Saat ini, kita hampir melewati satu tahun masa pandemi covid-19 sejak kasus pertama yang ditemukan di Indonesia diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Maret 2020. Menurut data terakhir dari Google News, per tanggal 29/1 total kasus positif di Indonesia sudah mencapai  lebih dari satu juta orang dan lebih dari 29 ribu di antaranya meninggal dunia. Di tingkat global, jumlah total kasus yang positif sudah mencapai lebih dari 100 juta orang dan lebih dari 2 juta di antaranya telah meninggal dunia.
Selain covid-19, beberapa tahun terakhir sebenarnya kita juga tengah menghadapi peningkatan jumlah kasus penyakit menular  lainnya termasuk  HIV/AIDS, hantavirus, hepatitis C, dan SARS. Yang terbaru, para ahli menyampaikan kekhawatirannya akan potensi mewabahnya virus Nipah di Asia setelah pandemi covid-19.Â
Peningkatan kasus penyakit-penyakit ini disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti perubahan demografis, sosial, lingkungan, teknologi, dan pemanasan global. Selama suhu global terus meningkat, bumi akan mengalami perubahan jangka panjang. Bersama dengan kerusakan lingkungan dan kerusakan habitat alam liar, pemanasan global dapat berdampak besar terhadap kesehatan manusia.Â
Bagaimana bisa perubahan iklim berpengaruh terhadap peningkatan kasus penyakit menular di masa mendatang?
Mengutip Abraham Lutsgarten, setidaknya ada tiga cara bagaimana iklim dapat berpengaruh terhadap munculnya penyakit menular pada manusia, yaitu melalui penularan dari binatang ke manusia karena hilangnya biodiversitas, penularan penyakit melalui vektor, dan pengaktivan kembali virus kuno yang sudah membeku selama ribuan tahun.
Penularan Penyakit dari Binatang ke Manusia Karena Hilangnya Biodiversitas
Pemanasan global mendorong punahnya spesies baik secara langsung maupun melalui infeksi penyakit menular. Dengan meningkatnya suhu yang terjadi secara terus-menerus, sebagian mahluk hidup di bumi tidak dapat bertahan hidup dan akhirnya mati. Dalam taraf tertentu, beberapa spesies bisa punah karena tidak mampu menyesuaikan diri.
Menurut penelitian tahun 2013, selama lebih dari seabad, banyak penelitian menunjukkan bahwa temperatur dan variabel iklim berpengaruh terhadap fisiologi dan demografi spesies parasit maupun nonparasit, baik pada kebiasaan, perkembangan, kesuburan, bahkan kematian mereka.
Di satu sisi, pemanasan temperatur dapat meningkatkan imunitas pada beberapa jenis serangga. Di sisi lain, pemanasan iklim dapat memberi efek positif yang lebih besar terhadap pertumbuhan dan replikasi parasit. Keadaan ini dapat menimbulkan wabah penyakit yang berpotensi mengurangi populasi inang secara drastis, atau bahkan membuatnya punah. Apalagi, bagi beberapa spesies, pemanasan iklim juga berefek pada penurunan daya imun mereka. Hal ini bisa berdampak besar jika inangnya adalah spesies kuci atau spesies yang dominan di habitatnya.
Selain karena faktor alam, aktivitas manusia seperti melakukan deforestasi, perluasan lahan pertanian, trophy hunting, dan proses produksi yang mencemari lingkungan juga turut memperparah keadaan, yang pada akhirnya menekan keberadaan biodiversitas. Berdasarkan data World Resources Institute, hutan utuh yang tersisa di seluruh dunia hanya 15%, menyebabkan keberadaan biodiversitas tertekan. Sedangkan menurut laporan dari PBB, saat ini jumlah spesies di bumi turun sebanyak 20% dan lebih dari sejuta hewan dan tumbuhan terancam punah.
Studi tahun 2010 menyebutkan bahwa berkurangnya biodiversitas dapat menyebabkan wabah karena berpotensi meneruskan patogen dari binatang ke manusia. Hal yang sama juga disampaikan oleh jurnal Proceeding of the Royal Society B. Menurut jurnal ini, ketika hewan-hewan besar diburu atau mati karena perubahan iklim, hewan-hewan kecil seperti kelelawar, tikus, dan lainnya bertahan karena mampu menyesuaikan diri dengan perubahan iklim dan bisa hidup berdampingan dengan manusia.
Hewan-hewan kecil yang bisa hidup berdampingan dengan manusia ini juga menyebabkan penyakit. Tikus saja misalnya, telah menyebabkan 60% penyakit yang ditularkan dari hewan. Suhu hangat dan curah hujan yang tinggi akibat pemanasan global, ditambah berkurangnya predator, membuat masalah tikus menjadi lebih besar.
Sebagaimana perubahan suhu dapat mengubah spesies, begitu juga dengan perubahan lanskap pertanian dan kota. Menurut studi, 30% dari munculnya penyakit menular di dunia seperti Ebola, Zika, dan wabah Nipah di Malaysia tahun 1999 disebabkan oleh masifnya deforestasi.
Penularan Penyakit Melalui Vektor
Menurut para ahli, penyebaran penyakit yang dibawa oleh vektor dipengaruhi oleh pemanasan global. Ilmuwan memprediksi bahwa jika pemanasan global terus terjadi, pada tahun 2050 kita akan menghadapi lebih banyak penyakit yang disebabkan oleh nyamuk dan mungkin bisa jauh lebih besar daripada pandemi covid-19.Â
Dalam studinya, Felipe J.C-Gonzalez menjelaskan bahwa peningkatan suhu dapat berpotensi menyebabkan kenaikan sekitar 7,5 juta kasus demam berdarah setiap tahun pada tahun 2050-an. Dengan demikian, upaya mengurangi peningkatan iklim global dapat menurunkan risiko penyebaran demam berdarah di masa depan.
Penelitian lain mengatakan bahwa di samping pemanasan global, kerusakan lingkungan juga berpotensi besar menimbulkan munculnya penyakit menular baru di masa mendatang, termasuk yang disebabkan oleh vektor. Rantai terjadinya pandemi mungkin saja terjadi dalam waktu yang lama dan tidak disadari, dimulai dengan perubahan ekosistem. Contohnya yaitu wabah West Nile yang terjadi di Amerika pada tahun 1999.Â
Mengutip Abraham Lutsgarten, kekeringan yang terjadi di Amerika pada waktu itu menimbulkan kubangan air sungai yang dapat digunakan nyamuk untuk berkembang biak, sementara predator nyamuk seperti capung dan katak banyak yang mati karena kekurangan air.
Sayangnya, perubahan iklim tidak hanya berefek pada bagaimana cara penyakit berpindah tetapi juga membuat kita menjadi lebih mudah sakit. Studi yang dilakukan oleh Derek R. Macfadden juga menyebutkan bahwa peningkatan temperatur dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Dalam keadaan resisten, Â bakteri yang menyebabkan penyakit pada manusia tidak lagi responsif terhadap obat yang diberikan. Kondisi ini menyebabkan pengobatan menjadi semakin sulit. Efeknya, obat antibiotik menjadi tidak efektif, infeksi penyakit menjadi lebih sulit disembuhkan, dan pada akhirnya dapat meningkatkan risiko penularan penyakit, memperparah penyakit, dan bahkan meningkatkan risiko kematian.
Pengaktivan Kembali Virus Kuno yang Sudah membekuÂ
Yang ketiga, pemanasan global dapat menimbulkan penyakit menular di masa depan karena dapat mengaktifkan kembali virus kuno yang sudah lama membeku. Mengutip phys.org, Menurut Vladimir Romanovsky, seorang professor Geofisika dari Universitas Alaska, mikroorganisme dapat bertahan dalam ruang beku dalam waktu yang sangat lama.
Selama tanah mencair, partikel-patikel tanah, material orgaik dan organisme yang terkunci selama ribuan tahun terbawa ke permukaan oleh aliran air. Inilah bagaimana proses pencairan dapat menyebarkan mikroorganisme masa lalu kembali ke dalam lingkungan kita.
Seperti halnya biji tanaman yang dapat bertahan dalam keadaan beku selama ribuan tahun dan dapat tumbuh kembali setelah dihangatkan, begitu juga dengan virus. Pada tahun 2014, ilmuwan berhasil menghidupkan kembali virus Siberia yang berusia kurang lbih 3000 tahun. Virus ini hanya menyerang amoeba, namun puluhan ribu tahun yang lalu mungkin juga ada patogen lain yang menyerang spesies lain yang berada pada rantai makanan yang lebih tinggi.
Neanderthal, mammoth, badak, semuanya jatuh sakit dan banyak yang mati. Virus yang menyebabkan kematian mereka mungkin saja masih ada di tanah dan bisa aktif kembali sewaktu-waktu ketika terjadi pemanasan. Kita tidak tahu ada berapa banyak virus yang bersembunyi di balik permafrost. Namun yang lebih penting dari itu adalah, seberapa bahayakah virus-virus itu.
Pada tahun 2016, seorang anak di Siberia meninggal karena penyakit Anthrax. Sebelumnya, penyakit ini telah menghilang selama kurang lebih 75 tahun. Kasus ini disebabkan oleh mencairnya bangkai yang sudah lama terkubur. Namun, beberapa pakar berpendapat bahwa mungkin hal ini bisa terjadi karena binatang itu masih berada di dalam ibun yang dangkal sehingga masih dapat mencair.
Patogen lain --seperti strain cacar atau influenza yang membunuh puluhan juta orang pada tahun 1917-1918- mungkin juga masih ada di daerah sub-Arctic, hanya saja sekarang patogen-patogen ini mungkin masih dalam keadaan nonaktif. Dengan adanya eksploitasi industri terhadap Arktic, kita sebenarnya juga tengah menghadapi risiko munculnya kembali patogen-patogen ini jika terjadi pencairan.
Sekalipun seandainya kehidupan kembali bakteri atau virus kuno akibat pemanasan global hanyalah spekulasi, kita tetap perlu waspada karena sejauh ini perubahan iklim telah terbukti mendorong penyebaran penyakit menular yang membunuh sekitar setengah juta orang per tahun, termasuk di antaranya penyakit malaria, demam berdarah, chikungunya, dan zika. Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk di masa depan, kita masih memiliki waktu untuk menjaga alam dan memperbaiki pola hidup yang ramah lingkungan. Menjaga keragaman hayati dan kelestarian alam adalah investasi terbesar untuk keselamatan hidup kita dan anak cucu kita di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H