Mohon tunggu...
Aditya Nuryuslam
Aditya Nuryuslam Mohon Tunggu... Auditor - Menikmati dan Mensyukuri Ciptaan Ilahi

Menjaga asa untuk senantiasa semangat berikhtiar mengadu nasib di belantara Megapolitan Ibukota Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dunia Pendidikan Indonesia Sedang Tidak Baik Baik Saja - Kembalikan UN Sebagai Daya Ungkit Kemajuan Pendidikan Nasional

10 Desember 2024   21:51 Diperbarui: 10 Desember 2024   21:51 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pier.web.id/artikel-148-5-perbedaan-kurikulum-merdeka-dengan-kurikulum-2013.html

Pendidikan adalah soko guru bangsa, demikian yang senantiasa digaungkan para pendahulu kita untuk memberikan penekanan bahwa pendidikan adalah salah satu kunci menentukan keberhasilan suatu bangsa. Dengan pendidikan yang bagus, akan memberikan implikasi positif terhadap kemajuan suatu bangsa.

Mutu pendidikan negara Indonesia ini sebenarnya berkembang fluktuatif dinamis tergantung dengan pendekatan yang digunakan dalam menentukan sistem pendidikan apa yang digunakan. Kita mengenal sistem pendidikan kurikulum CBSA, sistem pendidikan kurikulum merdeka, kurikulum berbasis kompentensi, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kurikulum tahun 2013 (k-13).  

Genap satu dekade Indonesia bereksperimen di bidang pendidikan dengan pola merdeka belajar. Sebagai orang awam di dunia pendidikan, saya merasa pola pendidikan saat ini yang memberikan kebebasan kepada murid untuk memilih mata pelajaran sesuai keinginan ini belum tepat untuk kondisi saat ini.

Hal ini dinilai tidak tepat mengingat tingkat pemahaman masyarakat Indonesia sangat beragam, dan bisa dibilang sebagian besar belum siap dengan pola pendidikan yang bebas memilih pelajaran sesuai minat dan bakat ini. Pada akhirnya banyak pelajar yang tidak punya arah belajarnya, sehingga kualias output yang dihasilkannyapun kurang menggembirakan.

Belum lagi kebijakan tata kelola pendidikan ini yang saya rasa cukup kontroversial semisal : pola zonasi pendaftaran sekolah, pola penilaian "tinggi" terhadap calon anak didik berbasis umur, serta kebijakan tidak ada lagi "tinggal kelas" bagi anak didik yang  dinilai kurang mampu mengikuti pelajaran. Selain itu kebijakan tidak ada lagi Ujian Nasional (UN) dan menyerahkan penilaian hanya pada pihak sekolah inipun telah menuai banyak kritik dan kecaman terutama pada obyektivitas si pembuat nilai di sekolah.

Mari kita kupas satu persatu permasalahan yang timbul dari "revolusi" merdeka belajar 10 tahun terakhir ini:

1.   Merdeka dalam memilih pelajaran sekolah sesuai minat dan bakat murid

Idealnya pola ini sangat bagus secara teori, namun dalam praktek pelaksanaannya bisa dibilang jauh api dari panggang. Hal ini disebabkan secara umum SDM kita belum siap, boleh jadi orang tua tidak tahu apa yang harus di sarankan ke anaknya, disisi lain si anak juga tidak tahu musti ambil pelajaran apa yang sesuai dengan target ke depannya (mau kuliah di jurusan apa) Alhasil si anak mengambil sesuka dia atau lebih parahnya lagi dia memilih dengan pola cap cip cup alias pilih asal asalan saja, dan pastinya akan kurang baik bagi pendidikannya.

2.  Zonasi Pendaftaran Sekolah

Pembatasan gerak dan area pendaftaran sekolah ini, menurut saya juga wajib di evaluasi dimana pembatasan area pendaftaran sekolah ini menyebabkan calon anak didik terbatas pilihan sekolahnya dan sempitnya area zona pendaftaran juga membuat kesulitan tersendiri bagi calon anak didik yang berada di zona tiga (zona yang menjadikan umur sebagai syarat utama diterima tidaknya di calon murid dan bukan berdasarkan ranking prestasi). Akhirnya muncul praktek manipulasi KK (domisili)

3.  Penerimaan Calon Siswa Berbasis Umur  

Konsekuensi pemberlakuan zonasi pendaftaran sekolah sebagaimana point 2, berimplikasi munculnya zona prioritas 1, zona prioritas 2 dan zona prioritas 3. Zona prioritas  1 lingkupnya satu atau beberapa rt di sekitar sekolah, zona prioritas 2 kurang lebih areanya satu atau beberapa rw terdekat dengan wilayah sekolah. Zona prioritas 3 kurang lebih areanya satu atau beberapa kelurahan yang dekat dengan sekolah. Zona prioritas 3 ini selain jarak, diperhitungkan juga umur calon siswa yang menurut saya ini kurang bijak kebijakannya. Faktor umur ini bukan tidak menjadi masalah, karena perbedaan usia yang terlalu jauh antar anak didik ini  berpotensi terjadi konflik dan budaya bullying. 

4.  Kebijakan tidak ada anak didik yang tinggal kelas

Menurut saya ini adalah kebijakan salah kaprah yang menjadi bumerang bagi kualitas kinerja pembelajaran siswa. Bagaimana tidak, jika semua anak naik jenjang sekolah tanpa ada pembekalan ilmu yang cukup dan pemahaman akan ilmu yang diajarkan sangat minim, maka akan melahirkan generasi generasi yang minim pengetahuan dan juga minim keahlian. Tak heran jika di beberapa tayangan medsos memperlihatkan siswa-siswa kelas menengah atas yang tidak mampu mengerjakan soal-soal yang seharusnya menjadi materi pembelajaran anak siswa sekolah dasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun