan-bahan yang ada, yang saat itu tersedia di sekitar rumah.
Meski sebenarnya tana barambon ambip memiliki makna yang sederhana dan netral, tetapi dalam realitasnya merupakan sebuah rumah pengasingan bagi perempuan-perempuan Etnik Muyu. Pengasingan yang berlaku tidak hanya pada saat bersalin dan beberapa hari saat pasca persalinan saja, tetapi juga pada saat perempuan Etnik Muyu sedang mendapat tamu rutin bulanannya.
Pada saat sedang bersalin dan atau menstruasi, diyakini oleh masyarakat Etnik Muyu bahwa perempuan membawa hawa supernatural yang kurang baik, yang dalam Bahasa Muyu biasa disebut sebagai iptém. Iptém perempuan yang dipercaya sedang membawa hawa “kotor” ini diyakini bisa mengakibatkan hal-hal buruk bagi orang-orang di sekitarnya, terutama bagi kaum laki-laki. Kesaktian laki-laki Etnik Muyu bisa luntur, waruk (mantra-mantra kesaktian) yang dimilikinya bisa melempem, tidak memiliki daya kesaktian lagi.
Dalam catatan Schoorl (1997) bahkan menyebutkan bahwa masyarakat Etnik Muyu juga berkeyakinan bahwa ìptém perempuan yang sedang bersalin atau menstruasi bila berada di sekitar orang yang sedang berjualan, bisa membuat barang dagangan menjadi tidak laku dijual; bila perempuan itu berada di rumah seorang pemburu, maka waruk (kesaktian) berburunya melemah, dan bahkan bisa hilang; bila berada dalam rumah, bisa membuat seluruh isi rumah menjadi jatuh sakit (hosa/sesak nafas, TBC, radang sendi, batuk), dan bahkan bisa menyebabkan kematian.
Dalam sebuah penelitian pada masyarakat Etnik Towe Hitam di Kecamatan Web, Kabupaten Jayapura, Djoht(2003) melaporkan bahwa “kotor”nya darah pada proses persalinan perempuan dipercaya bisa membawa sial bagi laki-laki Towe Hitam;
“Pola melahirkan seperti ini dipraktekkan oleh semua perempuan hamil yang ada di kampung Towe. Ada suatu kepercayaan pada darah perempuan yang dianggap sangat kotor dan bisa membuat kekuatan laki-laki melemah sehingga tidak bisa mencari makan, oleh karena itu perempuan pada saat melahirkan harus diasingkan dari kampung karena darahnya akibat melahirkan bisa membawa sial pada laki-laki. Ketika sang ibu sudah melahirkan dan pulang ke kampung ia dilarang menyentuh barang-barang memasak dan tidak boleh memasak karena ia masih dianggap kotor. Setelah infeksi akibat melahirkan mengering baru ia bisa diijinkan memasak untuk keluarganya.”
Aan Kurniawan, dkk. (2012), dalam sebuah riset etnografi kesehatan mencatat kepercayaan yang sama tentang “kotor"nya perempuan saat mengalami menstruasi atau sedang bersalin, yang berlaku pada masyarakat Etnik Ngalum di Oksibil, ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang. Dalam kepercayaan orang Etnik Ngalum, seorang perempuan yang sedang dalam masa kewanitaannya dipercaya membawa suatu jenis penyakit yang berbahaya bagi anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu, dalam masa-masa itu mereka harus memisahkan diri dari keluarga mereka.
Dalam riset etnografi kesehatan yang dilakukan pada tahun 2012 tersebut masyarakat Etnik Ngalum – yang berbatasan secara langsung dengan Etnik Muyu di sebelah Utara – juga dilaporkan melakukan ritual praktek yang mirip dengan masyarakat Etnik Muyu dalam hal mengasingkan perempuan yang sedang mengalami menstruasi dan/atau mengalami persalinan. Tana barambon ambip versi masyarakat Etnik Ngalum tersebut diberi nama sukam;
“Seorang ibu suku Ngalum yang akan melahirkan tidak diperbolehkan melahirkan anaknya di rumah sendiri. Secara adat ia harus melahirkan anaknya di dalam sebuah rumah khusus yang disebut sukam. Sukam adalah rumah khusus perempuan. Secara khusus rumah ini diperuntukkan bagi kaum perempuan ketika mereka sedang berada dalam masa kewanitaan mereka, seperti pada saat menstruasi dan beberapa hari setelah melahirkan... Rumah khusus ini dibangun tidak jauh dari rumah induk (abip), biasanya hanya beberapa meter jauhnya. Kaum laki-lakilah yang membangun rumah ini. Bentuk bangunannya tidak berbeda jauh dari bentuk rumah utama, hanya ukurannya lebih kecil. Biasanya sebuah sukam berukuran kurang lebih 2X2 meter. Tidak semua keluarga dalam satu rumpun iwol memiliki sukam. Biasanya sebuah sukam dibangun untuk memenuhi kebutuhan sebuah keluarga besar (Kurniawan, dkk., 2012).”
Studi Kasus “Petronela Apai”
Studi kasus pengasingan perempuan Etnik Muyu yang pertama, dilakukan pada proses persalinan yang dialami oleh Petronela Apai. Penulisan secara naratif dimulai dengan perasaan Petronela pada saat menerima berita kehamilan, persalinan, dan sampai dengan tiga hari masa nifas.
Berita Kehamilan; Perasaan Seorang Istri
Di saat mendapati dirinya sering merasa mual-mual dan pusing, Petronela mulai berhitung. Petronela menelisik lebih jauh, kapan dia mendapat menstruasi terakhirnya? Berapa lama dia tidak mendapatkan hal “kotor” itu? “Ahh… apakah aku beruntung bisa mendapatkan anak ketiga?” pikirnya.
Kepastian bisa didapatkannya setelah menyempatkan diri berkunjung ke Puskesmas Mindiptana. Bidan Natalia Tuwok dan Suster Rosa Mianip yang memeriksanya membuat senyum simpulnya terkembang seharian itu. Petronela dinyatakan tengah mengandung, menginjak usia kehamilan bulan ke-tiga. Sungguh keberkahan yang sangat disyukurinya. Anak ke-tiga ini akan melengkapi hidupnya setelah Samorika Yukamoh (9 tahun) dan Engelbertus Yohanes (2 tahun 7 bulan) hadir terlebih dahulu dari rahimnya.
“Tapi…,“ Petronela menghela nafas panjang mengingat hal itu, tradisi pengasingan itu, yang harus dijalaninya. Sungguh sesak dadanya membayangkannya. Kelanjutan kehamilannya enam bulan ke depan, yang harus diakhirinya di pengucilan. Bayangan tana barambon ambip yang sempit dan dingin sungguh membuat kebahagiaan dengan berita kehamilan yang baru diterimanya sekejap hilang. “Haruskah…?” keluhnya.
Sebagai seorang perempuan yang terlahir di tengah Etnik Muyu, Petronela merasa tidak bisa menghindar untuk menjalani persalinan di tana barambon ambip, yang oleh masyarakat di sekitarnya biasa disebut sebagai bévak. Mau tidak mau dia terjebak di dalam adat tradisi yang harus dijalaninya. Tidak ada tawar menawar untuk hal ini.
Petronela merasa lebih nyaman bila dia bisa melahirkan di rumah dibandingkan di bévak, dan bahkan bila dibanding melahirkan di Puskesmas atau rumah sakit sekalipun. Bayangannya pada kesendirian di pondok pengasingan sungguh membuat Petronela merasa tak nyaman, membuatnya merasa disingkirkan. “ahh... seandainya bisa memilih... alangkah nyamannya bisa melahirkan di rumah saja...,” bisik batin Petronela.
Tetapi rumah yang ditinggali Petronela saat ini bukanlah rumahnya. Ini rumah orang tuanya, dimana Petronela dan saudara-saudara dan ipar-iparnya yang lain tinggal bersama-sama. Dia tak punya kuasa apapun atas rumah ini…
Laki-laki Muyu; Sikap Seorang Suami
Eduardus Kimbum (35 tahun), adalah seorang suami yang sangat membanggakan bagi Petronela. Suami yang dirasakan sangat mencintainya dengan sangat. Suami yang mendukungnya dengan penuh, yang telah memberikan dua anak yang sangat manis.
Eduardus yang menikahinya pada tanggal 15 Juli 2013 secara Katolik, meski sudah menikah secara adat sebelumnya, sangat menginginkan agar Petronela dapat melahirkan di rumah saja, tidak perlu harus mengasingkan diri ke bévak. Eduardus sangat ingin bisa menemani istri yang sangat disayanginya pada saat-saat penting itu.
Sebagai suami-istri, dan juga sebagai sebuah keluarga, Eduardus dan Petronela sudah sangat jarang merengkuh kebersamaan. Kalau tidak karena kewajiban untuk segera dapat melunasi hutang tukòn (Tukòn adalah mahar untuk “membeli” perempuan pada Etnik Muyu) yang diminta kakak laki-laki Petronela, Eduardus ingin bisa terus bersama-sama dengan keluarga kecilnya.
Harga sensor (gergaji mesin) yang lima belas juta rupiah sebagai tukòn saat Eduardus mempersunting gadis pujaannya, Petronela Apai, sungguh berat bagi Eduardus Kimbum yang hanya bekerja sebagai buruh tambang pasir di Kali Wet-Tanah Merah, yang membuatnya harus hidup terpisah dengan keluarganya, harus menetap di Tanah Merah. Kalau seandainya kakak iparnya tidak mengancam akan membongkar rumah bantuan pemerintah yang hendak diterimanya, mungkin Eduardus akan mengulur waktu melunasi hutang tukòn tersebut, semata agar bisa lebih sering menemani istrinya, agar bisa lebih lama menikmati kebersamaan, bersama istri dan juga buah hatinya.
Sungguh, bagi Eduardus Kimbun dan Petronela Apai sangat mahal arti sebuah kebersamaan. Kewajibannya sebagai orang Muyu untuk menjalani tradisi, yang mengharuskan Petronela dikucilkan di bévak, membuat dada Eduardus sesak. Lelaki Muyu itu menyadari bahwa dia harus mengikuti tradisi yang sudah digariskan para leluhurnya, tapi sungguh Eduardus merasa kebersamaan bersama istrinya juga sangat penting bagi mereka.
“Tidakkah mereka mengerti kondisi ini?” keluhnya. Tapi tradisi yang hendak dilawannya terlalu kuat. Masyarakat yang mengelilinginya tidak memberinya sedikitpun kelonggaran. Keluarga yang diharapkan bisa mengerti dengan kondisinya pun bersikap setali tiga uang, sama saja, bersikukuh bahwa Petronela Apai harus dikucilkan di bévak.
Keluarga Muyu; Keteguhan pada Tradisi
Sikap yang ditunjukkan ayah dan saudara-saudaranya yang tinggal di rumah panggung turut membuat perasaan Petronela dan Eduardus Kimbum, suaminya, tak menentu. Sebagian besar dari mereka terus mendesak agar Petronela melahirkan di bévak. Keluarga besar Petronela tidak mau menanggung iptém persalinan yang mereka yakini akan memberi dampak buruk pada kesehatannya.
Petronela dapat merasakan rasa sayang dan dukungan adik lelaki satu-satunya, Agustinus Apai (22 tahun), yang sama sekali tidak mau berkomentar soal keharusan pengucilannya saat bersalin nanti ke bévak. Tapi apalah daya, satu suara sama sekali tidak berpengaruh banyak dibanding seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah panggung kayu, tempat dia dan suaminya menumpang. Victor Tenjab (52 tahun; ayah Petronela) dan Poli Apai (36 tahun; kakak laki-laki) sama sekali tidak bergeming. Bertahan dengan sikapnya yang mengharuskan Petronela diasingkan ke bévak saat bersalin nanti.
Sementara Yosefita Apai (29 tahun), adik perempuan satu-satunya, yang diharapkan dapat mendukungnya sebagai sesama perempuan Muyu, untuk sebuah kelonggaran terhadap tradisi yang sudah turun temurun itu, ternyata tak juga bisa membesarkan harapannya. Yosefita seakan sama sekali tidak peduli hal itu. Dia turut bersuara keras agar bévak segera dibangun, agar tidak terlambat didahului sebuah kelahiran, seperti dahulu, saat Petronela melahirkan yang anak yang pertama, Samorika Yukamoh, yang keduluan lahir sebelum bévak sempat didirikan. Theresia Kiripan (26 tahun), perempuan Muyu lainnya yang tinggal di rumah kayu panggung pun bersikap sama saja dengan Yosefita Apai. Kakak ipar Petronela itu turut mendukung suaminya, Poli Apai, untuk mengasingkan Petronela di bévak.
Mau tidak mau pengucilan harus dijalani Petronela. Meski jauh di lubuk hatinya Petronela enggan, sangat enggan! Tradisi harus dijunjung tinggi bila tidak mau dijauhi, adat harus dipegang kuat bila tak ingin dilaknat, dan bahkan bila Petronela terpaksa harus sekarat.
Sebuah ketakutan besar yang memenuhi kepala Petronela bila tradisi pengasingan turun-temurun itu dilanggar, bila Petronela benar-benar harus dihukum, dijauhi keluarganya. Dijauhi masyarakat Petronela masih merasa bisa bertahan. Tapi dijauhi keluarga? Sungguh Petronela tak kuasa membayangkan hal itu. Bagaimana bila dia diusir dari rumah panggung itu? Bagaimana bila dia harus putus hubungan dengan keluarganya? Bagaimana dia harus menjelaskan pada anak-anaknya bila bertanya tentang kakeknya?
Membangun Bévak; Rumah Pengasingan
Saat itu, baru minggu ke-dua memasuki bulan April 2014, usia kehamilan Petronela telah mencapai umur sembilan bulan, sebentar lagi saat-saat menegangkan itu akan segera tiba. Suami Petronela didesak keluarganya untuk segera mempersiapkan diri membuat bévak, gubuk kecil sederhana yang akan menjadi ‘rumah tinggal’nya nanti selama beberapa hari ke depan bersama anak yang akan dilahirkannya.
Petronela pun juga berharap, bévak yang akan segera dibangun suaminya dapat segera selesai. Segera berdiri, sebelum keburu jabang bayi yang dikandungnya lahir ke dunia. Tidak ada alasan apapun bagi Petronela untuk mengharapkan segera terselesaikannya bévak itu, kecuali ketakutan yang sangat besar akan konsekwensi bila Petronela tidak ikut menjalankan tradisi ratusan tahun yang telah mendarah daging di masyarakat Etnik Muyu tersebut.
Eduardus pun bersegera membuat persiapan sederhana. Mengumpulkan daun-daun sagu untuk dikeringkan, mengukur dan memotong sisa papan yang disimpannya di bawah rumah panggung, dan mencari beberapa batang kayu berukuran sedang dan kecil untuk tiang dan kerangka panggung dan atap bévak yang akan dibangunnya nanti. Tak lupa beberapa ruas rotan yang disiapkan untuk tali pengikat daun-daun sagunya nanti.
Eduardus, dengan dibantu Poli Apai, kakak laki-laki Petronela, menjalin satu persatu daun-daun sagu yang telah dikeringkan, yang dipergunakan sebagai dinding, dan juga atap pelindung bévak. Sementara sisa papan yang telah dipotong rapi dipergunakan sebagai dasar lantai panggung bévak. Entah, apakah dinding dan atap dari jalinan daun-daun sagu itu bisa menahan hawa dingin hembusan angin wilayah Pegunungan Tengah?
Pada akhirnya berdirilah bévak itu! Rumah pengasingan yang sangat sederhana. Berukuran tak lebih besar dari 1,5 meter x 1,5 meter. Tidak tersedia fasilitas apapun di dalam bévak. Tidak tempat tidur, tidak meja, ataupun kursi. Bagaimana pula meubelair sederhana seperti itu bisa masuk dalam gubuk se”megah” bévak?
Sebenarnya bévak sederhana itu dibangun berjarak tak lebih dari 15 meter dari rumah kayu utama tempat Petronela dan saudara-saudaranya tinggal. Tetapi kondisi jalan tanahnya yang sangat licin, dan langsung berupa turunan, serta dibangun di tengah tegalan yang sepertinya tidak terurus, sungguh memerlukan perjuangan untuk mencapainya. Apalagi bagi Petronela, perempuan Muyu yang tengah mengandung sembilan bulan. Sembilan bulan!
Siang itu, Kamis, 24 April 2014, Petronela memakan dengan lahab papéda buatan suaminya. Dengan kuah ikan kesukaannya, bubur sagu itu terasa nikmat sekali siang itu. Dengan ditemani Eduardus suaminya, makan siang hari ini terasa sangat sempurna. Tiba-tiba saja Petronela merasakan sakit pada perutnya. Pengalaman Petronela sebagai seorang ibu dengan dua kelahiran sebelumnya membuatnya merasa yakin, bahwa sebentar lagi waktunya akan tiba. Dia harus bergegas!
Menurut perhitungan Bidan Natalia Tuwok dari Puskesmas Mindiptana saat datang memeriksa pagi tadi, seharusnya Petronela baru akan melahirkan sekitar jam dua siang. Sekarang masih kurang satu setengah jam lagi dari perhitungan, tapi rasa-rasanya waktunya sudah dekat.
Dengan memasang tanda salib di tubuhnya, Petronela dilepas suaminya dengan pandangan yang lekat menatap tak berkedip, Petronela berjalan seorang diri, menuruni jalan setapak tanah yang terjal itu, menuju rumah pengasingannya, bévak. Tak lagi sempat memikirkan kesendirian yang hendak dijalaninya, yang ada hanya keinginan untuk segera sampai di bévak. Rasa di perutnya sudah tak tertahankan lagi. Rasanya ingin segera sampai!
Sebentar terpeleset, sebentar berdiri tegak, dan sebentar kemudian tertatih maju, selangkah demi selangkah. Petronela harus menguatkan tekad. Dia harus segera sampai di bévak itu. Ketika baru saja menginjakkan kakinya naik ke panggung bévak, Petronela merasakan anaknya akan segera keluar. Rasanya sudah di ujung. Kepala bayinya telah menyeruak keluar. Tak lagi sempat berbaring, dalam posisi berdiri Petronela memegang kepala bayinya yang menyembul di jalan lahir. Rasanya susah sekali memegang kepala bayinya dengan tangan melewati belakang pahanya. Rasa sakit tak tertahankan tak lagi dihiraukannya, ”Anakku harus terlahir selamat!”
Demi melihat Petronela yang berjuang sendirian, Eduardus berlari, secepat kilat bergegas menghampiri Petronela. Persetan dengan tradisi! Persetan dengan amòp (pamali atau pantangan) yang dalam keyakinan Muyu bisa membuatnya sakit, yang Eduardus tahu istrinya sedang membutuhkannya, istrinya sedang meregang nyawa melahirkan anaknya, darah dagingnya!
Tak membutuhkan waktu lama, jabang bayi merah salah satu penerus generasi Muyu terlahir dengan selamat. Petronela berbaring dengan nafas yang masih terengah. Eduardus mengambil alih bayi merah yang baru saja keluar dari rahim Petronela. Nafas lega mengiringi keduanya, saat-saat genting telah lewat. Jabang bayi yang masih merah itu diletakkan di lantai papan dengan dialasi kain.
Tali pusat telah dipotong Eduardus dengan gunting yang ditemukannya tergeletak begitu saja di rumah, dan lalu mereka terdiam. Saling menatap dalam sepi. Mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tak tahu lagi apa yang seharusnya dilakukan.
Untung saja Bidan Natalia Tuwok segera datang. Rupanya ada yang memberitahu Bidan Natalia bahwa bayi Petronela telah lahir. Meski terlambat, Eduardus dan Petronela tetap saja senang dan bersyukur dengan kehadiran bidan asli Muyu itu. Setidaknya Bidan Natalia Tuwok tahu apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan.
Natalia Tuwok, bidan yang sehari-harinya bertugas di Puskesmas Mindiptana bergegas datang. Tak lebih dari setengah jam, jarak kurang lebih 15 kilometer dilahapnya dengan motor Honda Win ber-plat merah miliknya. Seandainya saja jalanan sepanjang itu masih banyak lubang menganga yang dipenuhi lumpur seperti tahun lalu, tentu saja Bidan Natalia Tuwok perlu waktu lebih lama untuk mencapai rumah Petronela di Wanggatkibi. Bidan putri mantan Camat Woropko ini tinggal di Kampung Mindiptana, di rumah dinas yang bersebelahan dengan Puskesmas Mindiptana.
Tugas selanjutnya untuk bersih-bersih, perawatan bayi serta ibunya, diambil alih oleh Natalia Tuwok. Bidan yang masih saja betah membujang ini merawat bayi Petronela dengan cekatan. Tali pusat yang dipotong Eduardus dipotong kembali dengan rapi. Eduardus hanya membantu menyiapkan air panas saja. Usapan lembut kain yang dicelup dengan air hangat untuk membersihkan bayi Petronela seakan memancarkan kasih sayang dari hati Bidan Natalia Tuwok yang tulus. Petronela merasakan ketulusan itu, mereka terlibat obrolan hangat berjam-jam setelahnya.
Hari itu berhasil dilalui dengan kelegaan. Bayi dan ibunya akhirnya selamat. Kebahagiaan yang dirasakan Petronela seakan menghapus sementara kekhawatiran yang sempat dirasakan sebelumnya. Yaa… hanya sementara.
Menjalani Pengasingan
Kelegaan akan kelahiran bayi dan ibunya dengan selamat masih harus ditahan sebagai sebuah kebahagiaan yang penuh dan sempurna. Beberapa hari ke depan Petronela beserta bayinya harus tetap tinggal di pengasingan.
Malam pertama Petronela tinggal di bévak terasa sangat asing. Ruangannya terasa sempit, bahkan kakinya harus sedikit ditekuk saat berbaring, atau menjulur keluar ke arah pintu bila ingin diluruskan. Petronela merasa dingin sekali malam itu. Anyaman daun pohon sagu yang dibuat suaminya tak sanggup menahan hawa dingin yang menyergap saat malam mulai turun, apalagi pintu bévak terbuka begitu saja tanpa penutup. Yang diingat Petronela hanya bayinya saja. Dia tidak boleh kedinginan. Ditaruhnya tubuh mungil itu di atas badannya, didekatkannya mulut kecil itu di puting susunya, diselimuti dengan kain yang ditinggal suaminya siang tadi, bayi mungil itupun dengan lahap menyedot air susu yang keluar deras dari tetek mamanya. Bayi itu didekapnya penuh kasih sayang.
Malam ini terasa sangat gelap, halimun tipis mulai turun memenuhi tegalan belakang yang lebih mirip hutan. Lentera yang dipasang suaminya sinarnya tak mampu menembus kegelapan malam. Mendung bergayut menutupi pantulan sinar rembulan. “Semoga malam ini tidak turun hujan…,” bisik Petronela dalam harap, sambil merapatkan selimut anaknya. Kekhawatiran Petronela bukannya tanpa alasan. Wilayah Pegunungan Tengah ini adalah salah satu wilayah dengan curah hujan tertinggi di Propinsi Papua. Hampir tiada hari yang terlewatkan tanpa turun buliran air dari langit.
Lamunan Petronela Apai terhenti, saat dengkur halusnya mulai terdengar pelan dan teratur. Perjuangannya menyabung nyawa saat siang tadi cukup membuat tubuh kecilnya kelelahan. Untung saja perempuan Muyu itu kuat. Petronela tidak mau dikalahkan.
Pagi itu Petronela terbangun dengan suara anak gadisnya, Samorika Yukamoh yang datang menyusul ke bévak. “Ahh… kunjungan pagi yang menyenangkan…,” desis Petronela lirih. Bibirnya meengkung, senyumnya mengembang, gadis kecil itu mulai beranjak besar rupanya. Cerewetnya sungguh minta ampun. Tapi kehadirannya sungguh membuat hati Petronela bersinar. Sesekali tertawa tergelak dengan celoteh dan tingkahnya yang lucu.
Pagi itu di bibir Petronela tersungging senyum yang manis sekali saat suaminya datang membawakan panci berisi air panas. Ritual pagi untuk memandikan bayinya terasa sangat menyenangkan bagi Petronela. Apalagi dua buah hatinya, Samorika Yukamoh dan Engelbertus Yohanes, turut bercengkerama, ikutan nimbrung di bévak. Mereka ikut-ikutan repot, atau malah merepotkan? Entahlah... meski bévak yang sempit makin terasa sempit, tapi tak sanggup mengurangi kegembiraan yang dirasakan Petronela saat ini.
Pagi ini suaminya membakar sagu kering untuk akét (semacam kue sagu kering) dan menjerang air untuk segelas teh manis. Suguhan sarapan pagi sederhana khas masyarakat Etnik Muyu. Rasanya nikmat sekali dirasakan oleh Petronela. Kebersamaanlah yang menjadi resep utama kelezatan olahan masakan suaminya. Apalagi tak berhenti sampai di situ saja, siangnya tangan terampil Eduardus memasakkan Petronela menu khusus untuk ibu-ibu menyusui, sayur katuk. Meski hanya dimakan bersama sepiring besar nasi putih tanpa lauk, tetap saja terasa sangat nikmat di lidah Petronela.
Petronela sungguh bersyukur hari ini, tidak ada alasan apapun untuk tidak selalu mengucap rasa syukur pada Sang Penciptanya. Tuhan sungguh sangat baik padanya. Di saat Petronela harus menjalani pengasingan seperti ini, diberiNya seorang suami yang sangat pengertian. Alam pun seakan turut mendukungnya, hujan yang diturunkan pun hanya berupa gerimis kecil saja, itupun hanya pada siang hari. Seandainya buliran-buliran air itu diturunkan pada malam hari, tak terbayangkan di benak Petronela siksaan dingin yang harus dihadapinya bersama Herman Kewok, demikian bayi mungilnya itu diberi nama oleh suaminya.
Hari menjelang sore, Somarika Yukamoh tetap bertahan di bévak. Dia memaksa ingin menemani mamanya malam ini. Petronela sungguh merasa tak tega, tapi sekaligus juga merasa bahagia... sangat bahagia! Anak gadisnya sungguh-sungguh dirasakan sangat menyayanginya.
Hari ini, malam ke-dua Petronela tinggal di bévak. Kegaduhan hari kemarin sudah mulai terredam. Ketenangan dan sepi mencekam yang ditunjukkan malam, membuatnya punya banyak waktu untuk berpikir dan merenung. Dalam kesepiannya di bévak, Petronela terbenam dalam lamunan panjang, bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ”Dimanakah saudara-saudaraku? Kemanakah gerangan adik perempuanku? Kenapa mereka enggan menjengukku? Tidakkah mereka merasa perlu melihatku di pengasingan ini…?”
Petronela heran, Yosefita, adik kandung perempuannya tidak juga datang menjenguknya, juga Theresia Kiripan, kakak ipar perempuannya, tak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Kalau saudara laki-laki dan ayahnya yang tidak datang menjenguk, Petronela memaklumi, sangat memaklumi. Adat masyarakat Muyu yang menggariskan amòp (pamali) bagi laki-laki mendekati perempuan yang sedang bersalin. Tapi Yosefita? Kak Theresia? Bukannya mereka perempuan? Pertanyaan itu seperti berdengung mengisi kepalanya, menggantung tanpa jawaban...
Dielusnya rambut anak sulung yang setia menemaninya malam ini. Rambut ikal gadis kecil yang belum genab berusia sembilan tahun itu dimain-mainkannya. “Semoga engkau juga kuat menjalani tradisi ini nak…,” bisiknya. Lidahnya terasa kelu membayangkan pada saatnya nanti, Samorika Yukamoh, anak perempuan satu-satunya itu, juga harus menanggung beban berat pengucilan seperti yang dijalaninya saat ini.
Di antara lamunan kesedihan karena kesendirian, Petronela masih sempat menyungging senyum. Dia trenyuh dengan kesungguhan kasih sayang yang ditunjukkan Eduardus Kimbun, suaminya. Lelaki Muyu kecintaannya itu dengan setia memasakkannya setiap hari. Meski dengan menu-menu sederhana macam akét dan segelas teh panas untuk sarapan pagi tadi. Tetapi ketelatenan Eduardus itu semakin saja membuatnya merasa beruntung dipersunting lelaki Muyu pujaannya itu. Terkadang makanan itu dibawakan anak gadisnya, Somarika Yukamoh, dari rumah, tak jarang juga diantar sendiri oleh suaminya.
Pagi itu hari ke-tiga sejak Herman Kewok lahir ke dunia. Di saat Petronela asik bercengkerama dengan anak-anaknya, Eduardus datang sambil membawakan kembali akét dan segelas teh manis. Eduardus datang dengan senyum lebar membawa kabar yang cukup menyenangkan. Viktor Tenjab, ayah Petronela, meminta agar Petronela kembali ke rumah panggung hari ini, kembali berkumpul bersama keluarga besarnya.
Biasanya, perempuan Muyu yang sedang mengungsi si bévak, diperbolehkan kembali ke rumah induk setelah tali pusat bayinya lepas. Tapi hal ini belum terjadi pada Herman Kewok, bayi Petronela. Hanya saja Viktor Tenjab merasa kasihan. Kakek dari bayinya ini tidak tega membiarkan anak beserta cucunya tinggal lebih lama lagi di bévak yang gelap dan dingin. “Saya tak tahan lagi... kasihan mereka, sudah dua hari mereka tinggal di sana...,” bisiknya lirih dengan mata menerawang jauh. Bagaimanapun Petronela Apai dan Herman Kewok adalah anak dan cucunya, darah dagingnya.
Pandangan Tokoh Masyarakat; Seperti MUSUH!
Pandangan tokoh-tokoh masyarakat Etnik Muyu seringkali selalu bertahan secara normatif menurut keyakinan-keyakinan religius Etnik Muyu. Meski sebagian besar dari mereka telah mengenyam pendidikan yang cukup tinggi, tetapi tetap saja pandangan mereka terhadap keyakinan-keyakinan Muyu yang banyak dilandasi kekuatan supernatural dan roh-roh halus terbukti eksis, bertahan sangat kuat.
Kuatnya keyakinan tersebut juga sangat mempengaruhi pandangan-pandangan mereka terhadap ìptèm yang melekat pada perempuan Muyu sebagai akibat poses persalinan dan atau menstruasi. Phillips Leonard Bonggo (64 tahun), salah satu tokoh masyarakat yang tinggal di Kampung Mindiptana menjelaskan bahwa;
“Adat Muyu itu meyakini bahwa perempuan Muyu yang sedang bersalin itu bisa mempengaruhi laki-laki punya kekuatan, waruk-nya bisa melemah. Itu apa... karena itu harus disiapkan tempat lain di luar rumah... laki-laki yang harus membangun pondok kecil itu. Para perempuan... ibu atau saudara perempuan yang melahirkan... atau bisa juga tante-tantenya yang mengurusi semuanya... laki-laki tidak boleh mendekat... itu dilarang sama sekali!”
Dengan sangat meyakinkan lelaki Muyu mantan Kepala Sekolah SMA YPPK yang paham teks berbahasa Belanda itu menegaskan, “...itu perempuan yang sedang bersalin itu seperti musuh! Amòp (pamali atau pantangan) bila laki-laki mendekat!”
Seperti “MUSUH”! Demikian tokoh masyarakat Etnik Muyu ini mengibaratkan perempuan Muyu yang sedang bersalin. Tegas dan penuh keyakinan dinyatakan bahwa laki-laki Muyu harus menjauhi perempuan yang sedang bersalin sampai dengan beberapa hari hingga dianggap perempuan tersebut bersih dari ìptèm persalinan yang bisa membawa malapetaka bagi laki-laki Muyu. Saking kerasnya larangan untuk mendekati perempuan Muyu saat mengalami hal tersebut, hingga dinyatakan sebagai amòp (pamali) bagi laki-laki Muyu mendekati tempat perempuan yang sedang bersalin.
“Perempuan Muyu itu perempuan yang sangat kuat pak...,” terang Phillips Leonard Bonggo;
“Perempuan Muyu itu biasa melahirkan sendirian tanpa teriak-teriak. Makanya saya heran dengan perempuan jaman sekarang yang melahirkan di rumah sakit pakai teriak-teriak segala. Di sini kalau melahirkan itu senyap...”.
Keterangan Phillips Leonard Bonggo ini di’amin’i oleh Thadeus Kambayong (54 tahun; Kepala Puskesmas Mindiptana), dan rekannya seangkatan waktu mengenyam pendidikan SLTP, Victor Tenjab (52 tahun), “iya pak... kalau dia teriak-teriak akan dimarahi oleh suaminya...”.
Senada dengan Phillips Leonard Bonggo, salah satu tokoh masyarakat Etnik Muyu lainnya, Yohanes Konambe (67 tahun), menyatakan bahwa persalinan, sama dengan halnya menstruasi, yang dalam prosesnya melibatkan darah kotor yang harus dikeluarkan. Darah inilah yang diyakini mempunyai supernatural jahat yang bisa membuat laki-laki Muyu melemah. Kesaktian yang dimiliki laki-laki Muyu (waruk), bisa menjadi berkurang daya supernaturalnya. Mantra-mantra yang dirapal saat menggunakan ilmu kesaktiannya bisa tidak mempan atau tidak berjalan. “Untuk itulah maka perempuan Muyu yang mau melahirkan dibuatkan pondok khusus agar melahirkan di luar rumah. Tidak mempengaruhi seisi rumah...,” jelas lelaki pensiunan Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke ini.
Pernyataan tentang “kotor”nya darah wanita yang sedang bersalin dan menstruasi ini juga dikuatkan oleh tokoh masyarakat Muyu lainnya, Paulinus Wikom (72 tahun). Lelaki Muyu sangat senior yang masih terlihat segar bugar ini menyatakan bahwa memang darah menstruasi dan persalinan diyakini mempunyai pengaruh pada orang-orang di rumah, terutama pada orang-orang tua;
“...itu dulu pak... memang ada pengaruhnya pak, terutama pada orang-orang tua. Karena itu memang disediakan tempat tersendiri. Perempuan yang sedang bersalin disendirikan di suatu tempat... tapi sudah lama saya tidak melihat ada yang melahirkan di bévak. Mungkin sudah mulai sekitar tahun 50-an saya tidak melihat lagi...”.
Pernyataan lelaki Muyu yang menjabat sebagai Kepala Kampung Mindiptana, tetapi tinggal di Kampung Kamka ini terlihat selaras dengan informasi yang didapatkan peneliti di lapangan. Tetapi di Kampung Kamka, tempat Paulinus Wikom tinggal, peneliti mendapati bahwa masih sangat kental pendapat masyarakat yang menyatakan bahwa amóp bagi seorang perempuan Muyu untuk melahirkan di dalam rumah. Baru saja seorang perempuan Muyu melahirkan di rumput-rumput pekarangan luar rumah. Perempuan Muyu itu melahirkan belum ada satu bulan berselang, rumahnya pun terletak tak jauh di atas rumah Paulinus Wikom.
Pernyataan sedikit berbeda tentang yang terkena dampak dari ìptèm perempuan bersalin ini dilontarkan oleh Pius Birak (69 tahun). Kepala Kampung Awayangka ini menyatakan;
“...sebenarnya yang terkena dampak dari ìptèm perempuan yang sedang bersalin itu bukan hanya laki-laki pak. Tetapi bisa mengena pada seluruh anggota rumah atau siapapun yang mempunyai darah panas. Kalau mereka tidak berdarah panas... ya tidak apa-apa... tidak terkena dampaknya...”.
Informasi tentang darah panas dan darah dingin ini terasa agak kurang jelas dan simpang siur. Saat peneliti mencoba mencari tahu bagaimana cara membedakannya? Rata-rata jawaban informan menyatakan bahwa bila berada di dekat orang yang sedang bersalin, dan atau mengalami menstruasi, dan ternyata mereka sakit, maka itu disebut sebagai berdarah panas. Jadi harus dicoba dulu, sakit atau tidak? baru ketahuan apakah seseorang berdarah panas atau dingin.
Peneliti mencatat, informan-informan yang memberikan informasi terkait ìptèm perempuan Muyu yang sedang bersalin ini adalah pemuka-pemuka masyarakat Etnik Muyu yang mempunyai pendidikan relatif memadai. Mereka merupakan orang-orang Muyu yang telah mengenal pandangan-pandangan moderen tentang kesehatan dan masalah-masalah persalinan perempuan.
Pandangan Masyarakat; Orang Jaman
Masyarakat Etnik Muyu tidak semuanya mempunyai pandangan yang seragam tentang tradisi melahirkan di bévak. Mereka yang tinggal di dekat Puskesmas dan Rumah Sakit Bergerak sudah melakukan persalinannya di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, atau setidaknya berniat melakukannya di sana.
Berikut penuturan dua orang perempuan Muyu yang tinggal di “Kota” Mindiptana, Faustina Kutmoh dan Marlina Warem. Dua perempuan Muyu ini mengaku sebagai orang Muyu yang lebih moderen daripada tetangganya yang tinggal di kampung sekitar Mindiptana;
“Kami ini orang jaman (moderen) pak... kalo mau melahirkan ya ke rumah sakit. Sudah tidak ada itu apa... melahirkan di bévak. Itu dulu waktu saya masih kecil, atau kalau sekarang mungkin masih ada di kampung-kampung atas sana...”
(Faustina Kutmoh, 43 tahun)
“...saya tidak pernah melahirkan di bévak pak... Kalo dulu ya melahirkannya ke Puskesmas pak... sekarang sih semua sudah pindah di rumah sakit itu... rumah sakit bergerak... di Kampung Osso. Puskesmas sudah tidak melayani lagi... semua pindah”
(Marlina Warem, 29 tahun)
Fakta empiris ini diperkuat oleh Urbanus Warem (53 tahun). Laki-laki Muyu yang merupakan Staf Pemerintahan Kampung Mindiptana ini menyatakan;
“Di sekitar Kampung Mindiptana ini saya su lama tidak melihat orang Muyu membangun atau mendirikan bévak untuk perempuan yang sedang menstruasi atau bersalin pak. Su tidak ada lagi... semuanya sudah ke rumah sakit...”
Seorang perempuan Muyu, Suzana Biyarob (31 tahun), yang tinggal di Kampung Osso mengaku melakukan persalinannya di bévak. Meski tinggal relatif tidak jauh dari Rumah Sakit Bergerak, namun perempuan Muyu yang merupakan istri petugas keamanan di Rumah Sakit Bergerak ini mengaku melahirkan dengan dibantu Bidan Felly di bévak;
“...waktu itu mendadak sekali pak... waktu itu jam tujuh malam. Rumah Sakit Bergerak itu... masih tutup. Saya minta dipanggilkan bidan untuk tolong persalinan. Jadi akhirnya melahirkan di bévak saja, tidak jadi ke rumah sakit. ”
Perempuan Muyu bertubuh langsing ini melahirkan anaknya Maria Magdalena sekitar satu setengah tahun lalu. Suzana Biyarob mengaku tinggal sendirian di bévak selama tiga hari-dua malam.
Pengakuan berbeda dikemukakan oleh Martina Denkok (30 tahun). Perempuan Muyu yang tinggal di Kampung Kamka ini mengaku sudah membantu empat persalinan perempuan Muyu lainnya. Kesemuanya merupakan kasus persalinan “mendadak”, dan kesemuanya dilakukannya di luar rumah;
“...yang penting itu pokoknya melahirkan bayinya itu di luar rumah pak. Itu pamali bagi kami... membawa darah dari persalinan perempuan di dalam rumah. Itu kotor pak... tra (tidak) boleh masuk dalam rumah... pamali... itu amòp!”
Pengakuan Martina Denkok ini diperkuat oleh pernyataan Ancelina Temkon (17 tahun). Perempuan Muyu yang tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar-nya ini baru satu bulan berselang (24 April 2014) melahirkan anaknya yang ke-dua. Ancelina melakukan persalinannya di rumput-rumput dekat kandang babi di rumah kakak ipar perempuannya;
“...waktu itu mendadak sekali pak... jam empat subuh. Saya sudah merasa sakit sekali, mau jalan ke Rumah Sakit Bergerak sudah tidak mungkin... baru sampai di depan rumah kakak saya sudah tidak tahan... akhirnya turun ke situ di rumput-rumput... karena tidak bisa melahirkan di dalam rumah to.”
Bagi perempuan hamil Muyu yang tinggal di Kampung Kamka, yang berjarak relatif dekat dengan Rumah Sakit Bergerak, sekitar empat sampai lima kilometer, hampir semuanya tidak dibuatkan bévak untuk persalinannya nanti. Hal ini lebih dikarenakan semua kelahiran direncanakan untuk dilakukan di Rumah Sakit Bergerak.
Berbeda dengan yang tinggal di dekat “Kota” Mindiptana, mereka yang tinggal di kampung agak jauh dari Mindiptana cenderung masih mempertahankan tradisi persalinan di bévak. Seringkali alasan yang diutarakan adalah karena tidak mungkin mencapai Rumah Sakit Bergerak pada saat-saat menjelang persalinan.
“Ya harus dibuatkan bévak pak. Mau melahirkan dimana? Tidak boleh melahirkan di dalam rumah to. Kan tidak mungkin dari sini (Kampung Wanggatkibi; berjarak sekitar 15 kilometer) jalan kaki ke Rumah Sakit Bergerak... tidak ada motor to...”
(Victor Tenjab, 52 tahun)
Senada dengan pernyataan Victor Tenjab di Kampung Wanggatkibi, bidan di Puskesmas Mindiptana, Natalia Tuwok (35 tahun), menyatakan bahwa di Kampung Imko perempuan Muyu yang hendak bersalin juga dibuatkan bévak, “Kampung Imko jaraknya mungkin terlalu jauh pak. Kami menjangkaunya juga berat. Jadi mereka membuat bévak untuk persalinan...,” jelasnya dengan raut muka mendung.
Konfirmasi terhadap informasi terkait persalinan di pelayanan kesehatan digali peneliti di bagian persalinan Rumah Sakit Bergerak. Fasilitas pelayanan kesehatan satu-satunya yang melayani persalinan di kawasan Distrik Mindiptana, Kombut, Sesnukt, Woropko dan sekitarnya ini mengaku hanya menolong kurang lebih sekitar empat persalinan per bulan di fasilitas pelayanannya. Dalam pengamatan memang hanya tersedia dua tempat tidur fasilitas rawat inap untuk ibu bersalin, dengan jumlah tenaga bidan yang mencapai empat orang.
Denda Adat
Hari masih pagi, masih jam 08.30 WIT. Puskesmas baru saja buka saat seorang perempuan Muyu berjalan menuju gerbang Puskesmas. Perempuan yang terlihat masih sangat muda itu menggendong bayinya sambil memegang payung. Hari ini Sabtu, tanggal 21 Juni 2014, Puskesmas ada jadwal pelayanan untuk kesehatan bayi.
Baru saja sampai pintu masuk Puskesmas, perempuan muda Muyu itu menoleh, mendengar teriakan yang memanggil-manggil namanya. “Hei ke sini kau... bayar dulu dendanya! Berhenti dulu!” teriak seorang laki-laki Muyu dengan sangat lantang.
“Ah... urusan apa itu... saya tra peduli...!” perempuan itu berteriak membalas sambil berlari terbirit-birit masuk ke dalam Puskesmas.
Seperti tidak terima, laki-laki berambut gimbal itu masuk menyusul ke dalam Puskesmas sambil berteriak-teriak kasar, “Ke sini kau... berhenti dulu! Enak saja bersalin di rumah orang. Buang sial... gak mau bayar denda! Bayar dulu!”
Sambil menggendong bayinya, perempuan Muyu itu dengan sangat ketakutan bersembunyi di ruang kepala Puskesmas. Sayangnya Thadeus Kambayong (54 tahun), Kepala Puskesmas Mindiptana, yang diharapkannya bisa memberinya perlindungan sedang tidak berada di tempat. Dia sedang mengambil raport anaknya.
Lelaki itu terus berusaha mencari-cari si perempuan Muyu sambil tetap berteriak-teriak. Terdengar beberapa kali suara-suara keras semacam pukulan. “Kau itu sudah bikin sial rumah orang, harus bayar denda! Ayo keluaaar!” akhirnya lelaki Muyu itu menemukan tempat persembunyian si perempuan.
Dengan sesenggukan perempuan itu menjawab,”Kami akan bayar... kami sedang kumpul-kumpul uang...”. Tangis ketakutan perempuan Muyu itu terdengar semakin keras, karena bayinya yang baru merumur enam bulan juga ikut menjerit ketakutan.
“Tidak bisa! Bayar sekarang!” tukas lelaki berbadan gempal itu. Laki-laki itu bersikap seperti mau memukul si perempuan Muyu. Meski akhirnya pukulannya diarahkan ke tembok Puskesmas.
Suster Rosa Mianip (52 tahun) yang melihat kejadian itu turut berbicara, ”Hei Lukas! Jangan bikin ribut di sini! Pergi sana! Nanti kau bikin rusak Puskesmas lagi! Keluar!”
Lelaki itu melengos, sambil tetap berteriak-teriak memaki si perempuan Muyu yang berurai air mata. Sampai akhirnya perempuan itu bisa melepaskan diri, lari terbirit-birit keluar Puskesmas sambil menjerit-jerit. Sementara lelaki itu tetap saja berteriak-teriak menagih denda.
“Akan kulaporkan kau...!” ancam si perempuan Muyu sambil berlari.
“Laporkan saja! Ayo bawa sini suamimu! Enak saja gak mau bayar denda! Itu lapor sekalian ke Koramil atau Polsek, saya tidak takut!” balas si lelaki. Sampai seperempat jam kemudian lelaki Muyu itu tetap saja berteriak-teriak tak jelas.
Lelaki itu berangsur agak tenang setelah ada seorang anggota Koramil 1711-02 Distrik Mindiptana yang datang menenangkannya.
Kejadian itu tak cukup berhenti sampai di situ, sorenya suami si perempuan Muyu datang sambil membawa parang. Cekcok dan adu mulut tak terelakkan. Untung saja tidak sampai ada kejadian berdarah. Kesepakatan soal pembayaran denda bisa diselesaikan secara adat.
***
Lelaki Muyu berbadan gempal dengan penampilan rambut gimbal semacam Bob Marley (penyanyi reggae asal Jamaika) itu adalah Lukas Kindom (38 tahun). Sedang si perempuan Muyu itu sebenarnya adalah keponakan sendiri, anak dari adik ibu Lukas yang tinggal di Kampung Kamka.
Kejadian berawal pada tanggal 24 Desember 2013 lalu, saat si keponakan bersalin di ruang tamu rumah Lukas Kindom. Sebenarnya perempuan Muyu itu hendak bersalin di Puskesmas, tetapi karena masih pembukaan dua, masih perlu waktu cukup lama untuk sampai pada pembukaan penuh, maka dia memilih istirahat dahulu di rumah Lukas yang tidak lain adalah Om-nya. Rumah Lukas Kindom yang terletak di dekat Puskesmas memang lebih masuk akal dipakai sebagai tempat istirahat daripada dia pulang ke rumahnya sendiri di Kampung Kamka.
Tapi apa lacur, ternyata bayinya keburu keluar, maka mau tak mau bidan Puskesmas menolong persalinan di ruang tamu rumah itu. Tak pelak ada darah tercecer di tempat itu. Bagi masyarakat Etnik Muyu darah persalinan membawa pengaruh yang buruk (ìptèm). Pengaruh dari hawa darah persalinan yang bisa menyebabkan sakit bagi orang yang tinggal di dekatnya. Karena itu amòp (pamali) bagi perempuan Muyu untuk melahirkan di dalam rumah, dia harus diasingkan ke tempat lain, bévak.
Ceritera itu masih ditambah adanya realitas lain, bidan yang menolong persalinan keponakan Lukas Kindom tersebut tak lama kemudian, pada bulan Desember 2013 jatuh sakit, dan pada bulan Februari 2014 akhirnya meninggal dunia. Realitas meninggalnya bidan penolong persalinan tersebut dianggap Lukas Kindom sebagai fakta tambahan akibat ìptèm persalinan keponakannya. Hal ini semakin menguatkan keinginan Lukas untuk menuntut denda pada keponakannya.
Apabila ada kejadian semacam itu, melahirkan di suatu tempat atau rumah orang lain, maka sudah suatu hal yang lazim akan dikenakan denda pada keluarga yang bersangkutan. Denda adat yang dikenakan merupakan pengganti dari kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat ìptèm persalinan.
“...itu sudah biasa di sini pak... sudah umum. Karena diyakini masyarakat sini darah persalinan itu bisa menyebabkan sakit atau kesialan pada rumah yang terkena, bisa menyebabkan jatuh sakit, jadi harus ada denda. Itu sudaah!”
(Hendrikus Kamben, 42 tahun)
Senada dengan Hendrikus Kamben, Florentina Amboktem (40 tahun) juga menuturkan bahwa denda juga bisa dikenakan sebagai akibat hilangnya kesaktian laki-laki Muyu yang berada di tempat kejadian;
“Resikonya itu pada diri kita sendiri pak... keluarga kita yang tinggal serumah. Bila persalinan dilakukan di rumah, dema (Roh halus, lelembut atau dewa-dewi penguasa suatu tempat) yang menghuni rumah bisa marah dan kasih sakit seluruh penghuni rumah.... orang-orang yang punya kemampuan mantra-mantra (waruk) juga akan marah-marah pak, karena dia pu kemampuan akan pergi... bisa kena denda...”.
Sebagai laki-laki Muyu yang pernah mengikuti inisiasi, (Upacara pendewasaan bagi anak laki-laki Muyu tentang filosofi hidup orang Muyu atau pendidikan karater), maka sudah tentu Lukas Kindom meyakini dirinya mempunyai waruk (mantra-mantra kesaktian) sebagaimana layaknya laki-laki Muyu lainnya. Lukas Kindom mengaku daya kemampuan waruk-nya menjadi berkurang disebabkan ìptèm persalinan keponakannya tersebut. Hal inilah yang semakin mendorongnya untuk terus menuntut segera diselesaikannya urusan denda adat ini.
“...saya punya rumah juga sudah dikotori darah saya pu keponakan perempuan, dia kasih lahir anaknya di dalam rumah. Itu bisa jelek bagi orang yang tinggal di dalam saya punya rumah. Bisa bikin penyakit batuk, panas, sampai waruk hilang...”.
Untuk semua “kerugian” yang dideritanya, Lukas Kindom menuntut denda adat sebesar sepuluh juta rupiah pada keponakannya. Berdasarkan kesepakatan akhir yang disaksikan oleh pihak kepolisian setempat, diberi tenggang waktu tertentu pada pihak keponakan Lukas untuk melunasi denda adat tersebut.
Besaran denda adat yang dikenakan untuk kasus seperti ini sangat bervariasi, tergantung pada keyakinan seberapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh ìptém perempuan Muyu yang sedang bersalin terhadap tuan rumah. Semakin tinggi waruk (kesaktian) yang dimiliki tuan rumah, maka semakin tinggi denda yang bisa dikenakan, karena dia merasa kasus ini sangat merugikan;
“...besaran dendanya sangat tergantung pada dia pu barang-barang (jimat kesaktian) dan dia pu kekuatan pak (waruk). Semakin dia pu itu semakin besar dendanya... bisa sampai puluhan juta rupiah. Biasa antara sepuluh... dua puluh juta...”
(Petrus Komaop, 58 tahun)
“Melawan” Tradisi?
Bagi kebanyakan perempuan Etnik Muyu, melahirkan di bévak seringkali merupakan satu-satunya pilihan saat dihadapkan dengan masalah transportasi dan atau waktu persalinan yang tidak menguntungkan. Seperti yang terjadi pada Suzana Biyarob (31 tahun), perempuan Muyu ini sebenarnya bersedia untuk melahirkan di Rumah Sakit Bergerak, hanya saja waktunya tidak pas, si jabang bayi keburu lahir saat malam, saat Rumah Sakit bergerak masih tutup. Maka pilihannya hanya melakukan persalinan di bévak, bukan di rumah!
Mendengar pengakuan dan mengamati apa yang terjadi di lapangan pada masyarakat Etnik Muyu, terlihat bahwa sebagian besar dari mereka, terutama yang hidup di sekitar Puskesmas dan Rumah Sakit Bergerak, sudah mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan moderen. Apalagi akses pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kebidanan tersebut telah terbuka sangat lebar, semuanya ditanggung oleh Pemerintah.
Meski demikian, peneliti merasakan masih terdapat kepercayaan yang kuat terhadap pengaruh ìptèm perempuan Muyu yang sedang bersalin. Fakta empiris memang menunjukkan bahwa perempuan Etnik Muyu yang tinggal di “perkotaan” Kampung Mindiptana sebagian besar sudah melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Bahkan mereka melakukannya lebih baik daripada perempuan-perempuan di Jawa, mereka melakukan persalinannya tidak di rumah, tetapi di rumah sakit. Realitasnya memang terjadi peningkatan persalinan di Rumah Sakit Bergerak. Tetapi justru fakta empiris inilah yang menjadi dasar pertimbangan peneliti, bahwa masyarakat Etnik Muyu masih sangat mempercayai pengaruh “kotor”nya perempuan yang sedang bersalin. Tingginya keyakinan masyarakat Etnik Muyu bahwa darah persalinan bisa membawa pengaruh buruk.
Alasan perempuan Etnik Muyu melakukan persalinan di Rumah Sakit adalah “asal” bersalin di luar rumah. Dalam melakukan persalinan, pilihan tempat bagi perempuan Etnik Muyu adalah di bévak; atau Puskesmas; atau rumah sakit; atau dimanapun; asal tidak di dalam rumah! Se-moderen apapun pemikiran mereka, tetap saja kesan mendalam bahwa perempuan itu “kotor” saat bersalin masih melekat erat. Bagaimanapun mereka telah ratusan tahun hidup dengan keyakinannya tersebut, keyakinan bahwa ìptèm (supernatural) perempuan Muyu yang sedang “kotor” ini diyakini bisa mengakibatkan banyak hal buruk, terutama bagi laki-laki. Kesaktian laki-laki Muyu bisa luntur, waruk yang dimilikinya bisa tidak mempan, tidak memiliki daya kesaktian lagi.
Pernyataan kesimpulan peneliti atas keyakinan masyarakat Muyu ini setidaknya dikuatkan oleh fakta empiris yang diungkapkan Dokter Yohannes Indra (29 tahun). Dokter PTT asal Bandung yang ditugaskan di Rumah Sakit Bergerak ini menyatakan bahwa;
“...awalnya saya heran pak, kenapa baju-baju ibu bersalin di sini dikumpulkan, tetapi bukan untuk dicuci. Semuanya... baik baju-baju maupun kain yang sudah terkena darah persalinan dimasukkan dalam satu plastik... katanya mau dibakar semua... karena tidak boleh dipakai lagi... bawa penyakit...”
Fakta empiris lainnya juga diungkapkan oleh Adolfia Tepu (44 tahun). Bidan Koordinator Program Kesehatan Ibu dan Anak yang telah 28 tahun bertugas di Puskesmas Mindiptana ini menyatakan bahwa;
“Iya pak... mereka itu kalo melahirkan di sini (Puskesmas), suaminya ga ada yang menunggui istrinya. Biasanya ibunya atau saudaranya yang perempuan itu yang menemani, yang laki-laki biasanya hanya mengantar saja, melihat dari jauh, ga ada yang mau masuk...”
Pada kondisi demikian, meski terlihat masih sangat tinggi kepercayaan pada buruknya ìptèm perempuan Muyu yang sedang bersalin, tetapi justru peneliti melihat peluang yang cukup baik bagi Pemerintah (Dinas Kesehatan Boven Digoel dan atau Kementerian Kesehatan Republik Indonesia) untuk “melawan” tradisi pada posisi ini. Karena kepercayaan yang mereka yakini tersebut pada akhirnya dapat membuat akses persalinan ke pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Pemerintah hanya harus lebih siap menyediakan akses fasilitas tempat persalinan yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih tersebar sampai ke seluruh daerah pemukiman masyarakat Muyu di Distrik lain di wilayah Utara.
Peluang pada Etnik Muyu ini terlihat sangat menarik dan terlihat lebih memungkinkan untuk diintervensi. Hal ini berbeda dengan temuan Agung Dwi Laksono, dkk. (2014), pada Etnik Madura di Kabupaten Sampang, Propinsi Jawa Timur. Dilaporkan bahwa, masyarakat Madura di Sampang masih sangat minded terhadap pelayanan dukun bayi. Tercatat ada 518 dukun bayi di Kabupaten Sampang, lebih dari dua kali lipat bidan yang hanya ada 207 orang. Bertolak belakang dengan masyarakat Etnik Muyu yang berkeyakinan “harus” melahirkan di luar rumah, masyarakat Etnik Madura justru lebih senang melahirkan di dalam rumah, sehingga petugas kesehatan lebih sering menyerah bila diminta membawa perempuan Madura bersalin di fasilitas pelayanan kesehatan. Jalan tengah yang diambil adalah pelayanan dilakukan oleh tenaga kesehatan, meski tidak di fasilitas pelayanan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H