Studi tahun 2010 menyebutkan bahwa berkurangnya biodiversitas dapat menyebabkan wabah karena berpotensi meneruskan patogen dari binatang ke manusia. Hal yang sama juga disampaikan oleh jurnal Proceeding of the Royal Society B. Menurut jurnal ini, ketika hewan-hewan besar diburu atau mati karena perubahan iklim, hewan-hewan kecil seperti kelelawar, tikus, dan lainnya bertahan karena mampu menyesuaikan diri dengan perubahan iklim dan bisa hidup berdampingan dengan manusia.
Hewan-hewan kecil yang bisa hidup berdampingan dengan manusia ini juga menyebabkan penyakit. Tikus saja misalnya, telah menyebabkan 60% penyakit yang ditularkan dari hewan. Suhu hangat dan curah hujan yang tinggi akibat pemanasan global, ditambah berkurangnya predator, membuat masalah tikus menjadi lebih besar.
Sebagaimana perubahan suhu dapat mengubah spesies, begitu juga dengan perubahan lanskap pertanian dan kota. Menurut studi, 30% dari munculnya penyakit menular di dunia seperti Ebola, Zika, dan wabah Nipah di Malaysia tahun 1999 disebabkan oleh masifnya deforestasi.
Penularan Penyakit Melalui Vektor
Menurut para ahli, penyebaran penyakit yang dibawa oleh vektor dipengaruhi oleh pemanasan global. Ilmuwan memprediksi bahwa jika pemanasan global terus terjadi, pada tahun 2050 kita akan menghadapi lebih banyak penyakit yang disebabkan oleh nyamuk dan mungkin bisa jauh lebih besar daripada pandemi covid-19.Â
Dalam studinya, Felipe J.C-Gonzalez menjelaskan bahwa peningkatan suhu dapat berpotensi menyebabkan kenaikan sekitar 7,5 juta kasus demam berdarah setiap tahun pada tahun 2050-an. Dengan demikian, upaya mengurangi peningkatan iklim global dapat menurunkan risiko penyebaran demam berdarah di masa depan.
Penelitian lain mengatakan bahwa di samping pemanasan global, kerusakan lingkungan juga berpotensi besar menimbulkan munculnya penyakit menular baru di masa mendatang, termasuk yang disebabkan oleh vektor. Rantai terjadinya pandemi mungkin saja terjadi dalam waktu yang lama dan tidak disadari, dimulai dengan perubahan ekosistem. Contohnya yaitu wabah West Nile yang terjadi di Amerika pada tahun 1999.Â
Mengutip Abraham Lutsgarten, kekeringan yang terjadi di Amerika pada waktu itu menimbulkan kubangan air sungai yang dapat digunakan nyamuk untuk berkembang biak, sementara predator nyamuk seperti capung dan katak banyak yang mati karena kekurangan air.
Sayangnya, perubahan iklim tidak hanya berefek pada bagaimana cara penyakit berpindah tetapi juga membuat kita menjadi lebih mudah sakit. Studi yang dilakukan oleh Derek R. Macfadden juga menyebutkan bahwa peningkatan temperatur dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Dalam keadaan resisten, Â bakteri yang menyebabkan penyakit pada manusia tidak lagi responsif terhadap obat yang diberikan. Kondisi ini menyebabkan pengobatan menjadi semakin sulit. Efeknya, obat antibiotik menjadi tidak efektif, infeksi penyakit menjadi lebih sulit disembuhkan, dan pada akhirnya dapat meningkatkan risiko penularan penyakit, memperparah penyakit, dan bahkan meningkatkan risiko kematian.
Pengaktivan Kembali Virus Kuno yang Sudah membekuÂ
Yang ketiga, pemanasan global dapat menimbulkan penyakit menular di masa depan karena dapat mengaktifkan kembali virus kuno yang sudah lama membeku. Mengutip phys.org, Menurut Vladimir Romanovsky, seorang professor Geofisika dari Universitas Alaska, mikroorganisme dapat bertahan dalam ruang beku dalam waktu yang sangat lama.