Mohon tunggu...
Adi W
Adi W Mohon Tunggu... lainnya -

Nulis, musik, masih sekedar mengisi waktu luang. http://twitter.com/#!/wicakzh

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Debat Estafeta Sastra: Goenawan Muhammad Melirik Wahyu NH. Aly

28 Desember 2011   09:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:39 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Esai oleh: Tim Penulis *

Abu Khurairah, Zaid bin Tsabit dan Anas bin Malik adalah deretan sastrawan masa tetas ekspantif Islam. Kebersihan sastra yang mereka miliki, mendorong Muhammad sang Rasulullah untuk memercayakan al-Hadits pada mereka. Suatu titipan peradaban universal sepanjang zaman, sebagai hadiah logis dari independensi sastra yang suci.

Nafas sastra terus berhembus ke masa berikutnya seperti Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, termasuk sastrawan Indonesia Goenawan Muhammad dan Wahyu NH. Aly, nama-nama penerus estafeta sastra modern terkemuka. Kualifikasi setiap sastrawan, tentunya juga memiliki corak dan prinsip yang tidak sama. Lensa perbedaan inilah yang dapat menentukan nilai independensi sastra di tengah arus pragratisme, kekuasaan atau kedudukan yang menggiurkan. Pada tulisan ini diulas secara sederhana dua sastrawan Indonesia antara Gunawan Muhammad dengan Wahyu NH. Aly.

Pemandangan kontroversial tampak mengemuka, tatkala Goenawan Muhammad menolak secara santun penghargaan Bakrie Award sebagai tokoh sastra dan budaya yang diterimanya di tahun 2004 lalu. Alasannya, dilatarbelakangi rasa kecewa akan tindakan Aburizal Bakrie selama ini, mulai dari kasus Lapindo sampai persoalan Century yang mengambinghitamkan Sri Mulyani dan Boediono. Dengan ini, Goenawan Mohammad jelas tidak sepaham dengan Abu Rizal Bhakri (Ical), dengan keluarga Bakrie merupakan pemilik mayoritas PT Lapindo Brantas yang sedang bermasalah dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo.

Sekilas Goenawan Mohammad layak diacungi jempol atas sikap kekecewaan terhadap Ical, yang juga merupakan representasi dari kekecewaan publik. Sekali-kali Ical memang perlu ditegur dengan sopan agar mengetahui eksistensinya terhadap bangsa. Disini, nurani seorang jurnalis sekaligus sastrawan Goenawan Muhammad terlihat jumawa pada bentuknya yang kongkrit. Kepedulian terhadap rakyat serta kesucian jiwa bersinar dari hati seorang Goenawan Muhammad.

Sikap baik Goenawan Muhammad memang tampak putih ketika dihadapkan pada situasi kenegaraan dan koreksinya terhadap Ical. Tapi tidak pada sikap independensi sebagai seorang jurnalis, lebih-lebih sastrawan. Goenawan Muhammad belum bisa membedakan Antara "hitamnya pemberi" dengan "putihnya pemberian" yang jangan sampai dibaurkan. Bila dibaurkan, sisi kesucian sastra akan ternodai. Inilah sisi lain dari sikap Goenawan Muhammad yang -katanya- perlu diapresiasi.

Teringat kisah Harun Alrasyid, beliau dikenal raja yang otoriter dan nepotis. Kebetulan, masa itu adalah masa keemasan sastra. Memiliki jiwa sastra membuatnya mendapat kehidupan yang sejahtera dan dipandang terhormat. Sebut satu sastrawan, abu Ayyub Al-qurthubi ketika membacakan puisinya dihadapan raja, beliau mendapat penghargaan sekotak emas murni dan beliau menerimanya dengan bangga. Karena baginya, sastra adalah sastra dan raja tetaplah raja yang angkuh. Keduanya tak dapat dibaurkan.

Penghargaan murni karena jiwa sastra, yang harus diterima dengan kebersihan sastra pula. Tidak dicampuri dengan situasi dan keberadaan pemberinya. Secara tidak langsung, mencampur-adukkan antara pemberi dengan pemberian sama halnya dengan menghilangkan jiwa independesi sastra. Bila demikian, sastra sudah berbaur dengan kepentingan dan politik, sastra tak lagi bersih. Mau tidak mau, Goenawan Muhammad gagal memisahkan sastra dengan politik dan kondisi Ical.

Melihat sikap Goenawan tak selayaknya ia dianggap sebagai seorang sastrawan, namun ia lebih pada sikap politikus. Yang bersitegang setiap momentum, nilai-menilai, tarik-manarik simpati dan mencari sensasi rakyat. Seolah Goenawan Muhammad membetulkan klaim publik dengan menggunakan logika terbalik, semisal, bila tidak sepaham dengan Ical hingga menolak "kerja sama", berarti Goenawan Muhammad sepaham dengan lawan/musuh Ical, dalam hal ini adalah Pak SBY. Penilaian yang demikian kemudian dibenarkan dengan pilihannya memosisikan dirinya sebagai tim sukses.

Dari sisi ini, lagi-lagi jiwa sastra Goenawan Muhammad perlu dipertanyakan nilai independensinya. Keberpihakan kepada salah satu oknum atau individu tak selayaknya ada bagi dunia sastra. Begitupula menolak keberpihakan di tengah kondisi yang menuntut keberpihakan, sama halnya dengan ikut keberpihakan itu. Karena ini bukan lah prinsip fitrah sastra dan independensinya. Dunia sastra bukan dunia politik, kekuasaan ataupun dunia keberpihakan. Melainkan dunia lain dari hal yang tampak, sehingga sastra menduduki ruang yang suci dan bersih.

Bagaimana dengan Wahyu NH. Aly? Bila Goenawan Muhammad eksis dengan "Catatan Pinggir" di mingguan majalah Tempo, Wahyu juga pernah eksis di mingguan koran Meteor - Jawa Pos Group, eksis di majalah Medium - Jakarta, dan beberapa media lainnya. Keduanya mempunyai kesamaan dalam mengkritisi negara dengan analisis yang kuat dan membangun. Kesamaan itu juga terlihat dari insan pers-nya, Wahyu juga jurnalis dan sastrawan. Dari opini-opininya, esai, cerpen hingga buku-bukunya yang telah beredar. Perpaduan antara jurnalis dengan sastra, semakin mengokohkan nilai indenpendensi hingga benar-benar utuh.

Wahyu menggunakan'pembacaan' realita tanpa melihat status, identitas. Terlihat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), FPI, NU, Muhammadiah, kalangan berpaham liberal, kalangan berpaham fundamentalis, birokrasi pemerintah, sampai partai yang ada pun dikritisinya dengan argumen logis. Jiwa sastranya menandakan Ia sosok independen anti pemihakan terhadap siapapun dan "siapa" dia. Bila terlihat salah, maka harus disalahkan. Sastra berjalan dalam jalur yang sebenarnya, dengan melepaskan embel-embel kedudukan dan eksistensi. Pastinya, sastra memang layak dihargai di masyarakat dan pemerintah.

Meletakkan sastra pada jalan independensinya, tanpa memilah porsi yang pantas atau tidak. Karena sastra berbicara realitas, bukan sub-realitas yang direka-reka. Tidak ada hal serta kondisi apapun yang bisa menawar independensi. Mau Ical seorang pelanggar HAM ataupun penyelamat bangsa, bila penghargaan itu untuk potensi sastra yang dimiliki, terlepas dari lilitan kepentingan apapun, maka selayaknya penghargaan itu pun dihargai. Itulah prinsip sastra yang dimiliki Wahyu.

Sastra adalah sastra yang memiliki dunia berbeda, dan kepentingan beserta "antek-antek"-nya juga diletakkan pada dunianya, agar independensi berjalan mulus tanpa terkotori. Analisa dan prinsip sastra, sedikitpun bersih dari kepentingan apapun. Dari sini, Goenawan Muhammad perlu belajar cara bersastra yang baik kepada Wahyu NH Aly, demi nama baik sastra kedepannya.

Wallahu a'lam bisshawab . . .

www.zonamerahIslam.com

* Tim Penulis :

1. Adi Wicaksono

2. Basyar Diquraishin, adalah Direktur Utama Lembaga Hukum Mahasiswa Islam Jogjakarta

3. Felisiana Shinta, adalah Mahasiswi Sastra Rusia di Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung

4. Khoirunnisa, Mahasiswi Sastra Arab Universisat Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Jogjakarta

5. Muhammad Akram, adalah Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Indonesia

6. Nurdin Lubis, adalah Dosen Kajian Timur Tengah dan Pimpinan Umum Dar at-Tarjamah Arab-Indonesia/ Indonesia-Arab)

7. Zamaahsari A. Ramzah, adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun