[caption id="attachment_375534" align="aligncenter" width="430" caption="Salah satu adegan ludruk di THR Surabaya, Sabtu (28/3) (dokpri)"][/caption]
Pada Sabtu Malam (28/3) saya menyempatkan diri untuk menonton ludruk di Kampung Seni THR (Taman Hiburan Rakyat) Surabaya. Ini untuk pertama kalinya saya menonton ludruk secara langsung. Selama ini saya memang hanya mendengar ludruk dari kaset tape atau VCD. Di TV ludruk juga disiarkan oleh JTV, televisi masyarakat Jawa Timur.
Saya cukup gemar menonton ludruk. Inilah hiburan komedi bagi masyarakat Jawa Timur. Berbeda dengan ketoprak yang menceritakan kehidupan istana, ludruk bercerita tentang problema yang dialami oleh rakyat jelata. Terlebih, selama ini saya menonton ludruk dengan Bahasa Jawa dialek Arek Suroboyoan. Sebuah dialek bahasa Jawa yang sangat unik dan membuat saya senang mendengarnya.
Saya datang ke THR bersama seorang teman. Sekitar pukul 22.30 WIB kami tiba di sana. Saya sudah mendengar gamelan Jawa berkumandang yang menandakan pertunjukan sudah dimulai. Kami membeli tiket dengan harga 5000 rupiah saja untuk bisa menonton hiburan dari Ludruk Irama Budaya ini. Harga yang sangat terjangkau. Kami pun masuk ke dalam gedung pertunjukan.
Ramai sekali. Mungkin karena ini akhir pekan. Saya taksir ada sekitar 60-80 penonton yang hadir di sini. Ada muda-mudi, ada sepasang suami istri bersama anaknya, ada pula wartawan yang saya lihat potret sana potret sini sambil wawancara dengan seorang yang saya taksir pengelola kesenian ini.
Di atas punggung saya melihat banyak perempuan sedang menari Tarian Bedayan diiringi gamelan yang dimainkan oleh para panjak. Saya mencoba untuk ngobrol dengan orang yang ada di sebelah saya barangkali bisa saya tanyai tentang ludruk di sini.
[caption id="attachment_375536" align="aligncenter" width="491" caption="Para Penari Bedayan di atas panggung (dokpri)"]
“Mulainya tadi jam berapa, Mas?” tanya saya.
“Jam setengah supuluh, Mas. Dari tadi ya menari begini,” jawabnya.
Saya menikmati pertunjukan ini. Tarian Bedayan yang merupakan tarian untuk menyambut tamu menampilkan 12 penari berpakaian kebaya. Ada yang unik dari sini, yakni munculnya tiga penari lintas usia dengan seorang nenek tua renta dan dua orang anak kecil.
[caption id="attachment_375537" align="aligncenter" width="614" caption="Penari lintas generasi (dokpri)"]
Tarian Bedayan selesai pada pukul 23.00 WIB. Pertunjukan dilanjutkan dengan kidungan jula-juli dari seorang pelakon yang saya dengar bernama Sapari. Di sinilah saya melihat beberapa penonton pergi meninggalkan bangkunya, termasuk orang di sebelah saya. Mungkin karena sudah larut malam.
Saya menikmati betul jula-juli dengan Bahasa Jawa dialek Arek khas Suroboyo ini. Jula jula yang merupakan lantunan kidung seperti pantun yang seringkali membuat penonton tertawa. Cukup lama Sapari mengidung, lantas masuklah seorang pelakon yang saya tahu bernama Poeryadi. Mereka pun mengluarkan dagelan-dagelan yang memancing tawa penonton.
[caption id="attachment_375538" align="aligncenter" width="614" caption="Poeryadi (kiri) dan Sapari memulai dagelannya (dokpri)"]
Dagelan terasa cukup, pertunjukan dilanjutkan dengan masuknya dua orang penyanyi untuk menembangkan beberapa lagi. Saya melihat beberapa orang memberikan uang (kalau di konser dangdut kita menyebutnya nyawer, entah kalau ludruk, sepertinya sama) kepada dua orang penyanyi itu. Muncullah dua orang penari cilik tadi menari dengan gerakan yang menggemaskan dan membuat kami sebuah terhibur. Saya melihat beberapa orang lantas nyawer untuk kedua penari cilik ini. Keberanian dua penari cilik untuk tampil di atas panggung ini memang pantas untuk diapresiasi.
Tembang terakhir adalah tembang favorit saya, Caping Gunung. Tembang ini biasanya saya dengar di pertunjukan wayang kulit dan ternyata juga dikumandangkan di pertunjukan ludruk. Saya ikut menyanyikannya. Syahdu sekali. Tembang berakhir, layar ditutup tanda pertunjukan selanjutnya akan segera dimulai. Saya taksir kini sudah waktunya lakon cerita dimulai di pukul 00.00 WIB ini. Saya melihat beberapa bangku penonton sudah kosong oleh penghuninnya. Mungkin karena malam sudah larut. Saya taksir ada sekitar 20 orang yang tersisa di dalam gedung ini.
Pembunuh Bayaran
Lakon dimulai dengan dikisahkannya sepasang suami istri yang kebingungan karena si suami sedang menganggur. Si suami (Slamet) lebih bingung lagi karena istrinya tengah hamil tujuh bulan dan ia tak berpenghasilan. Di tengah kebingungan mereka ini, datanglah teman Slamet yang bernama Gito untuk menawarkan pekerjaan.
Gito sendiri bercerita bahwa ia akan bekerja di kota dan mendapatkan penghasilan yang cukup. Sedangkan di desa, menggarap sawah memang tidak pasti sehingga sulit untuk jadi sandaran hidup. Slamet setuju, ia pun pergi ke kota dan meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan bersama Gito.
[caption id="attachment_375540" align="aligncenter" width="614" caption="Sapari (kiri) berperan sebagai majikan dan Poeryadi berperan sebagai pembantu (dokpri)"]
Adegan berganti dikisahkan di kota tinggallah Poeryadi yang menjadi babu bagi majikan yang merupakan keluarga etnis Tionghoa. Ketika Poeryadi tengah tenguk-tenguk, datanglah Gito dan Slamet untuk melamar kerja. Poeryadi berlagak seperti juragan dan menerima mereka berdua. Datanglah majikan Sapari yang merupakan majikan Poeryadi untuk menanyakan kedatangan Gito dan Slamet. Poeryadi menceritakan apa yang terjadi. Sapari pun menawarkan pekerjaan untuk Gito dan Slamet. Gito menanyakan apa yang harus dilakukannya, dan Sapari mengatakan bahwa kerjanya adalah pembunuh bayaran. Slamet yang membutuhkan uang pun langsung menerimanya. Sedangkan Gito yang tahu bahwa membunuh itu tindakan keji menolak mentah-mentah dan pergi dari rumah itu.
[caption id="attachment_375541" align="aligncenter" width="614" caption="Slamet dan Gito (kanan) datang melamar kerja (dokpri)"]
Gito pulang ke desa dan bertemu dengan istri Slamet. Gito menceritakan apa yan terjadi pada Slamet. Di tengah bercerita, lewatlah seorang polisi dan Gito langsung melaporkan apa yang dilakukan oleh temannya. Polisi itu langsung pergi ke rumah Sapari bersama Gito untk memproses kasus ini.
[caption id="attachment_375542" align="aligncenter" width="614" caption="Gito melaporkan Slamet kepada polisi (dokpri)"]
Sampai di rumah Sapari, polisi mengatakan bahwa ia mendapat laporan bahwa Sapari menyuruh seseorang untuk membunuh. Sapari mengaku bahwa ia memang membayar Slamet untuk membunuh. Ketika hendak ditangkap, datanglah anak buah Sapari yang lain bahwa yang dilakukan Slamet hanyalah membunuh binatang alias tukang jagal.
[caption id="attachment_375544" align="aligncenter" width="614" caption="Polisi hendak menangkap Sapari (dokpri)"]
Mendengar hal ini, polisi pun memarahi Gito atas laporan palsunya. Sebenarnya Gito tidak salah, karena Slamet memanglah seorang pembunuh bayaran. Pertunjukan pun berakhir pada pukul 01.00 WIB, Minggu (29/3) dinihari.
Bahasa yang Digunakan
Ada dua dialek Bahasa Jawa yang dipakai dalam ludruk ini, yakni dialek Arek dan Mataraman. Kedua dialek ini memang dituturkan oleh masyarakat Jawa Timur secara luas. Meskipun sama-sama Bahasa Jawa, namun aksen dan kosakata antara dua dialek berbeda sehingga terlihat sekali perbedaannya.
Sejauh yang saya ketahui selama ini, bahasa yang digunakan dalam ludruk adalah Bahasa Jawa dialek Arek khas Suroboyo. Namun dalam adegan perbincangan Gito dan Slamet, mendengar bahasa yang mereka pakai adalah Bahasa Jawa dialek Mataraman (dielek Bahasa Jawa atas pengaruh Kerjaan Mataram Jogja). Di Jawa Timur dialek ini dituturkan oleh masyarakat mulai Blitar, Kediri, Nganjuk sampai Pacitan, Ponorogo, dan Ngawi. Mungkini ini untuk menggambarkan bahwa mereka sebagai penduduk desa.
Ini bukanlah masalah yang penting memang, karena dialek Arek biasa dituturkan di sekitar Surabaya, Malang, Mojokerto, Sidoarjo, Jombang, sebagian Gresik, dan Pasuruan yang notabene adalah daerah industri, yang untuk menyimbolkan masyarakat kota.
Kesenian Tradisional Jawa Timur
Ludruk adalah hiburan kesenian asli dari Jawa Timur. Meskipun hiburan dan pertunjukkan modern terus berdatangan ke Surabaya, ludruk masih tetap bisa eksis dengan segala perjuangan yang dilakukan oleh para pengelolanya. Tengok saja harga tiket yang murah meriah, bandingkan saja dengan tiket bioskop dengan harga berkali lipat dari tiket ludruk.
Hiburan ini lebih merakyat dan mempertahankan kearifan lokal. Saya melihat penonton ludruk memang seolah hanya dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah. Inilah hiburan yang sejatinya bisa menembus berbagai kalangan.
Mungkin diperlukan usaha dari berbagai pihak seperti budayawan, kepada daerah, dinas kebudayaan, dan para generasi muda untuk melestarikan kebudayaan Jawa Timur ini. Saya khawatir lama-lama kesenian ini hanya tinggal cerita.
Surabaya, 29 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H