Tanggal 16 Maret 2022, Media Indonesia dihebohkan dengan cerita pilu tentang meninggalnya seorang warga Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan bernama Amiludin (55 th) saat menjalani perekaman elektronik KTP (e-KTP) di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Bulukumba demi keperluan administrasi untuk mengurus kartu peserta BPJS Kesehatan.
Amiludin saat itu sedang mengalami sakit, dimana dia harus dioperasi dan penyakitnya memerlukan biaya yang cukup besar jika tidak menggunakan kartu peserta BPJS Kesehatan.
Berdasarkan diagnosa dokter, dia mengalami penyumbatan usus yang membuatnya sempat menjalani perawatan di RSUD Sultan Daeng Radja Sulawesi Selatan selama 3 hari. Namun, hal itu terhalang dengan kondisi Amiluddin yang tidak memiliki kartu identitas dan kartu BPJS Kesehatan.
Pihak keluarga memutuskan membawa Amiludin ke Kantor Catatan Sipil guna melakukan perekaman e-KTP sebagai syarat dalam pengurusan dan pemilikan kartu peserta BPJS Kesehatan, dalam kondisi yang sangat lemah.
Dia melakukan proses perekaman data untuk kartu identitas elektroniknya, tetapi sebelum e-KTP miliknya diterbitkan, dia lebih dahulu meninggal dunia di Kantor Dinas Dukcapil Bulukumba.
Mengapa itu sampai terjadi? Seakan nyawa dapat ditukar dengan selembar kartu peserta kesehatan agar dapat terlayani kesehatannya? Sangat ironi kasus ini bagi sebuah negara besar seperti Indonesia, yang ternyata masih ada warganya belum merdeka untuk menggunakan haknya dan menikmati kesehatan secara gratis seperti yang di gembar geborkan oleh Slogan Layanan kesehatan BPJS. Dimana hadirnya Pemerintah bagi warganya? Sekali lagi, mengapa ini sampai terjadi?
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengatur bahwa, “sanksi administratife sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau, c. tidak mendapat layanan publik tertentu”.
Pasal ini mengisyaratkan jika ada warga Indonesia yang tidak atau belum mempunyai kartu BPJS, maka akan terkena sanksi administrasi berupa tidak akan diterbitkan kepengurusan keperluannya jika belum memiliki atau terdaftar sebagai peserta BPJS. Padahal sebagai warga negara memiliki hak untuk melakukan kepentingan hidupnya di tanah Indonesia.
Begitu hebatnya kepemilikan kartu peserta BPJS kesehatan ini hingga dapat mengatur hak kehidupan seseorang dalam menjalankan kehidupan primernya sehari hari.
Hak seseorang untuk mendapatkan fasilitas kesehatan adalah hal yang utama, terlepas dia adalah peserta BPJS Kesehatan atau bukan, seharusnya pelayanan kesehatan harus diprioritaskan dibandingkan mengurus proses administrasi. hak seseorang untuk mendapatkan fasilitas kesehatan adalah hal yang utama, terlepas dia adalah peserta BPJS Kesehatan atau bukan.
Hak Asasi Manusia dibidang Kesehatan diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 UUD 1945. Pasal 28 butir A berbunyi "setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Serta Pasal 28 H pada ayat 1, yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, yang artinya setiap warga negara juga berhak mendapatkan pelayanan termasuk kesehatan yang layak yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Selain itu, warga negara juga berhak untuk mendapat jaminan sosial, khususnya masyarakat lemah dan tidak mampu. Jaminan sosial inipun diselenggarakan oleh pemerintah.
Dari beberapa pasal UUD 1945 ini sudah jelas dan gamblang bahwa Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan sosial (BPJS) pada Pasal 17 ayat (2) sangat bertentangan dengan marwah suci dari UUD 1945, karena bukannya membuat baik warga tetapi malah menyengsarakan dan kesewenang wenangan suatu badan institusi negara terhadap warganya.
Dan apakah ini masih merupakan bentuk dari penjajahan baru? Entahlah, wallahu alam. Tetapi yang pasti bahwa saat ini belum ada keberpihakan dan keseriusan, negara kepada warganya untuk mensejahterakan dan mengayomi di era kemerdekaan ini.
Hal ini sudah terlihat dengan salah satu kebijakan melalui BPJS kesehatan bukan menjamin tapi malah merantai hak-hak warga Indonesia. Pandangan ini yang dapat menjadikan warga merasa tidak nyaman untuk hidup dan menjalankan kehidupannya sehari-hari. Semoga ada kepedulian negara untuk segera merubah pasal-pasal yang mengekang hak-hak hidup warganya.
Apa yang menjadi solusi BPJS kesehatan agar kasus Amaludin tidak terulang kembali? BPJS Kesehatan sebagai salah satu perpanjangan tangan pemerintah harus meningkatkan layanan yang terbaik kepada pasien tanpa membebani apapun dan juga tidak mengesampingkan apa yang telah dilakukan oleh dokter yang menangani pasien.
Dengan cara memberikan regulasi yang seimbang dan saling menguntungkan antara kebutuhan pasien dan tenaga kesehatan serta tempat layanan kesehatannya, baik itu Rumah Sakit, puskesmas, klinik ataupun praktek pribadi.
Regulasi ini harus saling menguntungkan BPJS kesehatan dan kedua belah pihak (dokter dan pasien), serta mempertimbangkan norma-norma keadilan, sehingga pasien dapat terselamatkan dan ada hasil usaha yang juga didapatkan oleh dokter.
Dokter akan dapat berlaku sebagai professionalisme dalam menangani pasien. Salah satunya yang dipertimbangkan adalah pada pasien yang mengalami sakit berat atau mengancam jiwanya, ketika berobat belum mempunyai kartu BPJS kesehatan, maka kondisi kesehatan pasien lebih di dahulukan dan dokter yang menangani juga dapat memberikan pertolongan segera tanpa harus dibebankan dengan pemikiran, apakah nanti dapat ganti rugi atau klaim dari BPJS kesehatan atau tidak, sehingga ke profesionalitasnya seorang dokter dapat secara optimal diberikan kepada pasien untuk menolong dan pasien dapat segera tertolong.
Karena itu diperlukan suatu regulasi yang khusus berkaitan dengan penanganan darurat ini guna menyelamatkan nyawa pasien. Tanpa mengesampingkan apa yang telah dilakukan dokter saat menangani pasien tersebut, baik dengan hasil pasien sehat kembali maupun meninggal dunia.
Jangan sampai jerih payah mereka tidak diperhatikan atau bahkan tidak dianggap, karena mereka telah bertugas dengan cara profesional untuk menangani pasien agar dapat terselamatkan. Aturan tersebut bisa di khususkan pada pasien yang dalam kondisi mengancam jiwanya atau gawat, karena kondisi ini perlu penanganan yang cepat dan tepat.
Dengan regulasi tersebut diharapkan pasien merasa tenang dapat tertangani dengan baik dan benar, sedangkan Pemerintah melalui BPJS kesehatan ini, juga dapat memberikan kontribusi yang baik untuk para dokter yang telah menangani.
Hal ini akan memberikan kepuasan pada masing masing pihak, dan menambah kepercayaan masyarakat kepada BPJS Kesehatan. Oleh karena dengan menjadi peserta, dapat merasakan segala manfaat kesehatan secara optimal, tanpa harus BPJS kesehatan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hak-hak hidup warga Indonesia.
Oleh karena itu BPJS Kesehatan diharapkan dapat segera merubah atau mengganti pasal- pasal yang kontra produktif serta menggantinya dengan pasa-pasal yang dapat bersinergis, terutama yang menyangkut dan bersinggungan dengan hak-hak hidup warga Indonesia. Sehingga kedepannya tidak ada lagi cerita Amaludin-Amaludin baru yang akan menambah buruknya layanan BPJS Kesehatan ini, cukup sudah cerita ironi Amaludin ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H