Mohon tunggu...
Aditya Pratama
Aditya Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Malang

Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Kenaikan Suku Bunga Dapat Menyebabkan Resesi

13 Desember 2022   19:48 Diperbarui: 13 Desember 2022   20:04 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resesi tahun 2023 menjadi topik hangat diperbincangkan oleh kalangan masyarakat. Seolah-olah tahun 2023 sangat mengerikan bagi perekonomian dunia sehingga orang-orang mempersiapkan diri untuk menghadapi resesi ini dengan caranya masing-masing. Banyak permasalahan yang terjadi belakangan ini yang membuat para ekonom memprediksi bahwa tahun 2023 menjadi tahun yang gelap bagi perekonomian.

Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani "Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang merupakan penggerak perekonomian berpotensi mengalami resesi pada tahun 2023," jelasnya pada saat menyampaikan pidato di dalam pengesahan Undang-Undang APBN 2023 (29/9/2023).

Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resesi adalah kelesuhan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurun (mundurnya,berkurangnya) kegiatan dagang (industri). Sehingga dapat disimpulkan secara teknikal, resesi ekonomi adalah ketika aktivitas perekonomian mengalami penurunan dalam waktu lama yang berakibat kepada masyarakat.

Saat terjadi resesi, perekonomian menjadi lesu yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 0 persen bahkan bisa menjadi minus. Secara garis besar penyebab resesi 2023 menurut para pakar ekonom adalah kemacetan kredit properti di China, perang Rusia-Ukraina, dan juga kenaikan suku bunga The Fed. Artikel ini akan membahas bagaimana kenaikan suku bunga The Fed dapat menyebabkan resesi Amerika Serikat bahkan dunia.

Covid-19 menyebabkan pertumbuhan ekonomi di dunia menurun sehingga menghambat rantai pasok (supply chain disruption) yang berakibat kepada inflasi di negara Amerika Serikat. Ditambah konflik Rusia-Ukraina memperburuk perekonomian negara-negara Uni Eropa dan Amerika yang sangat mengandalkan perdagangan internasional. 

Kekurangan supply energi dan pangan dari Ukraina dan Rusia membuat negara-negara Uni Eropa dan Amerika kesulitan dalam produksi guna memenuhi demand masyarakat. Padahal Uni Eropa dan Amerika membutuhkan pasokan energi yang cukup banyak untuk membangkitkan perekonomiannya yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. 

Kekurangan supply akibat produksi terhambat dan meningkatnya demand masyarakat yang akan menghadapi winter di Amerika menyebabkan inflasi Amerika meningkat secara tajam. Merespon kenaikan inflasi tersebut, The Fed menaikan suku bunga yang sampai hari ini Jumat (28/10) The Fed sudah menaikan suku bunganya sampai 5 kali pada tahun ini saja. 

Mengutip dari Kompas.com kenaikan Fed Fund Rate ini ditetapkan pada tanggal 17 Maret sebesar 25 bps, 5 Mei sebesar 50 bps, dan sebesar 75 bps pada 16 Juni, 28 Juli, dan 22 September. Melihat data dari id.tradingeconomics.com The Fed menaikan suku bunga yang semula pada Februari 2022 sebesar 0,25% menjadi 3,25% pada saat ini sebelum akan diprediksi naik lagi pada 3 November 2022. Sampai pada puncaknya diprediksi akan mencapai 4,6% pada akhir tahun 2023.

Akibat Dinaikannya Suku Bunga

Kenaikan suku bunga oleh The Fed diharapkan dapat mengurangi jumlah uang beredar sehingga inflasi dapat ditekan. Kenaikkan suku bunga ini membuat investasi pada Surat Obligasi Amerika Serikat lebih menggiurkan ketimbang instrumen investasi lainnya  apalagi yang high-risk seperti saham atau crypto currency. Menyimpan harta pada bentuk USD juga lebih menguntungkan apalagi USD menjadi mata uang paling populer digunakan di dunia.

Menurut data International Monetary Fund (IMF), cadangan devisa negara-negara secara global sebanyak 59 persennya dalam bentuk USD. Sehingga kenaikan suku bunga ini menyebabkan kenaikan permintaan terhadap USD akan semakin meningkat. Maka dari itu, nilai USD juga akan meningkat dengan begitu inflasi dapat diturunkan.

Namun, kenaikan suku bunga secara gesit ini menimbulkan masalah baru yang dapat menyebabkan resesi lagi untuk Amerika Serikat bahkan dunia. Ketika The Fed menaikan suku bunga, investor saham berbondong-bondong memindahkan uangnya ke Obligasi Amerika Serikat. Hal tersebut dapat dilihat melalui data yang dipublikasi katadata.co.id, kinerja raksasa teknologi seperti Meta, Netflix, Tesla, sampai Apple dan Microsoft di Bursa Saham mengalami penurunan. 

Investor lebih memilih berinvestasi terhadap instrumen yang rendah resiko namum memiliki keuntungan yang menggiurkan. Hampir setiap kenaikan suku bunga yang tetapkan oleh The Fed, pembelian obligasi selalu meningkat. Hal tersebut juga bisa dilihat dari data perkembangan Obligasi Amerika Serikat pada webside id.tradingeconomic.com.

Sumber: tradingeconomics.com
Sumber: tradingeconomics.com
Ketika penarikan saham besar-besaran ini terjadi, maka perusahaan tersebut akan kehilangan modalnya sehingga produksinya terhambat dan yang lebih parahnya lagi perusahaan tersebut bisa bangkrut. Dalam usaha menekan biaya produksi, perusahaan biasanya akan mengurangi pegawainya yang mengakibatkan banyaknya putusan hubungan kerja alias PHK.  

Mengutip katadata.co.id perusahaan sebesar microsoft telah melakukan PHK hampir 1.000 karyawannya di seluruh dunia pada bulan Oktober. Alasannya karena inflasi tinggi, kekhawatiran resesi dan penurunan harga saham. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Amerika saja, namun negara-negara lain juga kemumkinan besar akan merasakan dampaknya.

Ketika tingkat pengangguran meningkat demand akan menurun dan ketika demand menurun maka produktivitas akan banyak terhenti karena tidak ada konsumen yang dapat membeli hasil produksi tersebut dikarenakan tidak adanya penghasilan. Maka perekonomian akan lesu dan terjadilan resesi akibat kenaikan suku bunga ini. Kenaikan suku bunga juga meningkatkan nilai mata uang USD. Tidak selamanya kenaikan nilai mata uang terhadap valuta asing akan baik bagi perekonomian. 

Karena ketika negara yang mengandalkan perdagangan internasional menaikan nilai mata uangnya, jangkauan pasar perdagangannya akan berkurang karena harga-harga barang yang diekspor di atas kesanggupan pasar internasional.

Bayangkan saja ketika anda ingin membeli sepasang sepatu dari Amerika seharga $120 dengan kurs Rupiah terhadap USD sebesar Rp 15.000, maka anda akan membayar sebesar Rp 1.800.000 untuk sepasang sepatu buatan Amerika tersebut. Namun, ketika nilai mata uang Us dollar menguat sebesar Rp 17.000 karena kenaikan suku bunga, anda akan membayar sebesar Rp 2.040.000 untuk sepasang sepatu yang sama.

Sekalipun harga di pasar domestik Amerika tidak berubah $120, harga di pasar internasional akan berubah sebesar Rp 240.000. Kenaikan harga tersebut membuat jumlah permintaan sepasang sepatu tersebut akan menurun. Sesuai dengan hukum permintaan ; "jika harga suatu produk rendah, maka jumlah produk yang diminta akan bertambah. Dan saat harga suatu produk naik, maka jumlah produk yang diminta akan menurun."

Hal yang paling mengkhawatirkan dari kenaikan suku bunga ini adalah peningkatan pengangguran yang mengakibatkan perekonomian mengalami resesi. Di saat perekonomian sedang lesu dan pengangguran meningkat, maka akan menimbulkan masalah-masalah yang lainnya. Sehingga peran pemerintah dibutuhkan untuk mengantisipasi masalah tersebut agar tidak meluas. 

Bagi orang ekonom penurun inflasi tidak selamanya baik bagi perekonomian, karena dalam ilmu ekonomi terdapat trade-off antara pengangguran dan inflasi. Ketika ingin menekan inflasi maka pengangguran akan meningkat dan ketika menekan tingkat pengangguran maka inflasi akan meningkat. Maka dari itu dibutuhkan kebijakan yang benar-benar memiliki dampak yang paling kecil terhadap perekonomian.

  • Sampai Kapan Resesi Ini Terjadi?

Setidaknya resesi ini akan berlanjut sampai tahun 2023. The Fed diproyeksikan meningkatkan suku bunga sampai angka 4,6 persen pada akhir tahun depan. Dan diturunkan pada akhir tahun 2024 sebesar 3,9 persen. Sedangkan prospek suku bunga acuan jangka panjang berkisar diangka 2,5 persen. Namun, kenaikan suku bunga ini bukan satu-satunya penyebab resesi 2023, masih ada perang Rusia-Ukraina dan juga kemacetan kredit properti di China. Negara-negara tersebut mempunyai efek yang signifikan terhadap perekonomian dunia. Sehingga ketika negara-negara tersebut sedang goyah, maka akan berimbas terhadap perekonomian dunia pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun