Lebih dari 20 tahun, semenjak pertama kali Indonesia melakukan "Big Bang" perubahan kebijakan dari yang awalnya Sentralisasi menjadi Desentralisasi ini, relah melahirkan satu orde yang dinamakan Otonomi Daerah. Hampir seluruh urusan diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan menyisakan 6 urusan wajib yang hanya dimiliki oleh pemerintah pusat yaitu pertahanan keamanan, moneter, fiskal, politik luar negeri, yustisi dan agama.
Otonomi daerah diikuti dengan desentralisasi fiskal yaitu penyerahan sebagian pendapatan negara menjadi pendapatan pemerintah daerah, bagi hasil dari pendapatan negara, dana alokasi umum yang bersumber dari APBN dan beberapa jenis pendanaan lain yang spesifik peruntukannya semisal dana alokasi khusus, dana desa dan dana otonomi khusus/dana keistimewaan.
Namun demikian, dalam kurun dua dasawarsa pelaksanaan otomoni daerah ini, hanya sedikit daerah yang mampu mengoptimalkan penerimaannya baik dari sisi pajak daerah ataupun dari sisi dana bagi hasil. Sebagian besar daerah masih sangat tergantung dengan transfer pusat ke daerah. Hal inilah yang seringkali membuat kondisi di daerah cukup sulit untuk berkreasi dan mengoptimalisasi potensi di daerahnya.
Dalam perjalanannya, seringkali pemerintah pusat tidak hanya menyelenggarakan event nasional bahkan event internasional di Jakarta saja, namun kadangkala dilaksanakan di daerah. Hal ini sedikit banyak akan meminta dukungan dari pemerintah daerah setempat, mulai dari membantu dalam pelaksanaan seremonial, hingga pelaksanaan dukungan pendanaan yang sifatnya sharring untuk mensukseskan pelaksanaan acara dimaksud.
Mari kita lihat bagaimana evaluasi penyelenggaran event nasional yang dilaksanakan di daerah seperti Pekan Olahraga Nasional (PON). Selain pelaksanaan PON di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Riau yang secara umum dinilai tidak ada kendala yang berarti baik di dalam pelaksanaan perhelatannya maupun penyediaan pendanaannya. Dari daerah daerah yang tersebut diatas memiliki kesamaan yaitu daerah yang secara APBD khususnya pendapatannya sudah cukup bagus baik itu yang bersumber dari PAD (daerah sentra industri dan jasa) ataupun dari Dana Bagi Hasilnya (daerah sentra pertambangan).Â
Terakhir pelaksanaan PON XXI di Aceh dan Sumut yang dilaksanakan mulai tanggal 9 September hingga 20 September 2024 ini telah menyisakan banyak sekali problem dan curat marut di pelaksanaanya. Ujung-ujungnya adalah permasalahan dukungan pendanaan dari mulai pembangunan venue hingga permasalahan jatah makan pemain serta official yang dinilai sangat jauh dari kata layak. Kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan PON ini pendanaannya memakai metode sharring dimana APBN menanggung kurang lebih Rp2,242 Triliun dan APBD menanggung kurang lebih Rp1,703 Triliun.Â
Yang jadi permasalahan adalah apakah dana yang dianggarkan tersebut, sudah dicairkan tepat waktu atau masih ada kendala dalam proses pengalokasiannya di lapangan, sehingga berdampak kepada pengerjaan venue yang terlambat penyelesaiannya ataupun rendahnya kualitas makanan bagi para atlet dan official sebagaimana yang beredar beritanya di media sosial, media cetak dan media elektronika.
Bagi daerah, uang sebesar Rp1,703 Triliun ini bukanlah angka yang kecil. Apalagi ketika kita lihat dari APBD Provinsi Aceh yang hanya Rp11,023 Triliun (Rencana Pendapatan tahun 2024) dan APBD Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp14,634 Triliun (Rencana Pendapatan tahun 2024) maka dukungan pelaksanaan PON ini menyedot anggaran 2 Provinsi ini sebesar 6,64%. Angka Rp1,703 Triliun ini baru angka dasar dan pastinya masih ada tambahan pendanaan lainnya untuk kegiatan-kegiatan pendukung lainnya dalam rangka mensukseskan pelaksanaan PON tersebut.
Ini baru dari sisi hitungan kasar biaya, belum kita bicara berbagi peran, berbagi venue dan tentunya yang paling krusial adalah dalam berbagi beban pendanaan. Inilah yang akan menjadikan biaya overheat makin tinggi, apalagi ada ego sentris masing-masing daerah yang tidak mau menjadi nomor dua atau sebagai pemeran pelengkap saja. Kadangkala ketika tidak terjadi titik temu dan baru terselesaikan di injury time maka hasilnyapun tidak sempurna, bahkan bisa jadi venue yang ada belum siap seratus persen digunakan pada saat perhelatan sudah dimulai.
Walaupun hanya sebagai bagian pendukung, namun kemampuan fiskal suatu daerah perlu menjadi pertimbangan utama yang matang dalam memilih tuan rumah perhelatan nasional terutama PON. Saya melihat agak riskan dengan rencana pelaksanaan PON XXII yang rencananya akan dilaksanakan di Nusa Tenggara (Barat dan Timur), jika melihat dari sisi postur APBD series 10 tahun terakhir.Â
Bukannya menafikkan kerja keras yang akan dilakukan oleh kedua Provinsi dimaksud, namun jikalau konsep pendanaannya masih model sharring the pain seperti sekarang ini, walaupun masih mayoritas pendanaannya berasal dari APBN, sedikit banyak pasti kewajiban kontribusi dari APBD akan cukup membebani, apalagi kedua daerah tersebut secara pendanaan masih sangat tergantung dari Transfer ke Daerah terutama dari Dana Alokasi Umum bukan dari Dana Bagi Hasil.Â
Sebagai gambaran saja APBD Provinsi NTB Tahun 2024 Â adalah Rp6,181 Triliun (Rencana Pendapatan tahun 2024) dan APBD Provinsi NTT Tahun 2024 adalah Rp5,164 Triliun. Bisa terbayang bagaimana sulitnya Provinsi NTT dan NTB nantinya dalam mempersiapkan PON XXII, jika tidak ada intervensi pendanaan secara mutlak dari Pemerintah Pusat.
Sumber : https://djpk.kemenkeu.go.id/portal/data/apbd
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H