"Perbedaan di Lawang NGajeng bukan ditutupi, namun justru dibuka lebar-lebar. Baik perbedaan dalam agama, suku, budaya, sampai perbedaan dalam beropini. Semua dibuka tanpa tedeng aling-aling," paparnya
"Yang beragama Islam boleh berbicara seputar keislaman di depan teman-teman yang non muslim, dan begitu pula yang non muslim boleh berbicara tentang agamanya di depan teman-teman yang muslim. Semua boleh menggunakan identitasnya masing-masing, yang kristiani memakai salib, yang muslim juga boleh memakai kopyah atau identitas lainnya. Tapi semua diikat untuk bersama dengan kesadarannya. Inilah yang menarik, karena kukira tadinya mustahil, tapi Lawang Ngajeng membuktikannya," lanjut Marlis.
Hal senada juga disampaikan oleh mahasiswa pascasarjana HI, UGM, Mahmud Yunus, dan mahasiswa UPN, Basit. Menurutnya, Lawang Ngajeng memiliki nilai independensi yang terorganisir. Nilai menarik ini, menurutnya sehingga keduanya ikut sebagai bagian dari Lawang Ngajeng cabang Jogjakarta.
Sementara itu pengasuh Lawang Ngajeng Wahyu NH Aly atau yang akrab disapa Gus Wahyu mengatakan, Lawang Ngajeng merupakan komunitas yang siap mencetak generasi-generasi bangsa yang berbudaya, kreatif, progressif, kritis, dan penuh innovasi berbasis kebersamaan. Menurutnya juga, bangsa yang berbudaya akan mampu membawa kemajuan bagi suatu Negara.
"Indonesia akan maju dengan generasi-genarasi yang berbudaya," tutur Wahyu seusai mengisi acara Mahabbah Budaya - Lawang Ngajeng Jogja di English Café (18/10).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H