Tiba dari suatu acara di Jakarta Pusat dengan badan yang kurang enak karena saya belum tidur selepas acara seharian saat itu serasa masuk angin, Sabtu sore, semula saya ragu sanggup pergi ke suatu tempat, yang berada di Jakarta Selatan, Minggu kemarin. Tapi, karena sudah janji beliau temanku Gus Komarudin memintaku untuk hadir, saya berusaha tetap bangkit dan berangkat.
Terlebih lagi, beliau jauh datang dari Sumatera dan kami sudah lama tak bersua. Dua atau tiga tahun lalu, saya diundang di Masjid tempat di Jakarta Utara, untuk bertutur kata dan berbincang dengan jemaahnya. Kali ini, saya banyak diam, tertegun demi mendengar kajian mereka, saya tertarik dengan salah satu Jamaah yang bernama Paiman beliau bertanya terkait Ibadahnya yang tidak khusyuk.
Temanku Gus Komarudin menjawab dengan ambil kutipan seorang penyair sufi "Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk maka tetaplah persembahkan doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan karena Tuhan dalam rahmatnya tetap menerima mata uang palsumu." beliau adalah Maulana Jalaluddin Rumi."
Mas Paiman bertanya kembali bukan maksud saya menginterupsi Gus, jenengan yang sedang bicara dari apa yang panjenengan jelaskan. Tapi, kalau berdoa saja tidak khusyuk apakah doanya tidak pakai niat, apakah dengan niat saja itu sudah dinamakan berdoa. Begitu fokus saya lihat temanku Gus Komarudin mendengarnya dibakarnya rokok kreteknya, saya duduk disamping di deretan temanku dan para tokoh masyarakat yang lain.
Setelah 1 Jam berlangsung, duduk saya di samperin Mas Paiman yang tadi sempat bertanya rupanya beliau kurang puas dari jawaban yang dijelaskan temanku, beliau mas Paiman mengenalkan diri kepadaku masih muda dariku, usianya 29 tahun. Sejak lulus SMP beliau sudah membantu orang tuanya mencari ikan dilaut aktivitas melautnya mulai dari jam 7 malam sampai jam 5 subuh, hari ini beliau tidak melaut karena cuaca buruk, praktis hampir semua nelayan tidak melaut.
Beliau bercerita kepadaku "Kita hidup untuk mencapai bahagia. Saya memilih menjadi nelayan karena tidak ada pilihan lain yang ada kepadaku ketika orangtua memintaku untuk membantunya bekerja dilaut bagiku menemukan kebahagiaan disini," ungkap Mas Paiman. Saya melihat langsung kondisi dalam masjid disekiling saya dan dari dekat betapa cerianya mereka selepas kajian, dengan saling menuangkan nasi untuk makan bersama dengan roman bahagia penuh suka cita.
Gus Komarudin, mengatakan, "Kita takkan mengambil lebih, tapi hanya secukupnya dan sepantasnya." Beliau juga berpetuah: mengambil lebih, bahkan sekadar menginginkan lebih, ialah awal mula penderitaan yang bisa menjauhkan kita dari kebahagiaan. Sontak saat itu saya lihat mereka mulai mengurangi porsi mereka beda halnya mas Paiman beliau saya lihat belum memegang centong nasi.Â
Saya mengajak mas Paiman ayo mas makan beliau berbicara sembari berbisik, "Nanti mas nunggu semua sudah mengambil jatah makannya, karena saya tidak mau mengambil lebih atau merasa kurang yang sedapatnya rejeki yang saya terima". Lantas sahutku bagaimana jika sisa itu melebihi jumlah porsi yang diterima kepada mas bukankah jika mendapatkan jatah lebih menjauhkan kita dari kebahagiaan. Mas Paiman menjawab "Apakah jika makanan terbuang bukankah lebih menyakitkan bagi dia yang melihat dan membutuhkan".
Lanjut Mas Paiman, Tentu kita sepakat, kebahagiaan menjadi cita-cita setiap manusia, siapa pun, baik ia percaya Tuhan atau tidak, beragama atau tidak. Bukankah tak ada manusia yang menginginkan penderitaan baik saat ini kita sedang berkumpul diluar sana yang mendengar dan melihat kita berkumpul, atau jangan kajian kita malam ini hanya emoticon, perasaan yang mudah dibuat tapi sulit untuk melaksanakannya dalam dunia realitas kita.
Kita Kembali kepada Doa dan niat. Ada orang yang rela dirinya menderita untuk kebahagiaan orang banyak, tapi ada pula orang yang tega menjadikan orang banyak menderita demi kebahagiaan pribadi atau kelompoknya sendiri. Dan, agama acap juga dijadikan alat untuk mereguk kebahagiaan duniawi itu. Jadi apakah Doa yang kita niatkan atau niat yang ada dalam Doa atau kita yang salah gunakan doa dan niat.
Jadi apakah aktivitas pekerjaan mas Paiman bisa disebutkan kebahagiaan, menurut saya jika hal tersebut lebih tepatnya kepuasan, bukan kebahagiaan. Puas dengan hasil tangkapan mas Paiman, puas membantu orangtua, puas bekerjasama dengan sesama aktifitas rekan nelayan. Karena aktivitas pekerjaan mas Paiman pasti tidak mungkin setiap saat puas pasti ada saja tidak puasnya, misalnya saat hendak pergi melaut cuacanya buruk seperti saat ini, atau hasil tangkapannya yang berkurang dan sebagainya.
Maka bahagia menutupi rasa ketidakpuasan itu. Itulah bedanya senang dan bahagia, mungkin. Jika menyentuh rasa ingin bersyukur atas nikmat yang telah Allah anugerahkan, itu bahagia. Kalau tidak, itu masih sebatas senang. Setidaknya, itu menurut saya. Jadi apakah mas Paiman senang atau bahagia seketika kita langsung tertawa.
Bila kita menempuh cara-cara yang salah dan buruk untuk mencapai tujuan tertentu dalam aktivitas apapun, maka mas Paiman tidak akan merasakan atau menyebutkan saya dengan aktivitas saya bahagia padahal menurutku sesuatu yang beliau tunjukkan sedang bahagia pasti aslinya sedang menutupi ketidak bahagianya. Kita senang, atau puas, tapi tidak bahagia. Selalu ada sisi pada diri kita yang tak bisa kita dustai. Tinggal kita meyakini ada dan tidak ada yang kita cipatakan itu sendiri.
Tapi saya tidak menuduh Mas Paiman tidak bahagia dan sama halnya saya terlalu naif jika saya menuduh pemain-pemain politik kekuasaan tidak pernah memohon kebahagiaan pada Tuhannya. Dalam niat memohon doa, niscaya setiap kita minta dipisahkan dari derita dan disatukan dengan bahagia. Saya juga tidak yakin mereka tidak rajin berderma.Â
Mulai dari membantu fakir miskin dan yatim piatu, membangun rumah ibadah, sampai mendirikan Yayasan untuk berbagai kegiatan kemanusiaan. Begitu mas Paiman, sontak terkaget karena beliau sedang menyiduk nasi untuk piring yang kedua, untuk menutupinya beliau lantas menanggapi "lantas bagaimana orang saat ini yang paling terkaya sampai saat ini, beliau tidak pernah bergeser dalam urutan terkaya bahkan mereka tidak berpolitik".
Namun, memang entah mengapa, sejak memainkan kekuasaan, sepertinya justru merekalah yang lantas dipermainkan oleh kekuasaan. Boleh jadi, kekuasaan memberi mahkota, tapi ternyata disertai meminta kepala---dengan seluruh akal sehat kita. Bisa jadi, kekuasaan menyematkan tanda-tanda kebesaran di dada, namun diikuti dengan merampas hati nurani kita.
Gus Komarudin lantas memotong pembicaraan saya dan mengingatkan saya pada kemelekatan dan kemelaratan. Ada seorang pangeran dari suatu negara yang lekat dengan kebangsawanan dan kekayaan namun kemudian memilih kemelaratan. Bukan karena skeptis pada kekuasaan, namun lebih dari itu: pangeran selaku putra mahkota tersebut tak lagi percaya pada kebahagiaan yang semu. Apalagi dilaksanakan dengan melekatkan kekuasaan sehingga dengan cara apapun dilakukan untuk melenggangkan kekuasaan.
Di luar istana, pangeran tersebut melihat orang letih, sakit, tua, dan mati. Disaksikannya betapa hidup ialah penderitaan. Demi mencapai kebahagiaan sejati, apakah manusia harus terlebih dahulu berebut untuk berkuasa? Lebih berkuasa dari yang lain? Tidak. Di dalam ajaran Islam, Dalam kitab Nashoihul 'Ibad, orang yang bahagia menurut pandangan Islam memiliki tiga ciri-ciri, yaitu berhati alim, berperilaku sabar dalam menghadapi cobaan, dan selalu bersyukur dengan apapun yang dimilikinya.
Dalam konteks politik kebangsaan hari-hari ini, apakah terlalu berlebihan jika berharap akan lahir lagi negarawan-negarawan di negeri ini yang paham akan dirinya serta kapasitasnya? Karena politik kekuasaan dan dinasti yang lebih dominan di dalam politik kebangsaan, apakah sewajarnya jika yang kemudian bermunculan hanyalah para pemburu kekuasaan dengan cara apapun bahkan memanipulasi kekuasaan?
Jika tanpa bahagia dalam ajaran agama apapun, dalam politik kekuasaan, tak pelak yang kita dapati dari periode ke periode, dari masa ke masa, adalah karma demi karma politik kekuasaan, yang ujung-ujungnya rakyatlah yang akan menderita dan makin menderita. Terlebih dilakukan dengan nafsu kekuasaan.
Saya masih meyakini politik kekuasaan yang ada saat ini masih bisa lebih baik dari hari-hari ini dan masa-masa yang telah silam tidak formalitas hanya emoticon. Sesungguhnya, agamalah yang digunakan dalam segala segi kehidupan, termasuk dalam berbangsa dan bernegara, jika tak ada malpraktik di dalamnya, yaitu hanya sekadar untuk mencapai kesenangan dan kepuasan pribadi dan golongan, serta keluarganya sendiri dalam politik kekuasaan, bukan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tahun ini, di negeri kita telah melewati tahun politik untuk presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif, yang akan dilanjutkan dengan Pemilihan Kepala Daerah serentak pada November 2024. Padahal, ada satu kata yang tidak ditulis, yaitu politik yang sedang berkuasa. Ya, politik lagi berkuasa. Pilih mana antara politik yang berkuasa dan kekuasaan yang berpolitik? Barangkali, kita masih punya sedikit waktu untuk merenungkannya. Dan demokrasi emoticon mas Paiman menempatkan simpati kita walaupun aslinya tidak simpati.
Namun, jika dahadapkan pilihan antara kemenengan dan kebahagiaan Mas Paiman memilih yang mana, "Menyenangkan kebahagiaan maka demokrasi emoticon masih sangat perlu dalam kondisi saat ini, lantas menimpali apakah kemenangan akan menjadi bahagia?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H