Kemudian, pemikiran yang lain, saat banyak kalangan dari politisi sampai agamawan menilai salah terhadap seseorang yang mengkritik presiden, Gus Wahyu justru berbicara lain. Bahkan, Gus Wahyu melalui pisau ushul fikih-nya, menyampaikan apabila mengkritik presiden merupakan hak bagi rakyat yang belum dipenuhi janji-janjinya dan apalagi yang dirampok hak miliknya. Sedangkan bagi yang mempunyai kemampuan membantu kalangan yang sedang menuntut hak, Gus Wahyu secara tegas mengatakan bisa menjadi sebuah kewajiban.
Dengan menyandingkan pemikiran Cak Nun dan Gus Wahyu ini, setidaknya bisa menjadi pelajaran bersama akan pemahaman tentang keagamaan, khususnya keislaman, agar tidak tergesa-gesa dan tidak ngawur dalam memahami tentang Islam, sehinga juga tidak kemudian seenak-udelnya mengintervensi agama lain, dan seterusnya. Setidaknya, ushul fikih memiliki porsi yang sangat penting sebagai pisau analisa untuk menyikapi suatu hal. Dikarenakan juga, di dalam ushul fikih ini merujuk pada dalil-dalil aqli/naqli, atsar, dan konteks. Dasar teks, ada yang qath'I dan yang dzanni. Di wilayah yang dzanni ini, diperlukan dalil-dalil yang jelas, analogi yang sesuai, serta pemahaman konteks yang mendalam. Bahkan, begitu menarik dan pentingnya ushul fikih, sampai saat ini membuat para pemikir hermeneutika masih terjebak di dalamnya (ushul fikih). Mereka belum bisa keluar dan hanya mengulang-ulang apa yang telah disampaikan di ushul fikih.
Walhasil, dengan memakai ushul fikih ini, sehingga menjadikan teks tampak hidup bila dilaksanakan secara cepat dan tepat. Teori ini dalam hermeneutika dikenal dengan teori "ijtihad mukhtar", dimana produk berpijak pada landasan terpilih. Hanya saja penilaian hermeneutika ini di dalam kacamata syariah terlampau berlebihan, bila melihat dari sudut pandang syariah yang masih memosisikan pelaku ushul fikih sebagai muqalid (orang yang taklid) karena belum mampu menelurkan pemikiran yang keluar dari asas yang digunakan.
*Tim Penulis: 1. Adi Wicaksono 2. Bashar Diquraishin (Direktur Utama Lembaga Hukum Mahasiswa Islam Jogjakarta dan Dirut Lembaga Kajian Sinergia Yogyakarta [LKSY]) 3. Felisiana Shinta (Mahasiswi Satra Rusia Universitas Padjajaran-Bandung) 4. Muhammad Akrom (Sekretaris Yayasan Kodama-Jogjakarta dan saat ini tercatat sebagai Mahasiswa Linguistik Pasca Sarjana Universitas Indonesia) 5. Nurdin Lubis (Dosen Kajian Tim-Teng dan Pimpinan Umum Dar at-Tarjamah Arab-Indonesia/ Indonesia-Arab) 6. Zamaahsari A. Ramzah (Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia) Esei dari Tim Penulis yg lain: Hadiah Wahyu NH. Aly untuk Ketua KPK Baru
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI