Aku kebingungan hendak menjawab apa. Kucoba untuk mencari jawaban yang tak memalukan. Aku mencoba mengingat-ingat bagaimana biasanya aku bertemu dengan sila kelima. Tapi rasanya aku juga manusia biasa. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.
“Ah, kau malah bepikir keras. Jangan bilang kau tak pernah menjumpainya. Seharusnya kau akrab dengannya,” katanya. Ia mengelap dahinya yang tak berkeringat. Ia memandangiku dengan seksama. “Sudahlah. Kau bantu mereka untuk mencari sila kelima. Dia tidak akan pergi jauh. Aku masih ingin Pancasila ada lima,” perintahnya.
Aku pun keluar dari ruangannya. Kulihat seluruh warga sekolah sibuk mencari sila kelima. Ini benar-benar masalah genting. Tak mungkin kami membiarkan Pancasila tidak lima.
Dua orang siswa menghampiriku. Kuharap mereka berhasil menemukannya.
“Bagaimana sudah ketemu?” tanyaku.
“Itu dia, Pak. Kami sama sekali tak tahu ada di mana dia berada.”
“Kita cari sampai ketemu. Kalau tidak, Pancasila akan berubah jadi Catursila. Ayo!” ajakku.
“Sebentar, Pak,” seorang siswa mencegahku yang sudah hendak menyisir rumput. “Untuk apa Bapak cari sila kelima di antara rumput itu? Bapak kan Guru Kewarganegaraan.”
Aku sudah siap dengan pertanyaan dan pernyataannya ini. “Sudah kau tanyakan pada Guru Sejarah?” tanyaku.
“Guru Sejarah sudah mencarinya di perpustakaan, tapi tak ada. Dan memang tak ada satu pun guru yang tahu ia di mana, Pak,” jawabnya.
Ini benar-benar masalah penting. Sila kelima raib begitu saja. Jika semua orang tak tahu sila kelima di mana, maka Catursila pun sepertinya akan benar-benar menjadi solusi seluruh warga sekolah.