Kedua, adalah stabilitas keamanan, di mana pemerintah menggunakan aparat penegak hukum seperti kepolisian untuk melindungi keberlangsungan mega proyek yang cenderung menguntungkan industri ketimbang rakyat. Akibatnya, ujar Asfinawati, muncul dwi fungsi aparat keamanan.
Ketiga, adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, dari sisi kinerja, KPK mengalami penurunan. Hingga Desember 2020, KPK hanya menggelar tujuh operasi tangkap tangan (OTT), jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Disisi lain Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti mengatakan, penembakan mati enam laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh kepolisian sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). Ia juga mengatakan bahwa penembakan itu sebagai bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran terhadap asas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan."KontraS melihat ini (pembunuhan laskar FPI) terang merupakan pelanggaran HAM, pelemahan terhadap hukum, dan mencelakai yang namanya praduga tidak bersalah,"
 Semua yang dilakukan atas nama embel-embel pancasila, diluar dari pada itu semua dianggap sebagai bentuk ancaman kemanan negara, kritik sebagai dekonstruksi pisau analisis seolah dibungkam  dan terus dilegitimasi atas dasar untuk menghindari regresinya kekuasaan. Fenomena ini apakah Indonesia akan terus menjadi sumber pembenaran bilamana Pancasila ditabrakkan dan ditekstualisasikan dalam tameng ideologi state apparatus sebagai alat subversif demi terhindarnya pertentangan kelas masyarakat untuk mendapatkan keadilan,atau bagaimana kita melihat masa depan pancasila sebagai wadah kesatuan yang reformis ?
Oleh : M. Adiyaksa Putra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H