Mohon tunggu...
Yusuf Adityoswara Danu Andoko
Yusuf Adityoswara Danu Andoko Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seorang Pelajar Sekolah Menengah Atas

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Realisme-Sosialis dalam "Sekali Peristiwa di Banten Selatan"

23 Mei 2023   00:00 Diperbarui: 23 Mei 2023   06:43 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini dimulai dari seseorang bernama Ranta yang merupakan rakyat biasa dengan istrinya yang bernama Ireng. Karena kondisinya yang melarat dia dipaksa oleh seseorang bernama Juragan Musa yang merupakan penguasa di kawasan Banten Selatan untuk mencuri bibit karet agar tanya bisa mendapatkan sepeser uang. Walaupun Ranta berhasil, tetapi bukan imbalan yang dia dapatkan melainkan pukulan dan tuduhan maling terhadap Ranta agar Juragan Musa tak perlu membayar atau memberikan imbalan kepadanya. Ranta yang merupakan rakyat biasa tak mampu berbuat apa pun terhadap apa yang telah diperbuat juragan Musa ini. Setelah kejadian itu, Ada dua pemikul singkong yang sempat singgah di rumah gubuk Ranta. Seiring mereka berdua bercerita, ternyata mereka punya nasib yang sama, yaitu korban dari kebengisan Juragan Musa.

Dalam benak mereka timbul pertanyaan, apakah Juragan Musa merupakan bagian dari DI/TII yang kala itu mengacaukan daerah mereka? Kecurigaan ini muncul karena mereka sendiri melihat di tengah kacau balaunya daerah tersebut, Juragan Musa masih dapat hidup enak bahkan tak tersentuh sedikitpun dan luput dari kejahatan gerombolan DI/TII. 

Suatu ketika, Juragan Musa kembali ke kediaman Ranta untuk mencarinya. Ranta hanya berdiam diri di dalam gubuknya, dan  tak menggubris sedikit pun panggilan dari Juragan Musa untuknya. Karena kesal, Juragan Musa terus memaksa dan mencoba bertemu dengan Ireng untuk memaksa suaminya keluar. Dalam situasi tersebut, Akhirnya Ranta keluar dengan penuh amarah dan posisi badan yang tegap seakan ingin menerkam Juragan Musa. Alhasil Juragan Musa Kabur karena ketakutan, dan meninggalkan Tas dan Tongkat yang selalu dia bawa. Curiga dengan isi tas tersebut, Ranta, Ireng, dan Kedua Pemikul singkong yang baru saja melihat kejadian itu langsung bergegas ke rumah Pak Komandan, seorang Komandan Militer di daerah tersebut. Dan benar saja, tas tersebut berisi dokumen dokumen tentang Darul Islam (DI) yang telah mengacaukan daerah Ranta.

Melihat kenyataan bahwa Juragan Musa memiliki hubungan dengan DI/TII, Ranta dan Pak Komandan beserta Personil militer setempat berencana menangkap sekaligus menginterogasi Juragan Musa. Namun saat di Interogasi, Juragan Musa tidak mau mengakui dokumen dokumen yang dimilikinya itu dan mengelak bahwa dirinya termasuk gerombolan DI/TII. Lalu di tengah Interogasi tersebut, Pak Lurah datang yang membuat Pak Komandan, Ranta, dan Personil militer tersebut memutuskan untuk bersembunyi. Disitu mereka menemukan fakta baru, bahwasanya sang Lurah tersebut merupakan bagian dari DI/TII. Ditambah kehadirannya di rumah Juragan Musa adalah memberikan informasi untuk melakukan penyerangan terhadap markas militer setempat di tempat Pak Komandan bermarkas.

Singkat cerita Juragan Musa ditangkap beserta Pak Lurah dan beberapa gerombolan DI/TII yang sempat hadir bersamaan dengan Pak Lurah. Istri Juragan yang setia dan taat pada suaminya pun kaget dan berat hati melepas suaminya itu. Tanpa lama Pak Komandan langsung menunjuk Ranta sebagai Lurah, tentunya Ranta terkejut. Karena hanya Ranta yang mampu menggantikan posisi Lurah sebelumnya. Dan di bawah kepemimpinan Ranta, Daerah tersebut kian membaik dan stabil walaupun dalam benaknya selalu merasa waspada akan aksi pembalasan dendam DI/TII.

Dan benar saja, Aksi pembalasan dendam itu pun benar-benar terjadi. Namun Ranta yang sudah mewaspadai hal ini dari jauh-jauh hari telah menyiapkan segala sesuatunya dengan semangat gotong royong antar rakyat walaupun hanya berbekal bambu runcing dan alat seadanya. Dan pada akhirnya konflik pembalasan dendam itu dimenangkan oleh rakyat di bawah kepemimpinan Ranta. Dan Setelah kejadian itu, Daerah Banten Selatan berangsur menjadi lebih baik. Gerombolan DI/TII telah hilang, dan kini adalah saatnya Ranta membangun daerah tersebut. Membuat Waduk yang digunakan pula untuk budidaya Ikan adalah salah satu langkah awal Ranta. Ranta dibantu Pak Komandan mengajak rakyatnya untuk setidaknya menulis dan membaca, begitu pula dengan Istri Juragan Musa yang memilih mengabdikan dirinya untuk mendidik kaum wanita di sana untuk menulis dan membaca.

Dalam Novel ini, Realisme-Sosialis Pram kental dengan semangat anti kompromi dengan lawan-lawannya, sesuai dengan watak Realisme-Sosialis yang menentang penindasan. Dia memberikan kesan dan pelajaran, bahwa rakyat harus berdiri tegap melawan musuh-musuhnya dan rakyat harus mengacungkan tinjunya kepada musuh-musuh rakyat. Dalam Novel ini musuh rakyat digambarkan oleh Juragan Musa dan gerombolan DI/TII. 

Tentunya dengan melibatkan DI/TII dalam Novel dan menjadikannya sebagai tokoh antagonis membuat Novel ini berbau politis. Akan tetapi hal itu sangat selaras dengan jalan perjuangan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dinaungi Pram. LEKRA memiliki motto"Politik adalah Panglima". Dan dengan menyuarakan kebengisan DI/TII, rakyat Indonesia mampu mewaspadai gerakan gerakan serupa yang kontra-revolusi. Dan Realisme-Sosialis dengan LEKRA sebagai nahkodanya hadir dalam situasi itu dan menyelesaikannya dalam lapangan kebudayaan.

Selain itu, slogan "Seni Untuk Rakyat" seperti apa yang dikampanyekan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) tercermin jelas dalam Novel ini. "Rakyat merupakan satu satunya pencipta kebudayaan" begitulah bunyi penggalan Mukadimah LEKRA. Dan dalam Novel ini lah, rakyat diberikan tempat yang tinggi sebagai rakyat yang berwatak revolusioner, terutama Ranta sang tokoh utama. Dan itu semua dipraksiskan Pram lewat Realisme-Sosialis dalam buku ini.

Perlu diketahui, Realisme-Sosialis diterapkan dalam kerja sastra itu bukan dengan dogmatisme. Dan Pram menghindari pemikiran dogmatik itu, dia menyesuaikan dengan keadaan sekitar, termasuk dengan semangat gotong royong yang sangat ditekankan oleh Pram dalam Novel ini. Gotong royong merupakan ciri khas dari masyarakat Indonesia, dan pram menggunakan itu sebagai spirit rakyat dalam melawan ketertindasan.

Sebagai sebuah Novel eksperimental Pram dengan aliran Realisme-Sosialis, tentunya Novel ini punya kekurangan. Banyak momen-momen heroik yang seharusnya dapat tergambarkan dengan baik, seperti saat kemenangan rakyat melawan DI/TII yang justru momen itu kurang menggugah dan menciptakan euforia kemenangan bagi pembacanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun