Pendidikan adalah soko guru bangsa, demikian yang senantiasa digaungkan para pendahulu kita untuk memberikan penekanan bahwa pendidikan adalah salah satu kunci menentukan keberhasilan suatu bangsa. Dengan pendidikan yang bagus, akan memberikan implikasi positif terhadap kemajuan suatu bangsa.
Mutu pendidikan negara Indonesia ini sebenarnya berkembang fluktuatif dinamis tergantung dengan pendekatan yang digunakan dalam menentukan sistem pendidikan apa yang digunakan. Kita mengenal sistem pendidikan kurikulum CBSA, sistem pendidikan kurikulum merdeka, kurikulum berbasis kompentensi, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kurikulum tahun 2013 (k-13). Â
Genap satu dekade Indonesia bereksperimen di bidang pendidikan dengan pola merdeka belajar. Sebagai orang awam di dunia pendidikan, saya merasa pola pendidikan saat ini yang memberikan kebebasan kepada murid untuk memilih mata pelajaran sesuai keinginan ini belum tepat untuk kondisi saat ini.
Hal ini dinilai tidak tepat mengingat tingkat pemahaman masyarakat Indonesia sangat beragam, dan bisa dibilang sebagian besar belum siap dengan pola pendidikan yang bebas memilih pelajaran sesuai minat dan bakat ini. Pada akhirnya banyak pelajar yang tidak punya arah belajarnya, sehingga kualias output yang dihasilkannyapun kurang menggembirakan.
Belum lagi kebijakan tata kelola pendidikan ini yang saya rasa cukup kontroversial semisal : pola zonasi pendaftaran sekolah, pola penilaian "tinggi" terhadap calon anak didik berbasis umur, serta kebijakan tidak ada lagi "tinggal kelas" bagi anak didik yang  dinilai kurang mampu mengikuti pelajaran. Selain itu kebijakan tidak ada lagi Ujian Nasional (UN) dan menyerahkan penilaian hanya pada pihak sekolah inipun telah menuai banyak kritik dan kecaman terutama pada obyektivitas si pembuat nilai di sekolah.
Mari kita kupas satu persatu permasalahan yang timbul dari "revolusi" merdeka belajar 10 tahun terakhir ini:
1. Â Merdeka dalam memilih pelajaran sekolah sesuai minat dan bakat murid
Idealnya pola ini sangat bagus secara teori, namun dalam praktek pelaksanaannya bisa dibilang jauh api dari panggang. Hal ini disebabkan secara umum SDM kita belum siap, boleh jadi orang tua tidak tahu apa yang harus di sarankan ke anaknya, disisi lain si anak juga tidak tahu musti ambil pelajaran apa yang sesuai dengan target ke depannya (mau kuliah di jurusan apa) Alhasil si anak mengambil sesuka dia atau lebih parahnya lagi dia memilih dengan pola cap cip cup alias pilih asal asalan saja, dan pastinya akan kurang baik bagi pendidikannya.
2. Â Zonasi Pendaftaran Sekolah
Pembatasan gerak dan area pendaftaran sekolah ini, menurut saya juga wajib di evaluasi dimana pembatasan area pendaftaran sekolah ini menyebabkan calon anak didik terbatas pilihan sekolahnya dan sempitnya area zona pendaftaran juga membuat kesulitan tersendiri bagi calon anak didik yang berada di zona tiga (zona yang menjadikan umur sebagai syarat utama diterima tidaknya di calon murid dan bukan berdasarkan ranking prestasi). Akhirnya muncul praktek manipulasi KK (domisili)
3. Â Penerimaan Calon Siswa Berbasis Umur Â
Konsekuensi pemberlakuan zonasi pendaftaran sekolah sebagaimana point 2, berimplikasi munculnya zona prioritas 1, zona prioritas 2 dan zona prioritas 3. Zona prioritas  1 lingkupnya satu atau beberapa rt di sekitar sekolah, zona prioritas 2 kurang lebih areanya satu atau beberapa rw terdekat dengan wilayah sekolah. Zona prioritas 3 kurang lebih areanya satu atau beberapa kelurahan yang dekat dengan sekolah. Zona prioritas 3 ini selain jarak, diperhitungkan juga umur calon siswa yang menurut saya ini kurang bijak kebijakannya. Faktor umur ini bukan tidak menjadi masalah, karena perbedaan usia yang terlalu jauh antar anak didik ini  berpotensi terjadi konflik dan budaya bullying.Â
4. Â Kebijakan tidak ada anak didik yang tinggal kelas
Menurut saya ini adalah kebijakan salah kaprah yang menjadi bumerang bagi kualitas kinerja pembelajaran siswa. Bagaimana tidak, jika semua anak naik jenjang sekolah tanpa ada pembekalan ilmu yang cukup dan pemahaman akan ilmu yang diajarkan sangat minim, maka akan melahirkan generasi generasi yang minim pengetahuan dan juga minim keahlian. Tak heran jika di beberapa tayangan medsos memperlihatkan siswa-siswa kelas menengah atas yang tidak mampu mengerjakan soal-soal yang seharusnya menjadi materi pembelajaran anak siswa sekolah dasar.
5. Â Dihapuskannya Ujian Nasional sebagai Bukti Tingkat Kemampuan Siswa
 Ini adalah kebijakan populis bagi sebagian warga negara ini, namun mereka tidak bisa memprediksi dampak dari hilangnya Ujian Nasional di masa depan yang menurut saya memiliki daya "damage" luar biasa di segala bidang. Tanpa Ujian Nasional, penilaian akan kelulusan dan kemampuan siswa hanya ditentukan oleh sekolah tempat dia belajar. Hal ini pastilah akan memperlebar bias penilaian antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Belum lagi munculnya praktik mark up nilai seperti kasus di Depok terjadi praktik mark up nilai rapor 51 lulusan SMP 19 (TribunBekasi.Com tanggal 16 Juli 2024). Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan orang tua murid dan berkaca dari kasus diatas perlunya Pemda memerintahkan Aparat Pengawas Intern Pemerintah digerakkan melakukan audit di semua jenjang sekolah untuk memitigasi resiko sebagaimana yang terjadi di SMP 19 Pemkot Depok.
Berkaca dari beberapa kekurangan dalam pelaksanaan kurikulum merdeka belajar, maka Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah berupaya mengurai benang kusut secara bertahap. Salah satunya adalah dengan memunculkan ide untuk menghidupkan kembali Ujian Nasional. Secara konsep, saya sangat setuju dengan ide Mendikdasmen, guna memacu baik tenaga pendidik dan siswa didik untuk lebih extra effort meningkatkan kualitas kinerja kependidikan.
Selain itu juga pada kesempatan lain, Wakil Presiden juga menyampaikan agar dihapuskan kebijakan tentang zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB), yang pada akhirnya juga menghapuskan kebijakan turunannya yaitu penerimaan siswa zona prioritas 3 berdasarkan umur anak didik. Menurut kami, ketika Ujian Nasional sudah dijalankan lagi, maka kebijakan zonasi PPDB pun akan hilang dengan sendirinya, kalaupun ada zonasinya diperluas dan variabel umur siswa dengan serta merta hilang berganti dengan nilai kelulusan siswa berbasis Ujian Nasional.
Hal lain yang menurut saya urgent untuk dihapuskan adalah inti dari kebijakan merdeka belajar untuk diperbaiki menjadi kebijakan belajar yang terbimbing bukan dibebaskan tanpa arah. Pengetahuan dan ketrampulan dasar wajib dipelajari setiap siswa, setelah itu ketika masuk penjurusanpun juga didasarkan kepada kemampuan dan dikombinasikan dengan minat dan bakat.
Kurikulum berbasis prestasi dan kompetisi adalah solusi bagi pendidikan bangsa ini ke depan. Hal ini didasarkan dengan adanya persaingan global yang menuntut setiap warga negara untuk lebih kompetitif di segala bidang baik itu pendidikan, ketrampilan maupun penguasaan dalam menjawab tantangan dunia. Untuk itu perlu dihidupkan kembali semangat juang anak-anak bangsa yang sempat terlena selama 10 tahun ini, dengan kebijakan tidak ada siswa yang tinggal kelas. Proses pendidikan yang kompetitif ini diharapkan mampu merangsang peserta didik untuk terus berusaha menjadi yang terbaik, sehingga akan mendapatkan kesempatan bersekolah di tempat yang terbaik hingga jenjang perkuliahan nanti.
Presiden Prabowo pun dalam aksa cita nya di bidang pendidikan juga sangat jelas dan komitmen meningkatkan kualitas anak didik dimana salah satu upayanya adalah akan membuat sekolah-sekolah unggulan di setiap daerah guna menampung bibit bibit unggul anak bangsa yang nantinya mampu menjadi penggerak kemajuan Indonesia di masa mendatang    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H