Mohon tunggu...
Tunggul Saka Adiddya
Tunggul Saka Adiddya Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Dosen STAI KH Badruzzaman

Melatih raga untuk kembali pada ruh dan jiwanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Emoticon Mas Paiman

11 Maret 2024   15:51 Diperbarui: 11 Maret 2024   17:00 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi apakah aktivitas pekerjaan mas Paiman bisa disebutkan kebahagiaan, menurut saya jika hal tersebut lebih tepatnya kepuasan, bukan kebahagiaan. Puas dengan hasil tangkapan mas Paiman, puas membantu orangtua, puas bekerjasama dengan sesama aktifitas rekan nelayan. Karena aktivitas pekerjaan mas Paiman pasti tidak mungkin setiap saat puas pasti ada saja tidak puasnya, misalnya saat hendak pergi melaut cuacanya buruk seperti saat ini, atau hasil tangkapannya yang berkurang dan sebagainya.

Maka bahagia menutupi rasa ketidakpuasan itu. Itulah bedanya senang dan bahagia, mungkin. Jika menyentuh rasa ingin bersyukur atas nikmat yang telah Allah anugerahkan, itu bahagia. Kalau tidak, itu masih sebatas senang. Setidaknya, itu menurut saya. Jadi apakah mas Paiman senang atau bahagia seketika kita langsung tertawa.

Bila kita menempuh cara-cara yang salah dan buruk untuk mencapai tujuan tertentu dalam aktivitas apapun, maka mas Paiman tidak akan merasakan atau menyebutkan saya dengan aktivitas saya bahagia padahal menurutku sesuatu yang beliau tunjukkan sedang bahagia pasti aslinya sedang menutupi ketidak bahagianya. Kita senang, atau puas, tapi tidak bahagia. Selalu ada sisi pada diri kita yang tak bisa kita dustai. Tinggal kita meyakini ada dan tidak ada yang kita cipatakan itu sendiri.

Tapi saya tidak menuduh Mas Paiman tidak bahagia dan sama halnya saya terlalu naif jika saya menuduh pemain-pemain politik kekuasaan tidak pernah memohon kebahagiaan pada Tuhannya. Dalam niat memohon doa, niscaya setiap kita minta dipisahkan dari derita dan disatukan dengan bahagia. Saya juga tidak yakin mereka tidak rajin berderma. 

Mulai dari membantu fakir miskin dan yatim piatu, membangun rumah ibadah, sampai mendirikan Yayasan untuk berbagai kegiatan kemanusiaan. Begitu mas Paiman, sontak terkaget karena beliau sedang menyiduk nasi untuk piring yang kedua, untuk menutupinya beliau lantas menanggapi "lantas bagaimana orang saat ini yang paling terkaya sampai saat ini, beliau tidak pernah bergeser dalam urutan terkaya bahkan mereka tidak berpolitik".

Namun, memang entah mengapa, sejak memainkan kekuasaan, sepertinya justru merekalah yang lantas dipermainkan oleh kekuasaan. Boleh jadi, kekuasaan memberi mahkota, tapi ternyata disertai meminta kepala---dengan seluruh akal sehat kita. Bisa jadi, kekuasaan menyematkan tanda-tanda kebesaran di dada, namun diikuti dengan merampas hati nurani kita.

Gus Komarudin lantas memotong pembicaraan saya dan mengingatkan saya pada kemelekatan dan kemelaratan. Ada seorang pangeran dari suatu negara yang lekat dengan kebangsawanan dan kekayaan namun kemudian memilih kemelaratan. Bukan karena skeptis pada kekuasaan, namun lebih dari itu: pangeran selaku putra mahkota tersebut tak lagi percaya pada kebahagiaan yang semu. Apalagi dilaksanakan dengan melekatkan kekuasaan sehingga dengan cara apapun dilakukan untuk melenggangkan kekuasaan.

Di luar istana, pangeran tersebut melihat orang letih, sakit, tua, dan mati. Disaksikannya betapa hidup ialah penderitaan. Demi mencapai kebahagiaan sejati, apakah manusia harus terlebih dahulu berebut untuk berkuasa? Lebih berkuasa dari yang lain? Tidak. Di dalam ajaran Islam, Dalam kitab Nashoihul 'Ibad, orang yang bahagia menurut pandangan Islam memiliki tiga ciri-ciri, yaitu berhati alim, berperilaku sabar dalam menghadapi cobaan, dan selalu bersyukur dengan apapun yang dimilikinya.

Dalam konteks politik kebangsaan hari-hari ini, apakah terlalu berlebihan jika berharap akan lahir lagi negarawan-negarawan di negeri ini yang paham akan dirinya serta kapasitasnya? Karena politik kekuasaan dan dinasti yang lebih dominan di dalam politik kebangsaan, apakah sewajarnya jika yang kemudian bermunculan hanyalah para pemburu kekuasaan dengan cara apapun bahkan memanipulasi kekuasaan?

Jika tanpa bahagia dalam ajaran agama apapun, dalam politik kekuasaan, tak pelak yang kita dapati dari periode ke periode, dari masa ke masa, adalah karma demi karma politik kekuasaan, yang ujung-ujungnya rakyatlah yang akan menderita dan makin menderita. Terlebih dilakukan dengan nafsu kekuasaan.

Saya masih meyakini politik kekuasaan yang ada saat ini masih bisa lebih baik dari hari-hari ini dan masa-masa yang telah silam tidak formalitas hanya emoticon. Sesungguhnya, agamalah yang digunakan dalam segala segi kehidupan, termasuk dalam berbangsa dan bernegara, jika tak ada malpraktik di dalamnya, yaitu hanya sekadar untuk mencapai kesenangan dan kepuasan pribadi dan golongan, serta keluarganya sendiri dalam politik kekuasaan, bukan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun